Jakarta (ANTARA) - Perkembangan media sosial telah menciptakan ruang digital yang menawarkan kebebasan berekspresi dan berbagi informasi, tetapi kebebasan tersebut kerap disertai dengan munculnya konten-konten yang tidak sesuai untuk dikonsumsi, khususnya oleh anak-anak.
Berbagai jenis konten, mulai dari kekerasan fisik dan verbal, unsur seksual, informasi yang menyesatkan, hingga ujaran kebencian menjadi hal-hal negatif yang rentan diakses oleh anak di bawah umur.
Sebuah data dari National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) menunjukkan bahwa kasus pornografi anak di Indonesia selama empat tahun terakhir mencapai angka 5.566.015, menempatkan negara ini pada peringkat keempat secara global dan kedua di kawasan ASEAN.
Data tersebut memberikan gambaran serius mengenai maraknya konten yang berpotensi merugikan perkembangan psikologis anak-anak.
Selain itu, hasil studi yang dipublikasikan di Journal of American Medical Association (JAMA) mengindikasikan bahwa remaja yang menghabiskan waktu lebih dari tiga jam per hari di media sosial memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami masalah kesehatan mental.
Faktor yang memicu maraknya konten negatif di media sosial juga tidak lepas dari peran algoritma yang cenderung mengedepankan materi sensasional guna meningkatkan interaksi pengguna.
Anak-anak yang masih dalam tahap perkembangan kognitif rentan terpapar konten semacam ini, sehingga dapat berdampak pada perilaku, emosi, dan kesehatan mental mereka.
Tidak hanya itu, media sosial juga memberikan peluang bagi pelaku kejahatan, seperti predator anak, untuk menyamar sebagai pengguna biasa dan menjalin komunikasi yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan eksploitasi.
Data dari Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri mencatat adanya penangkapan 58 tersangka terkait 47 kasus pornografi anak dalam rentang waktu Mei hingga November 2024, yang mengindikasikan maraknya kasus eksploitasi secara online.
Dalam konteks global, beberapa negara telah menerapkan langkah-langkah perlindungan bagi anak di ruang digital. Di Prancis, misalnya, anak di bawah 15 tahun diwajibkan memiliki izin orang tua sebelum membuat akun media sosial.
Sementara itu, China membatasi waktu penggunaan perangkat digital bagi anak-anak, dan Australia baru-baru ini memberlakukan aturan yang melarang anak di bawah usia 16 tahun mengakses platform media sosial.
Upaya-upaya tersebut menunjukkan kesadaran internasional terhadap pentingnya perlindungan anak dari dampak negatif media sosial, terutama dalam menjaga kesehatan mental dan keselamatan mereka.
Halaman berikut: Gerak cepat pemerintah dalam memberikan perlindungan anak di ruang digital
Gerak cepat pemerintah
Di Indonesia, Pemerintah juga memberikan perhatian serius terhadap permasalahan ini. Presiden Prabowo Subianto telah memerintahkan Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) untuk segera merumuskan regulasi yang fokus pada perlindungan anak di ruang digital, khususnya media sosial.
Dalam waktu yang relatif singkat, yakni dua bulan, Kementerian Komdigi harus membuat regulasi yang berfokus pada pembatasan akses anak-anak untuk menggunakan media sosial.
Kementerian telah membentuk tim kerja khusus yang terdiri atas perwakilan kementerian terkait, akademisi, tokoh pendidikan anak, serta berbagai lembaga pemerhati dan perlindungan anak.
Pembentukan tim kerja ini dilakukan sebagai respons terhadap urgensi mengatasi konten negatif di media sosial serta untuk menyusun mekanisme pengawasan yang lebih efektif.
Secara struktural, tim kerja yang dibentuk memiliki tiga fokus utama. Pertama, memperkuat regulasi dan mekanisme pengawasan terhadap platform digital yang menyediakan akses bagi anak.
Kedua, meningkatkan literasi digital baik bagi anak maupun orang tua guna menumbuhkan kesadaran atas risiko dan manfaat penggunaan media sosial.
Ketiga, menerapkan sanksi tegas terhadap pelaku dan penyebar konten berbahaya, sebagai upaya untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih aman.
Kementerian Komdigi juga telah meluncurkan Sistem Kepatuhan Moderasi Konten (SAMAN) yang berlaku mulai Februari.
Sistem ini akan memastikan platform digital bertanggung jawab dalam mengawasi konten. Jika platform tidak menghapus konten pornografi anak dalam waktu 1x4 jam setelah diberikan peringatan, maka mereka akan dikenakan sanksi tegas.
Aturan pembatasan akses media sosial bagi anak ini bisa menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) sebagai aturan turunan.
Pemerintah memiliki beberapa opsi dalam menerapkan aturan ini, mulai dari Peraturan Pemerintah (PP) hingga Peraturan Menteri. Jika diperlukan, aturan ini juga dapat diperkuat melalui revisi Undang-Undang.
Halaman berikut: Pembatasan pembuatan akun media sosial oleh anak-anak
Menjaga hak anak
Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid telah menegaskan bahwa dalam aturan yang tengah digodok ini, yang dibatasi bukanlah akses menggunakan internet, melainkan pembatasan pembuatan akun media sosial oleh anak-anak.
Aturan ini nantinya tidak melarang anak-anak mengakses media sosial secara keseluruhan. Anak-anak tetap dapat menggunakan media sosial asalkan didampingi oleh orang tua dan menggunakan akun milik orang tua.
Pendekatan yang diambil oleh Kementerian Komdigi dapat dipandang sebagai upaya untuk menyeimbangkan antara perlindungan anak dan penghormatan terhadap prinsip demokrasi serta kebebasan berekspresi.
Kebijakan ini tidak menghambat akses anak terhadap informasi positif yang tersedia di dunia maya. Justru, dengan pembatasan akses media sosial ini, anak-anak akan beralih ke situs-situs pendidikan maupun konten-konten kreatif yang dapat mendukung perkembangan mereka.
Anak-anak juga dapat terhindar dari risiko kecanduan media sosial. Dengan membatasi akses ke platform digital, mereka memiliki lebih banyak waktu untuk fokus pada aktivitas fisik, interaksi sosial langsung, dan kegiatan kreatif di dunia nyata.
Lebih jauh, aturan ini turut mendorong peran serta orang tua dalam mendampingi anak di era digital. Orang tua akan berperan sebagai pemandu dan pengawas, sehingga anak-anak dapat menavigasi dunia digital dengan lebih aman dan produktif.
Pada akhirnya, kebijakan pembatasan pembuatan akun anak di media sosial merupakan upaya preventif untuk melindungi anak di ruang digital tanpa menghambat akses mereka terhadap informasi positif.
Jika upaya ini dilaksanakan dengan konsisten dan melibatkan partisipasi aktif dari berbagai pihak, ekosistem media sosial yang lebih aman dan kondusif bagi perkembangan anak menjadi sebuah keniscayaan.