Jakarta (ANTARA) - Pernah mendengar kisah tentang "Anak Penggembala yang Berteriak Serigala"?
Aesop, seorang pendongeng pada zaman Yunani Kuno, telah menuturkan cerita mengenai seorang anak penggembala yang sedang menggembalakan domba. Namun, karena anak tersebut kerap melakukan rutinitas penggembalaan itu setiap hari dan merasa bosan, dia memutuskan untuk berbuat sesuatu guna menarik perhatian warga desa.
Tindakan yang dilakukan sang penggembala muda itu adalah berteriak bahwa ada serigala yang menyerang kawanan dombanya, padahal kondisi sebenarnya sama sekali tidak ada serigala.
Sontak saja, para penduduk desa segera bergegas pergi keluar untuk menolong anak penggembala itu, tetapi mereka kemudian tidak menemukan apa-apa, hanya anak penggembala yang merasa puas dan tertawa dalam hati karena berhasil menipu para penduduk desa.
Melihat aksinya yang berhasil tersebut, ternyata anak penggembala itu (kemungkinan untuk memuaskan egonya) kembali mengulang-ulang perbuatannya dengan berteriak serigala, dan lagi-lagi para penduduk desa tertipu oleh teriakan tersebut.
Dampak dari berkali-kali ditipu, oleh anak penggembala, para penduduk desa bertekad untuk tidak lagi percaya kepada teriakan sang penggembala. Hingga suatu hari, ternyata ada seekor serigala yang benar-benar muncul.
Dengan ketakutan, sang anak penggembala berteriak-teriak "ada serigala" dengan harapan para penduduk desa akan menolongnya. Namun, tidak ada satu pun yang menolongnya sehingga seluruh dombanya dimakan serigala itu.
Hikmah dari kisah itu bahwa tindakan kerap berbohong akan ada konsekuensinya, yaitu tidak akan lagi ada yang percaya terhadap ucapan seorang pembohong akut.
Bahaya tidak konsisten
Selain itu, sebenarnya ada satu sifat lagi yang sebenarnya dapat ditarik sebagai hikmah dari kesialan yang diterima oleh anak penggembala itu, yaitu peringatan tentang bahaya perilaku yang tidak konsisten.
Inkonsistensi dari anak penggembala itu ditunjukkan dengan berkali-kali mengatakan bahwa "ada serigala", padahal faktanya "tidak ada serigala", sehingga menimbulkan kebingungan dan ketidakpercayaan yang membuat para penduduk desa seiring waktu mengabaikan kata-katanya yang tidak konsisten.
Dalam kehidupan nyata, ketidakkonsistenan semacam itu -baik dalam komunikasi, janji, tindakan, atau emosi- dapat membuat orang waspada, bahkan jika niat Anda baik. Ini seperti membangun reputasi di atas tanah yang goyah; pada akhirnya, reputasi itu tidak akan bertahan.
Pada kondisi global seperti saat ini, tema inkonsistensi itu juga dapat ditemukan dalam kebijakan tarif yang digagas oleh Presiden AS Donald Trump. Situs berita seperti MSNBC bahkan telah merangkum lini masa dalam ketidakkonsistenan dalam kebijakan tarif tersebut.
Lini masa tersebut membeberkan bahwa pada 1 Februari, Trump mengumumkan penerapan tarif baru pada tiga mitra dagang terbesar Amerika Serikat — Kanada, Meksiko, dan China — dan mengatakan tidak ada yang dapat dilakukan siapa pun untuk menunda kebijakan itu.
Namun pada 3 Februari, Trump menarik kembali pernyataannya, dengan mengklaim bahwa ia telah membuat beberapa kesepakatan di menit-menit terakhir yang pada dasarnya tidak pernah ada kesepakatan yang disebut-sebut itu.
Kemudian pada 4 Maret, Trump kembali mengumumkan bahwa ia akan mengenakan tarif pada Kanada, Meksiko, dan China. Dua hari kemudian, Trump mengumumkan pengecualian secara luas untuk berbagai macam barang dalam penerapan tarif tersebut.
Selanjutnya, Trump pada 2 Februari mengumumkan "Hari Pembebasan" dengan mengumumkan tarif internasional yang berbeda-beda kepada puluhan negara (Indonesia sendiri dikenakan tarif 32 persen).
Pada periode 3-8 April, Trump hingga sejumlah pejabat pemerintahannya dan para pendukungnya di Kongres bersikeras bahwa Trump tidak akan mundur di bawah tekanan hanya karena kebijakan tarifnya mengguncang pasar global dan meningkatkan kekhawatiran akan resesi.
Tarif khusus China
Simsalabim pada Rabu (9/4) lalu, Trump menyatakan bahwa kali ini tarif yang akan dikenakan adalah 10 persen ke seluruh negara, tetapi khusus China yang dianggap Trump "tidak menghormati" kebijakan tarif pemerintah AS, maka akan mendapatkan tarif hingga sebesar 145 persen.
China sebenarnya mendapat tarif 125 persen yang dikenakan Trump untuk mengatasi defisit perdagangan AS dengan China serta menghukum Beijing karena membalas pajak impor AS. Sedangkan angka 145 persen tersebut, yang dipublikasikan dalam memo Gedung Putih pada Kamis (10/4), diperoleh dari tambahan dari pungutan 20 persen yang diberlakukan awal tahun ini terhadap China.
Mendengar beragam inkonsistensi tersebut, MNSBC mengutip Anggota DPR AS Jim McGovern yang menyatakan "Bagaimana perusahaan mana pun dapat meramalkan masa depan mereka, membangun pabrik, mempekerjakan pekerja," jika ternyata tidak ada kepastian atau konsistensi terhadap kebijakan apa lagi yang bakal diumumkan Trump terkait dengan kebijakan tarifnya.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kerap berubahnya pengumuman terkait tarif bakal dipastikan menimbulkan kebingungan di kalangan pelaku bisnis dan konsumen tidak hanya di AS, tetapi banyak negara.
Selain itu, efek negatif lainnya adalah pengenaan tarif yang tiba-tiba dan penarikan sebagian tarif menyebabkan volatilitas pasar, dengan kecenderungan volatilitas ini menyoroti besarnya ketergantungan investor pada kestabilan, sekaligus menimbulkan kekhawatiran tentang dampak jangka panjang pada sistem keuangan global.
Redaktur Ekonomi BBC, Faisal Islam juga menyatakan dalam artikelnya bahwa ada pula penantian yang sangat mencemaskan untuk mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya.
Kecemasan itu antara lain adalah apakah Presiden Trump akan terus mengenakan tarif terhadap produk farmasi atau obat-obatan, atau mengenai potensi kekacauan logistik yang mungkin terjadi akibat pajak pelabuhan bernilai jutaan dolar yang tidak banyak diketahui untuk setiap kapal kargo yang berlabuh di AS yang "dibuat di China".
Sebagaimana diketahui, jumlah kapal kargo yang memenuhi kriteria itu adalah lebih dari setengah armada dagang global. Islam mengingatkan, bahkan dengan pernyataan Trump yang menunda penerapan tarif yang lebih tinggi (terhadap puluhan negara) selama 90 hari, masih ada terlalu banyak ketidakpastian bagi perusahaan untuk menjalani kerumitan pengalihan rute perdagangan global.
China tidak takut
Sementara itu, pemerintah China menegaskan bahwa meski tidak ingin melakukan perang dagang, mereka tidak takut menghadapi tarif AS.
Hal itu dikemukakan secara lugas oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Lin Jian dalam konferensi pers di Beijing, Kamis, dengan menyatakan bahwa China tidak takut dan "tidak akan tinggal diam ketika hak dan kepentingan sah rakyat China dirugikan atau ketika rezim perdagangan multilateral dirusak".
Untuk itu, ujar Lin Jian, jika AS bertekad untuk berperang tarif dan perdagangan, maka China juga bertekad untuk menanggapinya secara terus-menerus hingga akhir.
Respons tegas China terhadap tarif Trump di satu sisi menekankan kalkulasi ketahanan dan kesiapan dalam menghadapi konfrontasi ekonomi yang berkepanjangan. Namun di lain pihak, langkah tersebut juga memiliki potensi risiko strategis tersendiri.
Tekad China menunjukkan bahwa Beijing telah menunjukkan kemauan untuk menanggung tantangan ekonomi jangka pendek guna mencapai tujuan strategis jangka panjang. Pendekatan ini mencerminkan keyakinan terhadap kekuatan ekonomi China dan keyakinan akan hasil yang menguntungkan pada akhirnya.
Adapun potensi risikonya adalah ketegangan perdagangan yang berkepanjangan dapat berdampak merugikan, antara lain dengan Produk Domestik Bruto (PDB) yang bakal terhantam oleh kebijakan tarif AS, yang bakal tercermin pada menurunnya kinerja berbagai pabrik manufaktur di Negeri Tirai Bambu itu.
Singkatnya, sikap tegas China terhadap tarif AS merupakan strategi yang diperhitungkan yang bertujuan untuk melindungi kepentingannya dan menegaskan posisinya di panggung global. Namun, pendekatan ini mengandung risiko inheren yang dapat memengaruhi stabilitas ekonomi China dan hubungan internasional.
Apa pun itu, kemungkinan besar hasil dari konflik tarif atau perang dagang kali ini bukanlah sebuah happy ending atau akan berakhir bahagia, tetapi berpotensi akan menjadi tragedi seperti kisah "Anak Penggembala yang Berteriak Serigala".