Jakarta (ANTARA) - Sejarah mencatat bahwa hubungan sipil-militer di Indonesia pernah mengalami pasang surut dan dinamika yang kompleks, terutama pada era Dwi Fungsi ABRI. Model tersebut menciptakan keterlibatan militer dalam berbagai aspek kehidupan sipil dan di birokrasi pemerintahan.
Meskipun di satu sisi, ABRI, waktu itu, berkontribusi terhadap penciptaan stabilitas nasional, namun di sisi lain memunculkan tantangan dalam upaya mengokohkan supremasi sipil. Itulah sebabnya sejak reformasi, berbagai kebijakan diarahkan untuk memperkuat profesionalisme militer dan membangun hubungan yang lebih seimbang dengan kekuatan sipil.
Dalam konteks perubahan UU TNI, penting untuk meninjau kembali aspek historis ini secara objektif, bukan sekadar sebagai refleksi masa lalu, tetapi juga sebagai bahan evaluasi untuk merancang sistem yang lebih adaptif di masa depan, sehingga terwujud sistem pemerintahan yang integratif dan kolaboratif.
Dalam sistem demokrasi yang sehat, keberadaan militer tetap memiliki peran strategis menjaga stabilitas dan keamanan negara. Beberapa negara telah mengembangkan model hubungan sipil-militer yang berbeda, sesuai dengan kebutuhan dan konteks masing-masing.
Amerika Serikat menempatkan militer dalam peran keamanan dan pertahanan, dengan mekanisme kontrol sipil yang kuat untuk menjaga keseimbangan kekuasaan.
Jerman menerapkan konsep Staatsbürger in Uniform, di mana prajurit tetap memiliki hak sebagai warga negara, namun tetap netral dalam politik.
Belanda dan Kanada mengembangkan model civil-military cooperation (CIMIC), yang memungkinkan militer berperan dalam konteks sosial dan kemanusiaan di bawah regulasi yang ketat.
Indonesia dapat belajar untuk merancang pola hubungan sipil-militer yang sesuai dengan kebutuhan nasional, tanpa mengabaikan prinsip demokrasi dan supremasi hukum.
Setiap posisi yang memungkinkan diisi oleh personel TNI harus melalui kajian kelembagaan dan mekanisme pengawasan publik serta tidak melanggar UU Aparatur Sipil Negara.
Keterlibatan militer harus memperkuat fungsi negara secara sah dan akuntabel dalam menciptakan ekosistem pemerintahan yang modern.
Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan, antara lain keterlibatan prajurit dalam ranah sipil harus berbasis kebutuhan strategis dan melalui proses seleksi terbuka dan objektif. Bukan sekadar pemenuhan amanat undang-undang dalam soal kuota militer dalam birokrasi.
Setiap kebijakan terkait hubungan sipil-militer harus memiliki sistem pengawasan yang kuat untuk menghindari potensi abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan.
Proses perumusan kebijakan harus transparan terhadap masukan dari berbagai pihak, termasuk akademisi, masyarakat sipil, dan lembaga independen.
Dengan pendekatan yang berbasis keseimbangan, transparansi, dan akuntabilitas, UU TNI dapat menjadi momentum untuk menata ulang hubungan sipil-militer yang lebih adaptif dalam menghadapi tantangan global, sekaligus tetap menjaga nilai-nilai demokrasi.
Hubungan sipil-militer yang inklusif tidak berarti membuka kembali pintu dominasi militer, mengabaikan prinsip demokrasi. Inklusif berarti kemampuan negara untuk mengelola keterlibatan militer secara sah, terukur, dan strategis dalam konteks pembangunan nasional, tanpa melemahkan supremasi sipil. Jadi bukan subordinasi, melainkan integrasi sipil-militer yang dipagari regulasi.
*) Dr Eko Wahyuanto, MM adalah dosen di ST-MMTC Komdigi, Yogyakarta
Baca juga: FHUP gelar diskusi terhadap implikasi perubahan UU TNI
Baca juga: Petugas bubarkan massa di depan gedung parlemen
Baca juga: TNI sebut mekanisme penempatan prajurit di K/L dalam RUU TNI diatur ketat