Jakarta (ANTARA) - Pengetahuan adat memiliki peran sangat penting untuk menjaga keberlanjutan ekosistem.
Pengetahuan adat merujuk pada pengetahuan, praktik, dan nilai-nilai yang diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat dalam mengelola lingkungan hidup dan sumber daya alam di sekitar mereka.
Sebagai contoh, di wilayah Kalimantan, suku Dayak memiliki sistem adat tentang pola pertumbuhan tanaman, dan mengetahui kapan dan bagaimana menggunakan api untuk membersihkan lahan tanpa merusak ekosistem hutan secara keseluruhan.
Sistem tersebut terbukti efektif mengurangi kebakaran hutan.
Praktik agroforestry yang dilakukan oleh masyarakat adat di Papua, yang menggabungkan pertanian dan kehutanan secara berkelanjutan, dapat menjadi model bagi kebijakan pertanian berkelanjutan.
Sistem irigasi yang dikembangkan oleh masyarakat adat di Bali dan daerah lainnya di Indonesia juga terbukti dapat mengurangi penggunaan air secara berlebihan dan menjaga kelestarian lingkungan. Hal ini semakin relevan mengingat Indonesia menghadapi masalah krisis air yang serius akibat deforestasi dan perubahan iklim.
Sayangnya, ketika kebijakan pembangunan di Indonesia lebih fokus pada ekspansi industri dan eksploitasi sumber daya alam, sistem pengelolaan hutan yang berbasis adat ini sering kali terpinggirkan.
Berdasar data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), deforestasi Indonesia mencapai sekitar 1,08 juta hektare pada tahun 2021, yang sebagian besar disebabkan oleh konversi hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan. Salah satu solusinya adalah dengan mengadopsi praktik-praktik pengelolaan hutan yang berbasis pada pengetahuan adat.
Pada 2022, KLHK menginisiasi program kemitraan dengan masyarakat adat untuk mengelola sekitar 13 juta hektar hutan adat, sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi laju deforestasi.
Pengakuan terhadap pengetahuan adat dalam kebijakan publik di Indonesia harus didorong dengan berbagai langkah konkret. Pertama, pemerintah harus menciptakan kebijakan yang memperkuat hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam mereka. Ini termasuk pemberian sertifikat hak atas tanah ulayat bagi masyarakat adat yang saat ini belum diakui.
Kedua, kebijakan pengelolaan hutan dan sumber daya alam harus berbasis pada pendekatan yang inklusif, yang melibatkan masyarakat adat dalam perencanaan dan pelaksanaan. Salah satu contohnya adalah program "Hutan Desa" yang diluncurkan pada tahun 2014. Ketiga, dalam sektor pariwisata, pemerintah perlu mendorong pengelolaan pariwisata yang lebih berkelanjutan dan memberi penghargaan yang adil kepada masyarakat adat. Hal ini dapat dilakukan dengan menciptakan kebijakan yang memastikan bahwa keuntungan yang diperoleh dari pariwisata kembali ke masyarakat adat, serta mengatur praktik pariwisata agar tidak merusak budaya dan lingkungan mereka.
*) Dr.Aswin Rivai,SE.,MM adalah Pemerhati Ekonomi dan Sosial serta Dosen FEB UPN Veteran Jakarta