Jakarta (ANTARA) - Mudik bukan sekadar perjalanan dari satu titik geografis ke titik lainnya. Ia adalah fenomena sosial yang unik. Sebuah ritual massal yang sarat emosi dan budaya. Namun, di balik euforia dan romantika itu, tersimpan satu kenyataan yang sering luput dari perhatian: risiko kesehatan selama perjalanan.
Dari kelelahan fisik, pola makan yang kacau, hingga penurunan daya tahan tubuh, semuanya bisa mengintai dan merusak momen indah yang seharusnya dirayakan. Lalu pertanyaannya, mungkinkah mudik tetap penuh makna tanpa mengorbankan kesehatan? Jawabannya bukan hanya mungkin. Ia perlu dan mendesak untuk dilakukan. Inilah saatnya kita membangun kesadaran baru: mudik yang sehat adalah investasi untuk Lebaran yang bahagia.
Di tengah gegap gempita arus mudik, kita kerap melihat hal yang sama berulang: wajah lelah di terminal, anak-anak menangis di dalam bus penuh sesak, pengemudi mengantuk yang memaksakan diri menyetir berjam-jam, bahkan ada yang terpaksa menghabiskan Lebaran di rumah sakit akibat infeksi saluran pencernaan atau dehidrasi berat.
Tradisi, betapapun mulianya, tak boleh membutakan kita dari realitas. Maka, yang diperlukan bukanlah penolakan terhadap mudik, melainkan perubahan cara pandang. Bahwa mudik bukan hanya soal tiba, tapi soal bagaimana kita tiba. Bukan hanya cepat sampai, melainkan dalam keadaan sehat, waras, dan utuh.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah lama mengingatkan bahwa perjalanan panjang, terutama yang dilakukan dalam posisi duduk tanpa henti, meningkatkan risiko Deep Vein Thrombosis (DVT), pembekuan darah di pembuluh vena dalam yang bisa berujung fatal. Belum lagi masalah dehidrasi, infeksi saluran kemih, dan kelelahan kronis yang sering dianggap remeh.
Persiapan sehat seharusnya dimulai beberapa hari sebelum berangkat. Periksa kondisi tubuh. Jika merasa tidak enak badan, lebih baik tidak memaksakan diri dan menunda perjalanan daripada membawa virus ke dalam ruang transportasi umum dan berisiko memperburuk kondisi diri.
Satu lagi yang tak kalah penting adalah tidur cukup. Tidur bukan aktivitas pasif. Ia adalah proses biologis aktif yang meregenerasi sel, memperkuat sistem imun, dan menyegarkan fungsi kognitif. Tidur kurang dari enam jam akan menurunkan kemampuan konsentrasi setara dengan mengonsumsi alkohol ringan. Jadi, jika Anda menyetir, kurang tidur bukan sekadar ceroboh. Ia bisa mematikan.
Tubuh manusia kurang lebih 60 persen berisi air. Setiap fungsi vital tubuh bergantung pada kecukupan cairan: sirkulasi darah, pencernaan, kerja otak, hingga daya tahan tubuh.
Strategi mudahnya: minum 500 ml air setiap 2–3 jam. Bawa botol minum sendiri agar bisa mengontrol asupan. Infused water (air putih berisi potongan lemon atau mentimun) bisa jadi alternatif menyegarkan. Hindari minuman manis, bersoda, dan minuman energi, karena semua itu justru mempercepat dehidrasi dan memperberat kerja ginjal.
Punggung kaku, kaki pegal, atau tangan kesemutan setelah duduk lama dalam kendaraan menjadi masalah lain. Itu bukan sekadar keluhan biasa namun bisa jadi pertanda sirkulasi darah terganggu, atau dalam kasus ekstrem, DVT seperti disebut di awal.
Kuncinya: gerak. Tak perlu ruang besar. Bahkan dari kursi kendaraan, Anda bisa melakukan leg stretch (meluruskan kaki dan menahannya 10 detik), shoulder shrug (angkat dan turunkan bahu), hingga neck rotation (memutar leher perlahan).
Kebiasaan seperti merokok, ngemil terus-menerus, atau menahan buang air kecil sering dilakukan untuk membunuh waktu selama perjalanan, namun, justru itulah pembunuh diam-diam (silent killer) yang merusak tubuh secara perlahan.
Menahan buang air kecil, misalnya, bisa meningkatkan risiko infeksi saluran kemih dan gangguan ginjal.
Dalam psikologi transportasi, ada istilah microsleep, tidur singkat beberapa detik yang terjadi tanpa disadari. Inilah penyebab utama kecelakaan fatal yang sering terjadi saat mudik.
Mudik sering diibaratkan perlombaan: siapa yang sampai kampung halaman paling cepat. Ini adalah ilusi yang menyesatkan. Kecepatan yang berlebihan hanya menambah stres dan risiko.
Sebaliknya, nikmatilah perjalanan. Gunakan momentum mudik untuk menyadari keindahan lanskap, mengenang masa kecil, atau sekadar memperhatikan wajah-wajah di sekitar. Ketika Anda mulai melihat mudik sebagai bagian dari liburan, bukan sekadar “tiket menuju Lebaran”, maka perjalanan akan terasa lebih ringan dan bermakna.
Mari jadikan mudik sehat sebagai bagian dari budaya baru. Karena tradisi terbaik adalah tradisi yang terus tumbuh dan menyesuaikan diri dengan pengetahuan baru.
*) dr Dito Anurogo MSc PhD, alumnus IPCTRM TMU Taiwan, dokter umum, dosen FKIK Unismuh Makassar, peneliti Institut Molekul Indonesia, trainer profesional, reviewer jurnal nasional-Internasional, penulis puluhan buku
Baca juga: Perjuangan Palang Merah Indonesia di Stasiun Gambir demi mudik sehat
Baca juga: Berikut rekomendasi IDAI mudik sehat bersama anak-anak
Baca juga: Ini kiat jaga kesehatan tubuh selama Lebaran menurut dokter