Jakarta (ANTARA) - Coba bayangkan jika kita diminta untuk mengukur jumlah air di waduk Jatiluhur menggunakan sendok kecil. Atau, kita diminta untuk mengukur sekarung beras menggunakan timbangan bayi. Tentu saja, usaha kita akan sia-sia karena alat dan metode yang digunakan sangat tidak sesuai dengan tujuan tersebut. Jadi, jika waktu, metode, dan pembanding yang digunakan tidak tepat, maka kesimpulan yang kita ambil pun niscaya tidak akan tepat.
Fenomena inilah yang seringkali terjadi ketika kita mencoba untuk menilai kebijakan pemerintah atau isu-isu sosial lainnya tanpa alat ukur yang tepat, kita akhirnya bisa terjebak dalam penilaian yang sesat.
Oleh karena itu, kita harus lebih teliti dalam memilih metode pengukuran dan pembanding yang digunakan.
Salah satu contoh nyata dari pengukuran yang tidak tepat bisa kita temukan dalam perdebatan seputar RUU TNI yang sudah disetujui DPR pada 20 Maret 2025 untuk disahkan menjadi UU.
Sejumlah pihak menilai dengan adanya penambahan 40 persen jumlah kementerian yang bisa dijabat oleh TNI aktif, menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR mau mengembalikan praktik dwifungsi TNI, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru.
Namun, mari kita lihat dulu alat ukur yang digunakan.
Jika kita bandingkan dengan UU Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI tidak ada batasan bagi anggotanya untuk berperan di mana saja bahkan di ruang politik.
Mereka juga bisa menjabat sebagai anggota DPR maupun kepala daerah sesuai dengan pasal 6 tentang Dwifungsi ABRI.
Sementara dalam UU TNI terbaru, anggota TNI aktif sangat dibatasi hanya bisa ditugaskan ke dalam 14 kementerian dan lembaga yang terkait dengan bidang yang relevan dengan tugas dan kapasitas TNI, seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Dengan alat ukur tadi, jelas bisa disimpulkan, Pemerintah dan DPR justru sedang berusaha menjaga konsistensi terhadap perjuangan reformasi dengan menjaga supremasi sipil melalui penebalan batas bagi anggota TNI di ranah sipil.
Contoh lain, Program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Sejumlah pihak menyimpulkan program ini gagal hanya karena sampai pertengahan Maret realisasi belanja MBG baru mencapai kurang dari 1 persen dari anggaran yang dialokasikan.
Manfaat dari program ini juga baru diterima sekitar tiga juta anak. Pengukuran yang digunakan sangat tidak tepat.
Coba kita ganti alat ukurnya bukan melihat dari jangka pendek, tetapi jangka panjang.
Pemerintah pada akhir Februari, menargetkan 2,2 juta penerima, dan pada akhir April ditargetkan enam juta penerima. Sementara itu, pada akhir Oktober, jumlah penerima akan meningkat menjadi 45 juta penerima. Nantinya, pada akhir Desember 2025, pemerintah menargetkan ada 82 juta anak dapat merasakan manfaatnya.
Dengan kata lain, realisasi tiga juta penerima pada pertengahan Maret sudah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, klaim bahwa pemerintah gagal dalam menjalankan program ini jelas tidak tepat.
*) Noudhy Valdryno adalah Deputi Bidang Diseminasi dan Media Informasi Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO)
Baca juga: Komisi I DPR sebut RUU TNI menerapkan supremasi hukum dan sipil
Baca juga: DPR pastikan pangan yang disiapkan untuk MBG berkualitas