Moskow (ANTARA) - Eksistensi dan kedaulatan Ukraina sedang dipertaruhkan di mata dunia.
Perang negeri itu melawan negara beruang merah Rusia masih berkepanjangan dan belum ada titik terang kapan berakhir dengan perdamaian.
Ukraina kini justru menjadi bahan perundingan banyak negara. Banyak pula pemimpin negara yang cawe-cawe soal masa depan negeri yang punya keinginan bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan melepas dari bayang-bayang hegemoni Rusia atas negara tersebut.
Tidak hanya negara-negara besar seperti Rusia, China, dan banyak negara Eropa yang nimbrung soal Ukraina, tetapi juga negara kecil dan baru seperti Timor Leste.
Presiden Timor-Leste dan peraih Hadiah Nobel Perdamaian Jose Ramos-Horta berpendapat bahwa Ukraina seharusnya menjadi negara netral.
"Dan Ukraina, seperti yang sudah saya katakan berkali-kali, seharusnya menjadi negara netral. Tirulah model Swiss. Bayangkan jika Ukraina negara netral, mereka bisa mendapatkan manfaat dari investasi dan sektor perbankan dari semua pihak," katanya dalam wawancara dengan RIA Novosti di Dili, Jumat.
Ramos Horta juga menanggapi keinginan Kiev untuk bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
"Tuhanku, beberapa tahun lalu saya sudah katakan mengapa bergabung dengan NATO? Lihat saja Afghanistan. Setelah 20 tahun, mereka (NATO) berkemas dan pergi. Afghanistan. Dan di sini, kita akan bisa mengelola (hubungan dengan) Rusia?" katanya menambahkan.
Ramos-Horta juga ingin melihat Rusia dan Eropa lebih erat di masa mendatang.
"Tolonglah, saya katakan kepada orang-orang Eropa dan Rusia, jalin kembali hubungan satu sama lain. Rusia adalah peradaban Kristen. Eropa juga mayoritas peradaban Kristen. Berbicaralah satu sama lain, bangun kembali hubungan itu," kata Ramos-Horta menutup pembicaraan.
Berbalik arah
Amerika Serikat yang sebelumnya menjadi sponsor utama dan membantu habis-habisan Ukraina dalam perang melawan Rusia, kini seperti berbalik arah.
Wakil Presiden Amerika Serikat JD Vance mengatakan bahwa Ukraina tidak mungkin menang dalam konfliknya dengan Rusia, sama seperti tiga tahun lalu sejak perang dimulai.
Vance bahkan berargumen bahwa konflik antara Ukraina dan Rusia tidak akan pernah terjadi jika pada saat itu AS dipimpin oleh Donald Trump.
"Selama tiga tahun, Presiden Trump dan saya telah mengajukan dua argumen sederhana: pertama, perang tidak akan dimulai jika Presiden Trump menjabat; kedua, bahwa baik Eropa, maupun pemerintahan (Joe) Biden, maupun Ukraina tidak memiliki jalan menuju kemenangan," katanya di media sosial X, Kamis.
Vance menyatakan bahwa sementara Washington "mempertahankan pengaruh substansial atas kedua belah pihak dalam konflik", pemerintahan Trump percaya bahwa konflik yang berkelanjutan akan berakibat buruk bagi semua, termasuk Eropa dan AS.
Sebelumnya, Presiden Trump menyerang Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dengan mengatakan bahwa dia telah menjalankan tugas dengan buruk dalam menangani perang dengan Rusia.
"Saya mencintai Ukraina, tetapi Zelenskyy telah melakukan pekerjaan yang buruk. Negaranya hancur, dan jutaan orang meninggal secara tidak perlu. Anda tidak dapat mengakhiri perang jika Anda tidak berbicara dengan kedua pihak. Anda harus berbicara, sementara mereka tidak berbicara selama tiga tahun," ujarnya.
"Jadi kami berharap untuk melihat gencatan senjata segera, dan untuk membangun kembali stabilitas di Eropa dan Timur Tengah," kata Trump pada pertemuan puncak investasi asing di Miami.
Presiden AS Donald Trump sekali lagi menyerang Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dengan mengatakan bahwa dia telah "melakukan pekerjaan yang buruk" dalam menangani perang dengan Rusia, Kamis.
"Saya mencintai Ukraina, tetapi Zelenskyy telah melakukan pekerjaan yang buruk. Negaranya hancur, dan jutaan orang telah meninggal secara tidak perlu, dan Anda tidak dapat mengakhiri perang jika Anda tidak berbicara dengan kedua pihak. Anda harus berbicara. Mereka tidak berbicara selama tiga tahun," katanya.
"Jadi kami berharap untuk melihat gencatan senjata segera, dan untuk membangun kembali stabilitas di Eropa dan Timur Tengah," kata Trump pada pertemuan puncak investasi asing di Miami.
Dia mengatakan Zelenskyy "sangat kesal" karena dia tidak diundang ke pembicaraan antara AS dan Rusia di Arab Saudi.
"Dia sebenarnya bisa datang jika dia mau," tambahnya.
Ketegangan meningkat antara Washington dan Kiev setelah Zelenskyy menuduh Trump tinggal di "ruang disinformasi" Rusia.
Trump menyebut Zelenskyy sebagai "pelawak yang cukup sukses" yang "membujuk Amerika Serikat untuk menghabiskan 350 miliar dolar, untuk terlibat dalam perang yang tidak dapat dimenangkan, yang tidak pernah harus dimulai, tetapi perang yang dia, tanpa AS dan 'TRUMP,' tidak akan pernah bisa menyelesaikannya."
"Seorang Diktator tanpa Pemilu, Zelenskyy sebaiknya bergerak cepat atau dia tidak akan memiliki Negara lagi," tulisnya di platform Truth Social miliknya.
Trump memberi tahu para investor bahwa Arab Saudi melakukan "pekerjaan yang luar biasa" pekan ini dengan menjadi tuan rumah bagi AS dan khususnya berterima kasih kepada Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman karena telah menjadi tuan rumah bagi "pembicaraan bersejarah ini."
Pembicaraan itu "benar-benar berjalan dengan baik. Ini langkah besar. Kita harus mengakhiri perang itu," tambahnya, seraya mencatat bahwa AS "berhasil" merundingkan akhir perang dengan Rusia.
Pembicaraan antara Rusia dan AS di Arab Saudi diselenggarakan untuk membahas masalah perbaikan hubungan, menyelesaikan konflik di Ukraina, dan mempersiapkan pertemuan antara Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Tanpa Ukraina
Betapa Ukraina merasa tak diperhitungkan. Perundingan AS dan Rusia di Arab Saudi soal Ukraina saja tidak melibatkan negara tersebut.
Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan bahwa dia telah diberi tahu mengenai perundingan antara Rusia-Amerika Serikat (AS) baru-baru ini di Riyadh, Arab Saudi seraya menyebut bahwa hasilnya positif, demikian dilaporkan media lokal pada Rabu (19/2).
"Saya telah diberi penjelasan mengenai perundingan tersebut. Saya mengapresiasinya. Ada hasil nyata," kata Putin saat menjawab pertanyaan media dalam kunjungannya ke sebuah pabrik produksi drone atau Unmanned Aerial Vehicle (UAV) di St. Petersburg, Rusia.
Putin mengungkapkan dia sangat menghargai hasil pertemuan tingkat tinggi itu. Ia juga mengatakan negosiasi tersebut membuka jalan menuju dimulainya kembali kerja sama di berbagai bidang yang menjadi kepentingan bersama.
Perundingan itu terutama difokuskan pada pemulihan hubungan antara Moskow dan Washington, kata Putin, seraya menambahkan bahwa penguatan kepercayaan antara kedua negara sangat penting guna menyelesaikan isu-isu mendesak, termasuk konflik Ukraina.
Putin mengungkapkan Rusia dan AS bekerja sama dalam isu-isu utama yang berkaitan dengan kerja sama ekonomi, luar angkasa, dan energi.
Ia juga menyatakan bahwa dia ingin bertemu dengan Presiden AS Donald Trump, meskipun diperlukan beberapa persiapan sebelumnya.
Berbicara tentang kemungkinan negosiasi mengenai Ukraina, Putin menyampaikan Trump telah mengatakan dalam percakapan telepon mereka bahwa AS berasumsi Rusia maupun Ukraina akan berpartisipasi dalam negosiasi itu.
Delegasi Rusia dan AS mengadakan pembicaraan pada Selasa (18/2) di Riyadh dalam interaksi tatap muka pertama antara pejabat senior AS dan Rusia sejak pecahnya konflik Rusia-Ukraina pada Februari 2022.
Jerman pun bersikap lain. Pasukan Jerman tidak boleh berada di Ukraina karena itu dapat memicu perang besar dengan Rusia, kata Sahra Wagenknecht, pemimpin partai sayap kiri Jerman Sahra Wagenknecht Alliance (BSW), Kamis (20/2).
"Kami dari BSW menegaskan --Anda bisa mempercayai kami-- kami tidak akan setuju mengirim pasukan Jerman ke Ukraina. Kami tidak akan setuju mengirim pasukan Jerman ke negara lain untuk berperang, dan kami tidak akan setuju dengan program persenjataan besar Jerman, karena itu adalah jalan menuju perang, bukan perdamaian," ujar Wagenknecht dalam kampanye politiknya.
Ia juga menilai bahwa elit Eropa dan Jerman saat ini justru membahayakan rakyatnya sendiri karena terus menyeret Eropa semakin dalam ke dalam konflik dengan Rusia.
"Ya, kami harus mampu mempertahankan diri, tetapi kami juga harus melakukan segala cara agar perang tidak pernah terjadi di Eropa dan Jerman. Kami tidak akan mampu bertahan dalam perang melawan Rusia, negara bersenjata nuklir," katanya menambahkan.
Sejumlah negara anggota Uni Eropa, seperti Prancis, negara-negara Skandinavia, dan negara-negara Baltik, serta Inggris, telah menyatakan kesiapan mereka untuk mengirim pasukannya ke Ukraina. Namun, Spanyol, Polandia, Jerman, dan Italia menolak gagasan tersebut.
Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni menyebut usulan itu sebagai "solusi yang tidak efektif." Sementara Kanselir Jerman Olaf Scholz menyatakan bahwa pembahasan ini masih "terlalu dini dan tidak tepat."
Masih berharap dukungan
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menyatakan keinginannya untuk mendapatkan dukungan lebih kuat dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump, sekaligus mengkritik dikesampingkannya Kiev dari pembicaraan yang bertujuan mengakhiri perang dengan Rusia.
Berbicara kepada sekelompok wartawan di Bandara Esenboga, Ankara, setelah bertemu Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Zelenskyy mengatakan, “Saya ingin Trump lebih berpihak kepada kami. Banyak politisi dari Partai Republik maupun Demokrat mendukung kami. Saya tidak ingin kehilangan dukungan ini.”
"Kami melihat bahwa mereka mulai mengeluarkan (Presiden Rusia Vladimir) Putin dari isolasi politik, tetapi itu adalah keputusan mereka. Mereka sedang bernegosiasi," tambah Zelenskyy.
Pernyataan Zelenskyy itu mencuat setelah AS dan Rusia mengadakan pembicaraan di ibu kota Arab Saudi, Riyadh, yang menandai pertemuan langsung pertama antara diplomat Amerika dan Rusia sejak perang dimulai pada 24 Februari 2022.
Dalam kesempatan itu, Zelenskyy juga mengkritik karena Ukraina tidak dilibatkan dalam negosiasi untuk mengakhiri perang, serta mempertanyakan legitimasi pembicaraan yang dilakukan tanpa keterlibatan Kiev.
“Ketika mereka mengatakan ‘ini rencana kami untuk mengakhiri perang,’ itu menimbulkan pertanyaan bagi kami. Di mana posisi kami? Di mana kami dalam meja perundingan ini? Perang ini terjadi di dalam wilayah Ukraina. Putin membunuh rakyat Ukraina, bukan orang Amerika. Bukan orang Eropa juga. Yang meninggal adalah orang Ukraina,” ujarnya.
“Kami menginginkan perdamaian yang adil, yang langgeng, dan berkelanjutan,” ujarnya melanjutkan.
“Salah satu hal terpenting dalam semua ini adalah bahwa kita harus maju bersama pihak-pihak yang benar-benar dapat memberikan jaminan keamanan kepada kami. Jika ini bukan akhir dari perang, tetapi hanya gencatan senjata, maka tentu saja ini merupakan langkah penting menuju akhir fase panas perang ini,” katanya.
Zelenskyy menekankan bahwa baik Ukraina maupun Rusia harus hadir dalam meja perundingan untuk mencapai perdamaian, serta menyatakan bahwa tidak hanya Uni Eropa, tetapi seluruh benua Eropa harus terlibat dalam proses ini.
Ia juga menyebutkan bahwa dirinya telah membahas keterlibatan Eropa dalam negosiasi dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron. Menurutnya, Macron telah berdiskusi dengan para pemimpin Uni Eropa di Prancis dan akan ada perundingan lebih lanjut.
Dalam kunjungan ke Turki, Zelenskyy bertemu dengan Presiden Erdogan guna mengungkapkan apresiasi atas dukungan serta keramahan yang diberikan Ankara kepada Ukraina.
“Pembicaraan kami selalu berfokus pada isu-isu konkret. Hari ini, kami mengadakan perundingan yang sangat substantif. Meski saya tidak bisa mengungkapkan semua rinciannya, saya bisa mengatakan bahwa saya puas dengan hasilnya,” ujar Zelenskyy mengenai pertemuannya dengan Erdogan.
Zelenskyy menekankan perlunya pertukaran tahanan secara menyeluruh, dengan menyoroti bahwa masih banyak warga Ukraina, termasuk Tatar Krimea yang dipenjara karena keyakinan agama mereka, yang tetap ditahan oleh Rusia. Ia juga mengingatkan upaya Erdogan di masa lalu dalam membantu pembebasan tahanan.
Selain itu, Zelenskyy menyoroti kerja sama industri pertahanan antara Turki dan Ukraina.
Ia menyebut adanya pembicaraan dengan perusahaan pertahanan Turki, Baykar, serta kolaborasi dalam pengembangan drone jarak jauh.
Turki juga sedang membangun dua kapal korvet untuk Angkatan Laut Ukraina, di mana satu unit telah selesai, sementara yang lainnya dijadwalkan rampung pada 2026.
Zelenskyy juga mencatat bahwa meskipun Ukraina berada dalam kondisi perang, volume perdagangan dengan Turki tetap melebihi 6 miliar dolar AS (sekitar Rp98,2 triliun) dan ia optimistis angka ini akan meningkat menjadi 10 miliar dolar AS (sekitar Rp163,6 triliun) setelah perjanjian perdagangan bebas (FTA) disahkan.
Ia pun mengundang Presiden Erdogan untuk berkunjung ke Ukraina guna merealisasikan kesepakatan ini.
Keanggotaan NATO
Terkait keanggotaan Ukraina dalam NATO, Zelenskyy mengungkapkan bahwa sebagian besar pemimpin Eropa mendukung keanggotaan negaranya, kecuali Slowakia, Hungaria, Jerman, dan AS.
“Namun, faktor AS sangat berpengaruh dalam membentuk opini mereka,” katanya, sembari menyoroti bahwa Presiden Erdogan telah menyatakan dukungannya bagi keanggotaan Ukraina di NATO di masa depan.
"Jika NATO bukan pilihan, lalu jaminan keamanan seperti apa yang kita bicarakan?" tambahnya.
Ia menegaskan bahwa Ukraina memiliki militer yang kuat, tetapi tetap membutuhkan persenjataan dan pendanaan untuk terus bertahan.
Zelenskyy juga menekankan perlunya jaminan keamanan ekonomi bagi negaranya.
“Untuk itu, kami harus bergabung dengan pasar besar seperti Uni Eropa,” tegasnya.
Menanggapi rancangan proposal AS yang memberikan akses bagi Washington terhadap mineral langka Ukraina, Zelenskyy menilai bahwa kesepakatan tersebut tidak mencakup jaminan keamanan yang cukup dan menekankan bahwa hal itu tidak adil bagi Kiev.
“Saya selalu terbuka bagi investasi asing di negara kami, termasuk investasi dalam sumber daya alam kami. Saya yakin masyarakat kami, parlemen kami, akan mendukung hal ini. Namun, jika kami memberikan sesuatu, maka kami juga harus mendapatkan sesuatu sebagai imbalan. Itu yang saya sebut keadilan,” tegasnya.
Zelenskyy menggarisbawahi bahwa Ukraina memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk gas alam, minyak, dan mineral langka--sebagian besar di antaranya saat ini berada di bawah pendudukan Rusia. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya merebut kembali wilayah-wilayah tersebut.
“Kami tidak ingin menjadi sekadar pemasok bahan mentah bagi benua mana pun. Ini bukan sekadar tentang persahabatan atau kemitraan. Ini sudah tertulis dalam konstitusi kami. Sebagai presiden, saya tidak akan melanggar konstitusi. Saya akan melindungi tanah air dan kepentingan kami,” tandas Zelenskyy.
Sungguh dilema berkepanjangan dari sebuah negara indah ini, terutama bagaimana masa depannya.
Sumber: Anadolu, Ria Novosti, Sputnik-OANA
Baca juga: Negosiasi damai tak mungkin dilakukan tanpa Ukraina
Baca juga: Kedubes Polandia luncurkan papan solidaritas bertuliskan #StandWithUkraine
Baca juga: China terus cermati langkah Amerika Serikat dan Rusia dalam penyelesaian konflik Ukraina