Paris (ANTARA) - Presiden Prancis Emmanuel Macron menyatakan bahwa dia dan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer telah mengajukan proposal gencatan senjata selama satu bulan di wilayah udara, laut, serta terhadap infrastruktur energi di Ukraina.
Dalam wawancara dengan Le Figaro, Macron menjelaskan bahwa proposal tersebut tidak mencakup situasi di darat karena panjangnya garis depan yang membuat verifikasi kepatuhan terhadap gencatan senjata menjadi sulit.
"Kami tidak tahu bagaimana mengukurnya. Perlu diketahui bahwa panjang garis depan saat ini setara dengan jarak Paris-Budapest. Jika gencatan senjata diterapkan, akan sangat sulit untuk memverifikasi kepatuhannya di garis depan," ujar Macron.
Presiden Prancis itu juga menegaskan bahwa pasukan Barat tidak akan hadir di Ukraina dalam waktu dekat.
"Tidak akan ada pasukan Eropa di tanah Ukraina dalam beberapa pekan ke depan. Pertanyaannya adalah bagaimana kita memanfaatkan waktu ini untuk mencoba mencapai gencatan senjata yang dapat diterapkan melalui negosiasi yang akan memakan waktu beberapa pekan," kata Macron.
Macron juga yakin bahwa dialog antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy akan kembali berlangsung setelah ketegangan yang sempat terjadi saat kunjungan Zelenskyy ke Gedung Putih.
Macron menyatakan investasi awal dalam "dana pertahanan bersama Uni Eropa," yang ia harapkan dapat disepakati dalam KTT Uni Eropa pada Kamis mendatang, akan mencapai "200 miliar euro" ( sekitar 207,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp3,38 kuadriliun).
Pada Minggu (2/3), sejumlah pemimpin negara Eropa menggelar pertemuan informal di London untuk membahas situasi di Ukraina serta keamanan kolektif Eropa.
Sementara itu, dalam pertemuan dengan anggota tetap Dewan Keamanan Rusia pada Januari lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin menegaskan bahwa tujuan penyelesaian konflik di Ukraina bukanlah sekadar gencatan senjata jangka pendek atau kesempatan untuk merombak pasukan dan mempersenjatai ulang demi melanjutkan pertempuran, melainkan perdamaian jangka panjang.
Sementara itu, Amerika Serikat (AS) berulang kali menjelaskan ke Ukraina bahwa isu mencapai perdamaian lebih penting daripada jaminan keamanan, kata Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio.
"Jaminan keamanan, yang saya sebut sebagai pencegahan bagi beberapa hal, bertentangan dengan adanya perdamaian. Semua orang mengatakan 'jaminan keamanan untuk mengamankan perdamaian' - Anda harus pertama-tama mencapai perdamaian," katanya dalam wawancara dengan lembaga penyiaran ABC News.
"Kami bahkan tidak tahu apakah perdamaian itu mungkin, dan ini dipahami oleh rakyat Ukraina. Hal itu dijelaskan kepada mereka berulang kali, dan itulah strategi kami," tambahnya.
Presiden Rusia Vladimir Putin, dalam pertemuan dengan anggota tetap Dewan Keamanan Rusia pada Januari, mengatakan tujuan penyelesaian konflik di Ukraina seharusnya tidak berupa gencatan senjata singkat dan masa jeda untuk menyusun kembali pasukan dan mempersenjatai mereka dengan tujuan melanjutkan konflik, tetapi perdamaian jangka panjang.
Menurut Putin, otoritas Rusia akan terus memperjuangkan kepentingan rakyat Rusia, itu lah arti dari operasi khusus tersebut.
Perdamaian di Ukraina, kata Putin, harus didasarkan pada "penghormatan terhadap kepentingan sah semua orang, semua negara yang berada di kawasan ini."
Sementara itu, Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa Volodymyr Zelenskyy siap membuat kesepakatan guna menyelesaikan konflik di Ukraina, tetapi tidak merinci ketentuannya.
Sumber: Sputnik-OANA
Baca juga: AS: Perdamaian di Ukraina lebih utama dari jaminan keamanan
Baca juga: Jerman peringatkan 'era baru kezaliman' di dunia saat ini usai kisruh Trump-Zelenskyy
Baca juga: Trump-Vance permalukan Zelenskyy
Baca juga: Ukraina objek atau subjek perundingan?