Kabupaten Bekasi (ANTARA) - Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Bekasi menghadirkan dua orang saksi ahli pada sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi yang menjerat oknum pimpinan DPRD Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Soleman (SL).
"Hari ini (20/2), pemeriksaan ahli, JPU (Jaksa Penuntut Umum) menghadirkan dua orang ahli," kata Kepala Sub Seksi Penuntutan pada Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi Indra Oka di Pengadilan Negeri Tipikor Bandung, Kamis.
Dia mengatakan saksi ahli pertama atas nama Prof. Suparji selaku Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia dan saksi ahli kedua yakni Kepala Seksi Jaminan Produk pada Perum Peruri, Joko Susilo.
Dalam fakta persidangan, Prof. Suparji secara eksplisit menjelaskan bahwa seorang pejabat atau penyelenggara negara tidak boleh menerima pemberian hadiah (gratifikasi) dalam bentuk apa pun dan dari siapa pun yang berhubungan dengan jabatan.
Sementara Joko Susilo memastikan bahwa dalam salah satu dokumen yang dibuat oleh terdakwa pemberi suap bernama Resvi atas perintah Soleman tercantum di Bulan September 2021, padahal materai yang digunakan baru beredar pada Bulan Juni 2022.
Baca juga: Empat saksi dihadirkan pada sidang korupsi pimpinan DPRD Bekasi
Oka menyatakan sidang perkara ini akan dilanjutkan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi meringankan dari terdakwa. "Saksi meringankan dari terdakwa, agendanya hari Kamis pekan depan," ucapnya.
Tim jaksa penuntut umum pada kasus ini merasa sudah cukup mendengarkan keterangan para saksi pada sidang perkara tindak pidana korupsi dimaksud. Sebanyak 21 orang saksi telah dihadirkan dari 30 lebih saksi yang diundang.
Puluhan saksi yang telah dihadirkan itu antara lain pejabat dari kalangan Pemkab Bekasi mulai dari kepala dinas, kepala bidang pengelolaan sumber daya air, kepala bidang bina marga hingga pejabat pengadaan yang terkait dengan proyek aspirasi terdakwa Soleman.
Saksi lain, diantaranya mantan istri terdakwa Soleman bernama Hanny Maryani, pengawas pemilu Ardi Abdul, mantan suami Resvi bernama Faisal serta Ketua LSM Lembaga Independen Anti Rasuah Nofal Juanda.
Para saksi tersebut juga saling membenarkan telah terjadi transaksi pembelian satu unit kendaraan mewah jenis Mitsubishi Pajero Sport oleh tersangka Resvi di sebuah unit penjualan mobil di wilayah Mangga Dua, Daerah Khusus Jakarta.
Kendaraan itu setelah dibeli kemudian diberikan kepada terdakwa Soleman untuk ditukarkan dengan sejumlah proyek aspirasi dewan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bekasi.
Baca juga: DPRD Bekasi ganti pimpinan terjerat korupsi
Soleman dalam kapasitas sebagai penyelenggara negara memberikan proyek-proyek APBD tersebut dengan nominal kontrak kegiatan bervariasi kepada terdakwa Resvi selaku rekanan pelaksana kegiatan infrastruktur di wilayah itu.
"Benar, semua bersaksi seperti itu. Objek gratifikasi ada dua kendaraan, Pajero Sport dan Sedan BMW. Saat beli Pajero ke Mangga Dua, Resvi mengajak Faisal, kan masih pasutri saat itu. Terus pas diberikan ke Soleman, diketahui pula oleh anaknya. Jadi ya semua keterangan itu saling menguatkan," kata saksi Nofal Juanda.
Soleman ditetapkan tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi berupa gratifikasi atau suap pada Selasa (29/10/2024) atau sehari setelah dilantik untuk kedua kali sebagai Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bekasi hasil pemilihan legislatif serentak tahun 2024.
Kepala Kejari Kabupaten Bekasi Dwi Astuti Beniyati mengatakan Soleman (SL) diduga melakukan tindak pidana korupsi penerimaan gratifikasi atau suap dari oknum pelaksana kegiatan fisik berinisial Resvi (RS) yang sudah terlebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka.
Baca juga: Hakim tipikor tolak eksepsi terdakwa oknum pimpinan DPRD Bekasi
"Penetapan tersangka pada perkara ini merupakan pengembangan dari hasil penyidikan atas dugaan suap atau gratifikasi yang dilakukan tersangka RS pada tersangka SL," katanya.
Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejari Kabupaten Bekasi Ronald Thomas Mendrofa mengatakan Soleman disangkakan melanggar pasal alternatif 12 huruf a atau kedua pasal 12 huruf e atau ketiga 12 huruf b atau keempat pasal 5 ayat 2 junto pasal 5 ayat 1 huruf a.
Kemudian atau kelima pasal 5 ayat 2 junto pasal 5 ayat 1 huruf b atau keenam pasal 11 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001.
"Ancaman pidana penjara minimal satu tahun dan maksimal 20 tahun. Bentuk pasal sangkaan itu alternatif, artinya salah satu dari pasal-pasal tersebut akan dibuktikan nanti di persidangan, mana yang paling sesuai dengan unsur perbuatannya," kata Ronald.(KR-PRA).