Jakarta (ANTARA) - "Tak kenal maka tak sayang, tak paham maka tak berkembang." Begitulah nasib ilmu di negeri ini jika hanya tersimpan di menara gading.
Dunia bergerak cepat. AI meramalkan struktur protein dalam hitungan detik, petani di Jepang memanfaatkan bioinformatika untuk menghasilkan padi tahan cuaca ekstrem, dan data genetik kini lebih berharga dari emas.
Jika kita hanya menjadi penonton, maka kita akan kehilangan peluang emas di depan mata. Indonesia Emas 2045 bukan sekadar mimpi, tetapi panggilan untuk bertindak: membuka gerbang pengetahuan, membongkar sekat eksklusivitas sains, dan menjadikan bioinformatika sebagai “bahasa baru” bagi generasi mendatang.
Di tengah derasnya arus data biologis yang diproduksi setiap detik, mulai dari sekuens genom virus, hingga peta ekspresi gen kanker, dunia sedang menyaksikan revolusi diam-diam. Revolusi ini tidak hanya mengubah cara ilmuwan bekerja, tetapi juga membuka pintu bagi generasi muda untuk menjadi penjelajah di rimba raya informasi kehidupan.
Di sinilah bioinformatika hadir sebagai kompas, sekaligus pedang, untuk menaklukkan kompleksitas era digital dan metaverse.
Indonesia, dengan bonus demografi dan kekayaan biodiversitasnya, ibarat berlian yang hampir berkilau. Namun, di era di mana data adalah mata uang baru, kita membutuhkan lebih dari sekadar laboratorium konvensional.
Kita perlu membangun pola pikir bahwa memahami DNA bukan lagi monopoli profesor berbaju lab, melainkan keterampilan yang bisa dikuasai siswa SMA di semua pelosok Nusantara,asal ada kemauan dan akses yang merata.
Bayangkan, seorang guru biologi di Mamuju membuka laptopnya dan menunjukkan kepada siswa bagaimana algoritma akal imitasi (AI) memprediksi struktur protein SARS-CoV-2. Di layar, model 3D berputar-putar, sementara siswa berdiskusi: Kalau virus bisa bermutasi, bisakah AI membantu kita merancang vaksin lebih cepat?
Ini bukan adegan fiksi ilmiah. AlphaFold, sistem AI yang dikembangkan oleh DeepMind, telah memprediksi struktur lebih dari 200 juta protein hingga tahun 2022. Akselerasi itu mampu dilakukan berkat rida Illahi, kecanggihan bioteknologi, dan kolaborasi para pakar bioinformatika. Di tangan guru-dosen kreatif, alat tersebut bisa dijadikan studi kasus bagaimana biologi molekuler dan teknologi saling merangkul.
Bagaimana dengan masalah klasik bioinformatika, seperti komputer sekolah lambat, software mahal? Ini pun sudah terjawab dengan adanya komputasi awan. Google Cloud dan AWS menyediakan server virtual yang bisa diakses lewat browser.
Boleh jadi ada seorang siswa di Nabire, Papua, tanpa harus membeli komputer canggih, mahir menganalisis genom bakteri termofilik dari sumber air panas Papua, misalnya sumber Air Panas Mosso, Sungai Air Panas di Pulau Roswar, Pemandian Air Panas Klayili, Air Panas War Aremi, kolam air panas di kampung Mayuberi Distrik Ilaga Utara, Kabupaten Puncak.
Menariknya, komputasi awan bukan sekadar alat teknis. Ini adalah filosofi kolaborasi. Saat siswa Jakarta menganotasi gen penyebab stunting, data mereka bisa langsung diakses oleh peneliti di Universitas Islam Sultan Agung Semarang, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Makassar, Universitas Cenderawasih Papua, Universitas Hasanuddin Makassar, atau Universitas Brawijaya Malang. Batas antara akademisi dan pelajar SMA pun mengabur, sebuah demokratisasi sains yang langka di era silam.
Untuk siswa, ini bisa menjadi bahan debat etika: Haruskah perusahaan asing membayar jika menggunakan data genetik Suku Baduy untuk riset obat? Pertanyaan ini mengajarkan bahwa bioinformatika bukan hanya soal kode program, tetapi juga kesadaran akan kedaulatan data.
Tantangan terbesar bukanlah teknologi, melainkan mentalitas alias pola pikir.
Solusinya? Integrasi horizontal. Guru TIK bisa mengajar Python dasar sambil mengenal FASTA format. Guru biologi mengubah praktikum mikroskop menjadi proyek genome annotation. Di Bali, SMAN 1 Denpasar sudah mulai uji coba: siswa analisis genom jamu tradisional menggunakan platform web-based. Hasilnya? Tiga siswa menemukan senyawa antibakteri baru dalam kunyit, langsung dipublikasikan di jurnal internasional.
Bioinformatika bukan sekadar alat. Ia adalah bahasa baru peradaban. Di tangan sekitar 65 juta pelajar Indonesia, bahasa ini bisa menjadi mantra untuk membuka peti harta karun biodiversitas.
*) Dokter Dito Anurogo MSc, PhD, alumnus IPCTRM College of Medicine Taipei Medical University Taiwan, dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Makassar Indonesia, peneliti Institut Molekul Indonesia, pengurus Masyarakat Bioinformatika dan Biodiversitas Indonesia (MABBI)
Baca juga: ITB gelar pameran karya guna bioinfomatika
Baca juga: Universitas Yarsi Gelar Simposium Internasional Bioinformatika