Jakarta (ANTARA) - Dua bulan setelah pelantikan presiden, fokus pada ketahanan pangan semakin terasa. Sekretaris Jenderal HITI, Dr. Dyah Retno Panuju, mencatat bahwa isu pangan kini menjadi perbincangan di berbagai forum.
Jika sebelumnya isu ini hanya mengemuka di kampus-kampus pertanian, Kementerian Pertanian, atau lahan-lahan petani, kini topik tersebut telah menjadi prioritas utama di kementerian/lembaga/dan badan lain.
Hal ini terlihat dalam acara High-Level Dialogue: Towards Soil Health Policy for Improved Food Security in Indonesia yang digelar Bappenas Desember lalu.
Sari pati dari pertemuan tersebut adalah Bappenas telah menyadari bahwa upaya mencapai swasembada pangan pada 2024 berhadapan dengan kondisi dan tantangan berbeda dengan pada 1984 di era Soeharto.
Kondisi tanah pertanian di Indonesia telah berbeda karena mengalami degradasi serta tercemar. Demikian pula kondisi iklim saat ini berbeda karena telah terjadi perubahan iklim. Di sisi lain suasana geopolitik yang dihadapi Indonesia juga berbeda.
Dengan perbedaan kondisi dan tantangan tersebut, dibutuhkan upaya para ahli tanah untuk menyehatkan tanah pertanian di Indonesia agar dapat mendukung cita-cita mencapai swasembada pangan.
Sebagai bagian dari komunitas HITI dan Perhimpunan Agronomi Indonesia (Peragi), penulis merasa bahwa perhatian pada soil health atau kesehatan tanah di tingkat Bappenas adalah sebuah mimpi yang menjadi nyata.
Seiring meningkatnya polusi tanah, air, dan udara, istilah soil health mulai menjadi perhatian utama dalam forum-forum global sejak 2018. Konsep ini menggeser fokus ilmu tanah dari sekadar memastikan produktivitas pertanian menjadi menjaga kualitas ekosistem dan kesehatan manusia secara keseluruhan.
Selama ini, istilah yang lebih akrab bagi para ahli adalah soil fertility (kesuburan tanah) dan soil quality (mutu tanah). Kedua istilah ini lebih fokus pada produktivitas lahan pertanian dibandingkan dengan skala lingkungan yang lebih luas.
Johannes Lehmann, peneliti ilmu tanah dari Amerika Serikat, berserta tim merumuskan 4 level konsep ilmu tanah. Pertama, kesuburan tanah (soil fertility) untuk skala pedon dan lahan yang berperan untuk meningkatkan produktifitas lahan demi mendukung produktivitas tanaman. Kedua, mutu tanah (soil quality) untuk skala regional yang berperan menyediakan ekosistem yang baik seperti air dan udara yang sehat.
Ketiga, kesehatan tanah (soil health) untuk skala nasional yaitu menyediakan kehidupan manusia yang sehat, meningkatkan keragaman hayati, hingga mitigasi iklim. Keempat, ketahanan tanah (soil security) yaitu pada level global dengan menjadi basis kebijakan dunia untuk mewujudkan peradaban manusia yang sejahtera.
Ilmuwan ilmu tanah harus siap melayani kebutuhan ekosistem dan lingkungan yang lebih luas, mulai dari menyediakan air yang bersih hingga mendukung kehidupan manusia yang sehat.
Dalam konteks ini, upaya Bappenas menempatkan soil health sebagai dasar kebijakan untuk mewujudkan ketahanan pangan harus diapresiasi.
Indonesia memiliki peluang besar untuk memimpin dalam implementasi kebijakan berbasis soil health.
Dengan sumber daya alam yang melimpah dan keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia dapat menjadi model bagi negara-negara lain dalam mengintegrasikan kesehatan tanah dengan ketahanan pangan.
Namun, semua ini hanya dapat tercapai jika kebijakan yang dirancang benar-benar terimplementasi dengan baik di lapangan.
Presiden Prabowo telah memberikan arah yang jelas. Tantangannya kini adalah bagaimana semua elemen bangsa bekerja sama untuk mewujudkan visi tersebut.
Ilmu tanah memiliki peran strategis dalam mendukung ketahanan pangan dan menjaga keberlanjutan lingkungan. Inilah saatnya bagi ilmu tanah Indonesia untuk bangkit dan memasuki era renaisans yang sesungguhnya.
*) Penulis adalah Peneliti di Pusat Riset Tanaman Pangan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Baca juga: Pemerintah beli gabah petani
Baca juga: Bapanas sebut penyesuaian HPP gabah-beras-jagung untuk dukung target swasembada pangan