Jakarta (ANTARA) - Melihat dari pandangan hukum normatif dan mencermati perkara yang menyeret nama artis Nikita Mirzani (NM) dkk, kedalam tahanan tentunya tidak mungkin terlepas dari pentingnya melihat hukum pidana secara formil dan materiil sekaligus menempatkan peran alat bukti dalam kedudukan “peringkat teratas” yang dipakai dalam menjalankan pemeriksaan perkara (penyelidikan dan penyidikan).
Hal ini jelas diatur dalam KUHAP, untuk menegakkan due process of law (proses hukum yang adil), sehingga tersangka NM dkk. dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana dimuka pengadilan.
Begitu pentingnya alat bukti dalam perkara-perkara hukum khususnya pidana sehingga ada sebuah adagium hukum pidana yang menyatakan In Criminalibus Probantiones Bedent Esse Luce Clariores (artinya : bahwa dalam suatu perkara pidana, bukti harus lebih terang daripada cahaya).
Dengan berpedoman pada adigium hukum pidana tersebut diatas maka sudah sepantasnya bahwa keseluruhan alat bukti tersebut haruslah diperoleh dengan cara-cara yang benar (tidak bertentangan dengan hukum) karena jika tidak, maka tersangka/terdakwa dapat lepas dari segala pertanggungjawaban hukum dimuka pengadilan (termasuk praperadilan).
Hal ini dikarenakan alat bukti tersebut telah diperoleh dengan cara-cara yang tidak benar/unlawfull legal evidence seperti rekaman percakapan/pembicaraan yang dilakukan secara diam-diam dan tidak dilakukan oleh penegak hukum (untuk dijadikan bukti).
Menurut Prof. Dr. Edward O.S. Hiariej, S.H., M.Hum., pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 salah satu parameter pembuktian adalah Bewijsvoering yang pada dasarnya sangat terkait erat dengan fundamental pembuktian yang disebut dengan exclusionary rules.
Hal tersebut menandakan bahwa apabila bukti tersebut diperoleh dengan jalan yang tidak sah, maka konsekuensinya demi hukum adalah pemeriksaan perkara tersebut harus dibatalkan. Hal ini yang disebut dengan unlawful legal evidence.
Bahwa menurut Prof. Dr. H. Muhammad Said Karim, S.H., M.H., M.Si sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 yang menyatakan tindakan melakukan perekaman yang dilakukan tanpa ijin dan bukan oleh lembaga yang berwenang jelas adalah merupakan PELANGGARAN TERHADAP HAM, pelanggaran terhadap rights of privacy yang bertentangan dengan UUD 1945, hal mana sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010 dan bagaimana mungkin tindakan yang bertentangan dengan HAM dapat dijadikan sebagai bukti dalam segala proses penegakan hukum.
Hal ini disebabkan oleh karena salah satu bentuk perlindungan dari Hak Azasi Manusia yang terdapat dalam konstitusi kita adalah hak untuk mendapatkan perlakuan hukum yang sama dihadapan hukum untuk mendapatkan keadilan, termasuk didalamnya melindungi hak-hak privasi (a reasonable expectation of privacy) sebagaimana disebutkan dalam pasal 28D (ayat 1), pasal 28F, pasal 28G, pasal 28J UUD 1945 NRI dan pasal 5 UU No.39 tahun 1999 Tentang HAM.
Perlu diingat juga bahwa pada pasal 28i UUD 1945 NRI negara menjamin terhadap pelaksanaan perlindungan HAM tersebut agar sejalan dengan dasar-dasar perlindungan Hak Azasi Manusia menurut PBB/Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948. DUHAM merupakan dokumen hukum pertama yang melindungi hak asasi manusia secara universal.
Selain itu dalam Penjelasan Umum KUHAP disebutkan bahwa “penghayatan, pengamalan hak asasi manusia maupun hak serta kewajiban warga negara untuk menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warganegara, setiap penyelenggara negara, setiap lembaga kenegaraan dan Lembaga kemasyarakatan baik di pusat maupun di daerah yang perlu terwujud pula dalam dan dengan adanya hukum acara pidana ini”
Dengan demikian kita berharap agar hukum pidana yang dipakai sebagai “tameng” dari penegakan perlindungan Hak Azasi Manusia tidak diperlakukan sebaliknya.
Robertus Rani Lopiga THR., S.H., MH.Li, Pendiri kantor hukum Robertus & Associates, memperoleh gelar Magister Hukum Litigasi dari Universitas Gadjah Mada , Yogyakarta dan mengambil program Doktoral di Universitas Padjajaran, Bandung.