Depok (ANTARA) - Guru besar Ilmu Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Indonesia (UI) Prof Ria Puspitawati mengungkapkan korelasi stunting dengan kesehatan gigi dan mulut pada anak.
Ria Puspitawati di Depok, Senin, menjelaskan Hasil Studi Status Gizi (HSSG) yang dirilis Desember 2021 menunjukkan di Indonesia terdapat 24,4 persen balita mengalami kondisi stunting, yang berarti penurunan 3,3 persen dibandingkan data 2019 yaitu 27,7 persen.
Meskipun demikian, persentase tersebut masih tergolong tinggi menurut standar World Health Organization (WHO) yaitu tidak lebih dari 20 persen.
Dua puluh delapan provinsi masih memiliki prevalensi stunting lebih dari 20 persen, termasuk Jawa Barat dan Banten. Provinsi di Indonesia dengan prevalensi stunting tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 37,8 persen.
“Malnutrisi kronis seperti terjadi pada stunting berkorelasi dengan penurunan sintesis dan kadar insulin-like growth factor 1 (IGF-1). Penurunan asupan kalori sebesar 50 persen dan penurunan asupan protein sampai 33 persen dapat menyebabkan reduksi konsentrasi IGF-1 yang menetap. Kadar IGF-1 yang rendah memicu peningkatan sekunder kadar Growth Hormone (GH) via mekanisme umpan balik negatif pada aksis kelenjar hypofisis yang menginduksi proses sekresi GH,” ujar Ria.
Baca juga: Guru besar UI sebut perlu keterlibatan disiplin ilmu lain tangani gizi
Hasil akhirnya berupa pengalihan substrat dari fungsi pertumbuhan menjadi fungsi metabolik untuk menjaga homeostasis. Ekspresi IGF-1 yang rendah dapat menyebabkan terjadinya gangguan waktu erupsi gigi karena mengganggu proses maturasi gigi.
Lebih lanjut Prof Ria mengatakan dalam proses pembentukan dan regenerasi dentin, IGF-1 berperan memicu proliferasi dan diferensiasi sel-sel pembentuk jaringan keras seperti osteoblast dan odontoblast.
Penelitian terbaru melaporkan peran IGF-1 dalam proses proliferasi dan migrasi sel-sel jaringan gigi. Ketika proses pembentukan akar gigi dimulai, IGF-1 terekspresikan di jaringan pulpa gigi.
Ria mengatakan prevalensi defisiensi zat besi cukup tinggi di negara berkembang termasuk di Indonesia. Defisiensi zat besi juga dihubungkan dengan kondisi stunting pada anak. Defisiensi zat besi merupakan faktor utama penyebab anemia atau rendahnya kadar haemoglobin (Hb).
Baca juga: Pengmas UI periksa kesehatan 120 balita di Tangerang cegah stunting
Haemoglobin sangat esensial karena perannya dalam mengikat oksigen ke sel darah merah yang akan dihantarkan ke seluruh tubuh dan mendukung terjadinya metabolisme untuk menghasilkan energi, proses pertumbuhan somatik, atau proses regenerasi jaringan.
“Defisiensi zat besi dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan jaringan, dan menurunkan sistem imun sehingga tubuh lebih rentan terhadap terjadinya infeksi. Dari berbagai penelitian menunjukkan, anemia defisiensi zat besi terindikasi berkorelasi dengan prevalensi karies, periodontitis kronis, kandidiasis, sensasi terbakar dan kemerahan mukosa lidah, atropi papila lidah, disphagia, dan peningkatan risiko kanker rongga mulut,” katanya.
Ia menjelaskan deteksi dini defisiensi zat besi berdasarkan manifestasinya pada rongga mulut terbukti dapat menjadi alat diagnosis dari kondisi sistemik yang mendasari kelainan rongga mulut tersebut.
Dilaporkan juga bahwa pada kondisi stunting dapat terjadi disrupsi maturasi gigi, gangguan pembentukan email, serta keterlambatan waktu erupsi gigi sulung. Fenomena tersebut selaras dengan hasil penelitian yang melaporkan hubungan bermakna antara stunting dengan status kesehatan gigi mulut pada anak-anak.
Baca juga: UI ajak remaja Depok jadi agen pencegahan stunting
Ria mengatakan pada kondisi stunting terjadi defisiensi berbagai komponen nutrisi seperti karbohidrat, protein, lipid maupun vitamin dan mineral sehingga tubuh tidak memperoleh asupan nutrisi yang memadai, mengakibatkan keterbatasan suplai energi dan bahan baku untuk pembentukan jaringan baru maupun untuk terjadinya proses metabolisme sehingga proses pertumbuhan somatik tidak dapat berlangsung secara optimal.
Kondisi demikian yang terjadi pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) yaitu periode pertumbuhan aktif seluruh organ dan sistem tubuh mengakibatkan tidak optimalnya kualitas jaringan pembentuk organ serta tidak optimalnya berbagai proses fisiologis, termasuk menurunnya sistem imun sehingga tubuh menjadi lebih rentan terhadap infeksi.
“Stunting juga lazim menyebabkan anemia defisiensi zat besi, penurunan kadar IGF-1 dan atau aksis GH-IGFs yang berperan dalam proliferasi dan diferensiasi berbagai sel termasuk sel jaringan gigi, atropi sel-sel kelenjar saliva sehingga menyebabkan penurunan sekresi saliva dan perubahan karakter saliva yang berefek perubahan pH rongga mulut, penurunan kadar sIgA saliva, dan kapasitas self cleansing rongga mulut,” ujar Prof. Ria.