Jakarta (ANTARA) - Masalah penurunan mutu beras kembali menjadi sorotan besar, bukan hanya karena dampaknya terhadap kualitas pangan masyarakat, tetapi juga karena potensi kerugian negara yang mencapai triliunan rupiah.
Fenomena “beras turun mutu” terjadi ketika kualitas beras menurun akibat sejumlah faktor, mulai dari proses penyimpanan yang tidak tepat, pencampuran dengan beras kualitas rendah, serangan hama, hingga pengolahan yang kurang memadai.
Perubahan ini tidak hanya memengaruhi tekstur, rasa, dan nilai gizi, tetapi juga berdampak langsung pada harga jual di pasaran.
Saat berita mengenai 100 ribu ton beras sisa impor yang terancam terbuang karena mengalami penurunan mutu mencuat, perhatian publik dan akademisi pun semakin tertuju pada persoalan mendasar dalam tata kelola cadangan pangan nasional.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, menjelaskan bahwa beras-beras tersebut tersimpan di gudang filial milik mitra Bulog.
Beras ini merupakan bagian dari Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang pendanaannya berasal dari APBN. Dengan potensi kerugian negara mencapai Rp1,2 triliun, peristiwa ini menjadi peringatan keras tentang pentingnya tata kelola penyimpanan beras yang lebih profesional.
Proses penyimpanan yang tidak memadai menjadi salah satu penyebab utama kerusakan beras.
Kelembaban yang tinggi, suhu ruang yang tidak stabil, paparan sinar matahari langsung, dan kondisi gudang yang kurang bersih kerap memicu berkembangnya jamur, serangga, dan mikroorganisme yang menurunkan kualitas beras.
Ketika penyimpanan dilakukan tanpa standar yang ketat, beras bisa menjadi basi, berbau tidak sedap, keras, atau bahkan kehilangan kandungan gizinya.
Untuk menjaga kualitas beras, dibutuhkan strategi penyimpanan yang tepat. Penyimpanan di tempat kering dengan kelembaban rendah menjadi kunci utama untuk mencegah pertumbuhan jamur dan serangan hama.
Selain itu, penggunaan wadah kedap udara membantu menjaga kestabilan kualitas dan mencegah kelembaban berlebih. Gudang penyimpanan sebaiknya dijauhkan dari paparan sinar matahari langsung dan memiliki suhu stabil pada kisaran 15–25 derajat celcius.
Kebersihan tempat penyimpanan juga perlu menjadi prioritas, karena debu, kotoran, dan sisa serangga dapat menjadi pemicu utama penurunan mutu.
Teknologi sederhana seperti penggunaan bahan penyerap kelembaban, misalnya silica gel, juga dapat membantu menjaga kualitas beras lebih lama. Pemeriksaan berkala atas kondisi stok menjadi langkah yang tak kalah penting untuk mencegah kerusakan lebih parah.
Di sisi lain, penyerapan gabah dengan kualitas apa pun atau istilahnya any quality menjadi tantangan tersendiri.
Praktik ini kerap dilakukan untuk mengejar target serapan, tetapi tanpa standar kualitas yang ketat, risiko terjadinya beras turun mutu semakin besar.
*) Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat.
