Bekasi (Antaranews Megapolitan) - Viralnya berita pemecetan guru Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Darul Maza, Robbiatul Adawiyah oleh oknum yayasan akibat beda pilihan saat Pilkada serentak kemarin, turut mencoreng nama baik pendidikan di Kota Bekasi.
Banyak pihak akhirnya merasa malu dan perlu meluruskan keadaan, ini dipicu lantaran mestinya sekolah sebagai sarana pendidikan tidak dijadikan tempat untuk berpolitik praktis.
Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bekasi yang membidangi Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan Masyarakat, Ustuchri, Selasa (03/07/2018) angkat bicara.
“Mengajak boleh-boleh saja, itu bagian mengenalkan calon pemimpin yang sedang bertarung dalam pesta demokrasi. Tetapi, mengaitkan itu dengan kinerja
profesional guru, saya kira itu kaitannya dengan kedewasaan berpolitik ya,” ujarnya.
Menurutnya kejadian tersebut merupakan cermin bahwa masyarakat Indonesia belum pandai bersosial media. Belum paham etika bersosial media, sehingga banyak kesalahpahaman yang terjadi.
“Orang kita ini belum pandai bersosmed, banyak membuat salah paham. Itu mestinya penggunaan etika sosmed. Kita berharap ibu guru Robbiatul Adawiyah dan yayasan mendapat pelajaran,” tambahnya.
Mengantisipasi hal serupa terjadi lagi di institusi pendidikan, Ustuchri menegaskan bahwa pentingnya Dinas pendidikan menguatkan kembali fungsi sekolah sebagai sarana pendidikan yang bisa memfilter segala informasi.
“Dinas Pendidikan perlu menguatkan itu ke bawah, bagaimana fungsi sekolah. Mendidik menanamkan karakter mulia jangan dicampur politik. Kasus ini menjadi pembelajaran tentunya,” tambah Ustuchri.
Ia menganggap bahwa, kasus pemecatan guru oleh oknum yayasan akibat guru tersebut beda pilihan calon Pilkada adalah bagian dari ledakan partisipan dalam Pilkada yang begitu besar. Sehingga, segala akses akan dipenuhi nuansa politik dan gerak politik.
“Ledakan partisipan luar biasa. Ini hanya satu dari banyak akses. Etika konvensi di masyarakat tentang bagaimana meraih simpati dengan baik perlu disosialisasikan. Institusi pemerintah harus siap menghadapi hal ini, sehingga hal-hal yang tidak diinginkan bisa diantisipasi,” jelasnya lagi.
Menurut Ustuchri, guru sebagai Warga Negara Indonesia sebenarnya juga memiliki hak politik, sehingga ia pun memiliki ruang gerak berpoltiik. Namun, pihaknya mengimbau agar jangan berpolitik praktis di sekolah atau tempat mengajar.
“Boleh mengajak memilih salah satu paslon tapi jangan memaksa. Kemudian ketika berbeda pilihan jangan diberi sanksi. Ini tidak dibenarkan,” tandasnya.
Kota Bekasi adalah Kota Urban Metropolis. Dinas Pendidikan perlu memberikan arahan yang jelas terkait pesta demokrasi. Aturan-aturan yang mengatur ruang gerak dalam Pilkada yang tidak tertulis hendaknya ditulis. Sehingga, sekolah menjadi filter dan benteng agar sekolah yang notabene adalah pabrik penghasil Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni tidak dicampur aduk dengan politik praktis yang akan mencederai dunia pendidikan itu sendiri. (ris)
DPRD Kota Bekasi imbau Disdik cegah politik praktis di sekolah
Jumat, 6 Juli 2018 21:51 WIB
Mengajak boleh-boleh saja, itu bagian mengenalkan calon pemimpin yang sedang bertarung dalam pesta demokrasi. Tetapi, mengaitkan itu dengan kinerja profesional guru,...