Bondowoso (ANTARA) - Mirwan MS, politikus asal Aceh Selatan, kini menjadi sorotan, justru karena sedang melakukan ibadah. Ia tengah menunaikan ibadah sunah, yakni umrah ke Tanah Suci Mekkah.
Ibadah sunah Mirwan MS, Bupati Aceh Selatan, Provinsi Aceh, ini menuai penilaian negatif karena waktu pelaksanaannya yang kurang tepat.
Bukan ibadah umrah dari Mirwan MS yang dipersoalkan oleh banyak kalangan, melainkan momentumnya yang tidak pas.
Ibadah umrah dari politikus itu "dipersoalkan" banyak pihak karena bertepatan dengan nasib rakyatnya yang sedang menderita akibat bencana banjir. Banjir itu telah meluluhlantakkan berbagai fasilitas dan permukiman warga, sebagaimana juga dialami oleh masyarakat di Provinsi Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
Umrah yang semestinya mendapat pujian dan doa-doa baik dari orang lain, malah sebaliknya, berujung petaka. Mirwan MS dinilai "lari" dari tanggung jawab, ketika seharusnya lebih memilih melayani rakyat yang sedang dirundung duka.
Ulasan ini tidak bermaksud menghakimi pilihan beribadah yang dilakukan oleh Mirwan MS. Apalagi, Mirwan MS telah mengklarifikasi bahwa keberangkatannya ke Tanah Suci Mekkah itu karena menunaikan nazar yang beberapa kali tertunda. Hanya saja, kasus ini memberi pesan bermakna bahwa ketika seseorang menduduki jabatan tertentu, sebagian, bahkan bisa jadi seluruh hak pribadinya harus luruh, harus ditanggalkan. Ketika menjadi pejabat, seseorang tidak bisa lagi berperilaku dengan ukuran masyarakat kebanyakan.
Peluruhan hak-hak pribadi itu bukan sekadar tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum. Bahkan, untuk perbuatan baikpun, ketika tidak didasari oleh kepekaan mengenai kepentingan orang lain, khususnya menyangkut keadaan rakyat yang dipimpinnya, si pejabat itu akan terjebak dalam keadaan yang serba salah.
Ketika seseorang menjadi pejabat, perilaku baik dan buruk bukan lagi diukur dalam bingkai aturan formal semata, baik hukum negara maupun agama, melainkan lebih dari itu, yakni moralitas atau etika.
Secara hukum pemerintahan, Mirwan MS juga dinilai melakukan pelanggaran karena bepergian ke luar negeri, tanpa mengantongi izin dari Kemendagri. Karena itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian memberhentikan sementara Mirwan MS selama tiga bulan dari jabatannya karena berangkat umrah tanpa izin, di saat daerahnya dilanda bencana.
Sanksi tersebut diberikan berdasarkan ketentuan Pasal 76 Ayat i dan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Mirwan belum mengajukan izin perjalanan luar negeri ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) karena izinnya sudah terlebih dahulu ditolak oleh Gubernur Aceh Muzakir Manaf.
Hakikat beragama
Menyikapi kasus yang kini menjerat Mirwan MS, menjadi relevan untuk kita berintrospeksi diri mengenai perjalanan kita memahami agama yang seringkali hanya terjebak dalam ibadah formalitas dan mengabaikan hakikat terdalamnya.
Pilihan ibadah umrah oleh Mirwan MS ini mengingatkan kita pada kisah Ali bin Muwaffaq yang tidak jadi berangkat haji, namun justru mendapatkan predikat sebagai haji mabrur.
Pelajaran moral mengenai pentingnya beragama hingga menyentuh aspek hakikat ini berasal dari cerita kebijaksanaan, yakni dari mimpi seorang ulama Mekkah Abu Abdurrahman Abdullah ibn al-Mubarak al-Hanzhali al-Mawarzi. Usai menjalani ibadah haji, ulama itu tertidur, kemudian bermimpi menyaksikan dua malaikat tengah bercakap-cakap.
Dalam mimpi itu, Abu Abdurrahman Abdullah menyaksikan seorang malaikat mengatakan kepada malaikat satunya jika dari 600.000 orang yang berhaji, kala itu, tidak ada satupun yang ibadahnya diterima oleh Allah SWT alias mabrur. Hanya saja, malaikat itu menyebut ada satu orang yang hajinya diterima, meskipun orang itu tidak berangkat ke Tanah Suci Mekkah. Bahkan, malaikat itu juga menyampaikan bahwa seluruh dosa orang yang batal berhaji itu telah diampuni oleh Allah.
Begitu terbangun dari tidurnya, Abu Abdurrahman Abdullah penasaran untuk mencari Ali bin Muwaffaq, yang ternyata, sehari-harinya pria tersebut hanya bekerja sebagai tukang sol sepatu.
Abu Abdurrahman Abdullah berangkat ke kota tempat tukang sol sepatu itu tinggal. Singkat cerita, ulama itu bertemu dengan Ali bin Muwaffaq.
Kepada ulama itu, Ali bin Muwaffaq bercerita bahwa setiap hari ia menabung untuk bekal berangkat berhaji ke tanah suci. Akhirnya uang tabungannya terkumpul 350 dirham dan cukup untuk beribadah haji, kala itu.
Beberapa hari sebelum waktu keberangkatan, Ali bin Muwaffaq menemukan seorang janda, tetangganya, yang kelaparan. Uang yang sedianya akan digunakan untuk berhaji, ia berikan semuanya kepada janda tua dengan tanggungan beberapa anak yang yatim itu.
Kita bisa belajar dari kisah Ali bin Muwaffaq ini untuk beribadah tidak hanya berdasarkan pada nilai ritual, melainkan juga pada aspek substansi dari perintah agama tersebut.
Demikian juga dengan Mirwan MS yang berstatus sebagai pejabat publik dan seharusnya peka terhadap persoalan mendasar yang dihadapi warganya.
Jika belajar hikmah dari kisah Ali bin Muwaffaq, maka pilihan terbaik bagi Mirwan MS adalah menomorsatukan pertolongan terhadap rakyat yang dipimpinnya.
Umrah termasuk dalam ibadah sunah, sedangkan menangani rakyat yang sedang tertimpa musibah, apalagi sedang membutuhkan makanan, adalah wajib bagi seorang pemimpin. Para pemimpin di tingkatan apapun mungkin haruse berterima kasih kepada Mirwan MS yang telah memberi pelajaran mengenai pentingnya kepekaan terhadap kondisi sosial masyarakat yang dipimpinnya.
