Pontianak (ANTARA) - Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat karena regulasi ini dinilai sangat penting untuk memastikan perlindungan, pelestarian, dan pengembangan hak-hak masyarakat adat di Indonesia.
"Kami, Kementerian HAM, 100 persen mendukung upaya mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat. Kami juga akan bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memastikan hak-hak masyarakat adat terlindungi," kata Natalius saat menghadiri HUT Keramat Patih Patinggi yang dilaksanakan di Desa Sepang, Kecamatan Toho, Kabupaten Mempawah, Sabtu.
Natalius menyebut bahwa ada tiga aspek utama dalam RUU tersebut, yaitu menjaga kelestarian budaya dan hak-hak masyarakat adat, mengembangkan potensi masyarakat adat, serta melindungi mereka dari berbagai ancaman.
"Kami ingin memastikan bahwa nilai-nilai budaya masyarakat adat tetap lestari, berkembang, dan tidak terancam oleh berbagai kebijakan maupun tekanan eksternal," tuturnya.
Saat ini, katanya, Kementerian HAM masih menunggu berbagai organisasi masyarakat adat untuk berdiskusi terkait substansi RUU ini. Salah satu tantangan utama dalam pembahasannya adalah perdebatan antara masyarakat adat dan komunitas lokal terkait hak dan wilayah adat.
"Ini juga menjadi isu di tingkat internasional, dan kami akan mencari solusi terbaik agar RUU ini dapat diterapkan secara efektif," jelasnya.
Selain itu, Natalius menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban untuk melakukan intervensi dalam memastikan perlindungan HAM bagi masyarakat, termasuk masyarakat adat. Upaya intervensi ini mencakup penghormatan terhadap hak, pemantauan, pendidikan, penyuluhan, serta peningkatan kompetensi masyarakat adat.
Dengan dukungan penuh dari Kementerian HAM, diharapkan RUU Masyarakat Adat dapat segera disahkan dan menjadi landasan hukum yang kuat dalam melindungi hak-hak masyarakat adat di Indonesia.
Sementara itu, Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mengatakan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat tidak hanya untuk melindung hak masyarakat adat, tapi juga menjadi kunci untuk memastikan kedaulatan pangan berbasis kearifan lokal.
Koordinator Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat Veni Siregar dalam pernyataan yang dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (25/2/2025), mengatakan pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat tidak hanya dapat menjadi instrumen hukum untuk mengakui dan melindungi hak-hak serta kearifan lokal masyarakat adat, melainkan juga dalam menjaga keberlangsungan kedaulatan pangan berbasis komunitas.
Dengan pengesahan RUU itu, katanya, masyarakat adat juga mendapatkan jaminan atas pengetahuan dan praktik dalam mengelola dan mengembangkan metode pengolahan pangan yang telah diwariskan turun-temurun.
"RUU Masyarakat Adat adalah jalan menuju kedaulatan dan kemandirian masyarakat adat. Masyarakat adat memiliki pengetahuan dalam pengelolaan sumber daya alam," kata Veni.
Menurutnya, dengan menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan keberlanjutan lingkungan, masyarakat adat telah membuktikan bahwa kedaulatan pangan dapat dicapai melalui pendekatan yang berbasis pada harmoni dengan alam.
Upaya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi bagian integral dari sistem pangan nasional dan pengesahan RUU yang sudah masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025, yang menunggu pengesahan DPR RI, menjadi langkah penting untuk memastikan kedaulatan pangan di lingkup akar rumput.
Ini menjadi momentum refleksi untuk melihat bagaimana kebijakan pangan nasional dapat lebih inklusif dan berpihak kepada masyarakat adat. Dengan menjaga dan memperkuat sistem pangan mereka, kita tidak hanya melestarikan keanekaragaman hayati, tetapi juga memastikan generasi mendatang memiliki akses terhadap pangan itu sendiri dan membangun sistem pangan nasional yang adil dan berkelanjutan.
Dia memberikan contoh seperti masyarakat adat Boti di Nusa Tenggara Timur (NTT), yang memiliki pengetahuan mendalam dalam mengelola sumber daya alam. Mereka memproduksi sendiri minyak kelapa untuk keperluan memasak, serta menerapkan teknik pengelolaan lahan yang memungkinkan mereka menanam dan memanen umbi-umbian meskipun kondisi tanah kering.
Dalam pernyataan yang dikeluarkan Koalisi Kawal RUU Masyarakat, anggota masyarakat adat Boti, Bebie menyebutkan untuk memastikan tidak ada anggota komunitas yang mengalami kekurangan pangan, mereka juga mengandalkan modal sosial yang kuat.
Selain memiliki kebun pribadi, masyarakat adat Boti mengelola kebun komunal yang dikelola secara kolektif. Proses penggarapan dilakukan secara gotong royong oleh seluruh anggota komunitas, dan hasil panennya diperuntukkan bagi mereka yang mengalami kesulitan.
"Kabupaten Timor Tengah Selatan termasuk daerah dengan kasus stunting tinggi di Provinsi NTT. Tapi tidak ada kasus ditemukan pada masyarakat adat Boti," kata Bebie.
Baca juga: Negara masih sebatas mengakui masyarakat adat belum wujudkan undang-undang
Baca juga: KLHK: Ada 152 ribu hektare hutan telah berstatus hutan adat