Istanbul (ANTARA) - Delegasi Rusia dan Amerika Serikat mengadakan pertemuan mendetail dan kompleks tetapi cukup bermanfaat di Riyadh, Arab Saudi, pada Senin (24/3), dengan fokus pada konflik Ukraina dan isu keamanan, menurut Grigory Karasin, salah satu ketua delegasi Rusia, Selasa.
Pembicaraan tingkat tinggi itu berlangsung lebih dari 12 jam, menjadikannya salah satu diskusi terpanjang antara kedua negara sejak dialog diplomatik mereka kembali dimulai pada Februari lalu.
Karasin menggambarkan pertemuan tersebut berlangsung konstruktif, dengan banyak isu yang dibahas secara mendalam. “Dialognya mendetail dan kompleks, tetapi cukup bermanfaat bagi kami maupun pihak Amerika,” ujarnya kepada media Rusia, dikutip dari kantor berita negara, TASS.
“Banyak permasalahan yang didiskusikan. Tentu saja, tidak semuanya terselesaikan atau disepakati, tetapi fakta bahwa percakapan seperti ini berlangsung sangat tepat waktunya, mengingat kehadiran pemerintahan baru dan politisi baru yang mengikuti pertemuan kelompok pakar,” tambahnya.
Seorang sumber dari delegasi Rusia mengatakan kepada wartawan bahwa kedua pihak telah menyepakati pernyataan bersama, yang diperkirakan akan dirilis oleh Kremlin dan Gedung Putih pada Selasa (25/3).
Delegasi Rusia mencakup Sergey Beseda, penasihat direktur Dinas Keamanan Federal (FSB), sementara delegasi AS dipimpin oleh Michael Anton, direktur perencanaan kebijakan Departemen Luar Negeri, serta Andrew Peek dari Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih.
Turut hadir para pejabat utusan khusus Presiden AS Donald Trump untuk Ukraina, Keith Kellogg, serta Penasihat Keamanan Nasional Mike Waltz.
Sebelum pertemuan ini, Penasihat Kremlin Yury Ushakov menyatakan bahwa diskusi juga akan mencakup kemungkinan menghidupkan kembali inisiatif ekspor gandum Laut Hitam, menyusul percakapan telepon baru-baru ini antara Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Saat delegasi Amerika Serikat (AS)-Ukraina dan AS-Rusia menggelar perundingan terpisah di Riyadh, Arab Saudi, pada Minggu (23/3) dan Senin (24/3), kekhawatiran yang semakin meningkat muncul di Eropa terkait marginalisasi peran Eropa dalam negosiasi perdamaian tersebut.
Menteri Pertahanan Ukraina Rustem Umerov mendeskripsikan pembicaraan pada Minggu itu sebagai "produktif dan terfokus," menjelaskan bahwa "poin-poin utama, termasuk energi" telah dibahas.
Umerov, yang memimpin delegasi Ukraina, menekankan bahwa tujuan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky adalah "mengamankan perdamaian yang adil dan langgeng" bagi Ukraina dan Eropa secara keseluruhan.
Juru Bicara (Jubir) Kremlin Dmitry Peskov pada Senin mengatakan bahwa Moskow dan Washington memiliki "keinginan dan kesiapan" untuk mengejar penyelesaian damai. Dia memaparkan bahwa pembicaraan tersebut meliputi berbagai isu teknis, termasuk potensi dimulainya kembali Inisiatif Laut Hitam.
Kendati demikian, ketiadaan perwakilan Eropa dalam pembicaraan tersebut memicu kekhawatiran di antara para pejabat dan analis.
Dari pembahasan tentang Laut Hitam hingga upaya-upaya perdamaian yang lebih luas, beberapa pengamat Eropa memperingatkan bahwa keputusan-keputusan penting dibuat tanpa masukan dari Eropa.
Surat kabar Financial Times pada Senin melaporkan bahwa para pejabat dari Rumania dan Bulgaria, dua negara di Laut Hitam, secara pribadi menyuarakan kekhawatiran atas perubahan signifikan dalam status quo di kawasan tersebut, berargumen bahwa perubahan semacam itu dapat memengaruhi keamanan mereka tanpa memberi mereka kesempatan untuk berpendapat.
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada Senin yang sama, Salvador Sanchez Tapia, profesor analisis konflik dan keamanan internasional di Universitas Navarra, Spanyol, menulis: "Eropa tersingkirkan dalam upaya-upaya negosiasi... Pengabaian ini menunjukkan betapa kecilnya arti benua ini bagi mitra di Amerika Utara."
Ia menambahkan bahwa karena tidak memiliki kapasitas untuk mendukung Ukraina seperti yang pernah dilakukan oleh AS, Eropa mungkin tidak memiliki banyak pilihan selain menerima pendekatan Washington sambil tetap berusaha agar suaranya didengar.
Mantan diplomat Jerman Rudiger Ludeking menyuarakan kekhawatiran ini dalam sebuah wawancara dengan media Jerman, mengatakan bahwa sejak kembalinya Presiden AS Donald Trump ke kursi pemerintahan, keterlibatan diplomatik antara Washington dan Moskow, serta dengan Kiev, semakin meningkat, yang sebagian besar mengabaikan NATO, Uni Eropa (UE), dan negara-negara besar di Eropa. Ia memperingatkan bahwa "Uni Eropa bisa menjadi pihak yang kalah" dalam negosiasi ini.
Sementara beberapa suara di Eropa mengungkapkan rasa frustrasi, sebagian lainnya menganggap pembicaraan tersebut sebagai langkah potensial menuju deeskalasi.
Balazs Orban, direktur politik Perdana Menteri Hongaria Viktor Orban, menyambut baik diskusi gencatan senjata tersebut, dengan mengatakan bahwa perubahan situasi pada akhirnya akan memaksa Eropa dan para pembuat kebijakan di Brussel untukmengadopsi sikap yang lebih pragmatis.
Ia memperingatkan bahwa jika UE mempertahankan posisinya saat ini, UE berisiko tertinggal dan semakin tersingkirkan dalam proses perdamaian.
Dalam sebuah wawancara dengan televisi lokal N1 pada Senin, mantan menteri luar negeri Kroasia Miro Kovac menyatakan optimismenya atas pernyataan Gedung Putih tentang kemungkinan berlakunya gencatan senjata sebelum Hari Paskah, dengan mengatakan bahwa perkembangan seperti itu akan memungkinkan orang-orang untuk "berhenti menderita karena situasi ini sudah tidak masuk akal."
Sumber: Anadolu, Xinhua
Baca juga: Perundingan Rusia-AS soal Ukraina berlangsung 12 jam
Baca juga: Inggris-Perancis kerja sama pertahanan, dukungan Ukraina