Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi telah memutuskan pemungutan suara ulang di 24 daerah dalam sidang putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilkada 2024 lantaran tak terpenuhinya syarat pencalonan.
Itu menunjukkan kelemahan proses verifikasi yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Karena itu, DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) sebagai penegak etik penyelenggara pemilu, perlu memberikan sanksi kepada anggota KPU dan Bawaslu di daerah agar kejadian serupa tidak terulang.
Kesalahan atau maladministrasi seperti itu seharusnya sudah bisa dicegah sejak awal, yaitu sebelum tahapan penetapan calon.
Hal ini juga berlaku untuk pilkada yang salah satu pasangan calonnya didiskualifikasi karena kasus hukum, seperti yang terjadi di Kota Banjarbaru (Kalsel), Palopo (Sulsel), dan Mahakam Ulu (Kaltim).
Tujuan dari pemungutan suara ulang tentu untuk menjaga prinsip keadilan pemilu, namun, membawa banyak konsekuensi. Pertama, tujuan pilkada serentak agar tiap kepala daerah memiliki masa jabatan yang sama menjadi tidak tercapai. Kedua, target efisiensi anggaran dengan menyatukan waktu pelaksanaan pemilu nasional dan pilkada jadi meleset.
Terlebih saat ini Pemerintahan Prabowo-Gibran sedang gencar melakukan efisiensi anggaran. Dari sisi pemerintah daerah, ini juga menjadi beban tambahan karena harus ikut menanggung pembiayaan pilkada yang bersumber dari APBD.
Ketiga, KPU provinsi dan kabupaten/kota maupun pasangan calon nantinya harus bekerja ekstra keras untuk mengajak masyarakat agar mau datang memilih. Hal ini merujuk pada indikasi kelelahan atau kejenuhan pemilih (voter fatigue) akibat pelaksanaan Pilkada 2024 yang berlangsung di tahun yang sama dengan pemilu nasional.
Di banyak daerah, tingkat partisipasi cenderung turun dibandingkan edisi pilkada sebelumnya. Adanya pemungutan suara ulang dikhawatirkan akan semakin menggerus angka partisipasi pemilih, sehingga siapapun yang menang akan mengalami penurunan legitimasi.
Sayangnya, penyelenggara pemilu di beberapa daerah yang harus mengadakan pemungutan suara ulang akibat inkompetensi mereka saat ini tidak dapat dikenai hukuman pidana, kecuali jika terbukti menerima suap dari calon atau partai politik untuk melanggar peraturan.
Langkah tegas DKPP itu diharapkan bisa terwujud agar kepercayaan publik terhadap proses demokrasi dapat tetap terjaga. Ke depan, sinergi antara MK, Komisi II DPR RI, DKPP, KPU, dan Bawaslu diharapkan semakin kuat demi mewujudkan pemilu dan pilkada yang lebih berkualitas.
Sebagai langkah konkret dalam mencegah kecurangan pemilu, ke depan perlu dibentuk satuan tugas khusus untuk melakukan operasi tangkap tangan terhadap praktik politik uang atau money politics. Kepolisian bekerja sama dengan KPU dan para pemangku kepentingan lainnya, harus memastikan bahwa fenomena money politics tidak lagi menjadi hal yang biasa dalam setiap kontestasi politik.
*) Penulis adalah peneliti Bidang Politik dan Pemerintahan Intelligence and National Security Studies (INSS)
Baca juga: KPU tidak akan rekrut panitia pemungutan suara ulang di 24 daerah
Baca juga: KPU tindak lanjuti putusan MK soal pemungutan suara ulang di 24 daerah