Jakarta (ANTARA) - Berkunjung dan berdialog di dalam kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Zaporozhye, mengingatkan bahwa PLTN memiliki sejarah panjang yang dimulai pada abad ke-20.
PLTN pertama di dunia yang beroperasi tahun 1954 adalah Obninsk Nuclear Power Plant di Uni Soviet.
Keberhasilan Obninsk membuka jalan bagi pengembangan PLTN di negara lain. Krisis energi pada tahun 1970-an semakin mendorong adopsi energi nuklir sebagai alternatif bahan bakar fosil.
PLTN terus berkembang di beberapa negara, terutama di Prancis, yang saat ini memperoleh sekitar 70 persen listriknya dari energi nuklir.
“PLTN menawarkan sejumlah keunggulan strategis. Pertama, emisi karbon rendah, menjadikannya solusi mitigasi perubahan iklim; Kedua, PLTN mendorong efisiensi energi tinggi. Sebagai ilustrasi ukuran, 1 kg uranium setara dengan 3 juta kg batubara; Ketiga, pasokan listrik yang stabil sepanjang tahun. Energi listrik yang dihasilkan tidak bergantung pada cuaca seperti surya atau angin. Keempat, mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar fosil, meningkatkan ketahanan energi nasional,” ujar Devie Rahmawati, pengajar komunikasi antar budaya di Universitas Indonesia, dalam keterangannya, Minggu.
Kelima, pembangunan PLTN menciptakan lapangan kerja dan mendorong inovasi teknologi, seperti reaktor modular (SMR) yang lebih aman. Terakhir, limbah radioaktif modern dapat dikelola dengan teknologi penyimpanan geologis.
Insiden di Three Mile Island, Amerika Serikat (1979), Chernobyl (1986) dan Fukushima (2011) meninggalkan luka psikologis global. Proyek seperti Onkalo di Finlandia (fasilitas penyimpanan limbah dalam batuan dasar) dianggap inovatif, tetapi masyarakat lokal sering menolak karena kekhawatiran kontaminasi. Di AS, proyek Yucca Mountain gagal akibat tekanan politik dan protes warga Nevada.
Pasca-Soviet, Rusia mewarisi infrastruktur nuklir yang luas. Pada 2001, pemerintah membentuk Rosatom, sebuah BUMN berfokus pada energi nuklir mengkonsolidasikan riset, produksi, dan ekspor teknologi nuklir.
Di bawah Rosatom, Rusia bangkit sebagai eksportir PLTN terkemuka. Mereka mengembangkan reaktor dengan fitur keselamatan pasif, seperti sistem pendingin darurat tanpa listrik.
Proyek ekspor seperti Kudankulam (India) dan Akkuyu (Turki) memperkuat pengaruh geopolitik Rusia. Selain itu, Rusia memelopori inovasi seperti reaktor cepat berpendingin natrium yang mampu mendaur ulang limbah nuklir, serta PLTN terapung (floating nuclear power plant, FNPP) pertama dunia Akademik Lomonosov (2020).
Akademik Lomonosov, FNPP ini beroperasi di Pevek, Chukotka, sejak 2020. Fasilitas ini memasok energi ke daerah terpencil dan menjadi model untuk proyek serupa di Afrika dan Asia Tenggara.
Saat ini Akademik Lomonosov telah dirancang untuk memasok energi stabil ke wilayah Arktik yang sulit dijangkau. Beberapa aspek keunggulannya antara lain: Mobilitas: Dapat ditarik ke lokasi baru sesuai kebutuhan, seperti pengganti PLTU berbahan bakar Batubara; Kapasitas Adaptif: Memiliki dua reaktor yang menghasilkan dan panas, cukup untuk kota berpenduduk 100.000 jiwa; Keamanan: Dilengkapi sistem pasif yang meminimalkan risiko kebocoran.
“Hingga tahun 2024, Indonesia belum memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) operasional, meskipun wacana pengembangannya telah muncul sejak era 1950-an. Walaupun bukan tidak mungkin PLTN dibangun di Indonesia. Model teknologi Rosatom seperti PLTN terapung, menawarkan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ketahanan energi. Teknologi ini cocok diimplementasikan di daerah terpencil seperti Papua atau Kepulauan Riau, “ tutup Devie Rahmawati
PLTN terapung dan inovasi Rusia: Solusi energi untuk masa depan Indonesia
Minggu, 23 Maret 2025 11:40 WIB

PLTN terapung dan inovasi Rusia: Solusi energi untuk masa depan Indonesia (ANTARA/ foto: dok pribadi)