Jakarta (ANTARA) - Judi online (judol) di Indonesia menjadi masalah serius karena sudah merambah ke berbagai lapisan masyarakat termasuk aparat penegak hukum, aparatur sipil negara, bahkan petani dan pedagang pun menjadi korban.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) bersama Polri secara berkesinambungan melakukan patroli siber dan penindakan (menghapus) akun-akun terindikasi judol. Namun kenyataannya praktik judol tetap marak di kalangan masyarakat bahkan menimpa anak-anak.
Data Kementerian Komdigi menyebut total penanganan (take down) akun judi online selama periode 2017 hingga 4 Desember 2024 mencapai 5,3 juta lebih, sedangkan tertinggi pada 2024 mencapai 3,6 juta atau meningkat 3 lipat lebih dibanding 2023 yang mencapai 999 ribu.
Sedangkan pemain judol dari segi usia tertinggi 30--50 tahun sebanyak 1,84 juta, kedua di atas 50 tahun 1,35 juta, dan usia 21--30 tahun 520 ribu. Namun, yang miris Kementerian Komdigi juga mencatat adanya anak usia di bawah 10 tahun yang ikut bermain judol yakni sebanyak 30 ribu.
Tentunya ini yang membuat miris di kalangan orang tua yang tentunya harus selalu mengawasi gawai yang dipakai anak-anaknya. Bukan tidak mungkin di dalam handphone anak-anak mereka yang seharusnya dipakai untuk belajar ternyata tersembunyi aplikasi judol.
Direktur Pengelolaan Media Ditjen Komunikasi Publik dan Media (KPM) Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Nursodik Gunarjo menjelaskan terdapat dua modus yang kerap dipakai bandar judol untuk menjaring pemain yakni mengepul rekening dan top up online.
Bandar judol ini kerap menjaring korban melalui kolega (teman dekat) dan keluarga, mereka yang suka menjelajah (browsing) internet biasanya ada kata kunci tertentu seperti foto, wingame, dan lainnya, terjebak algoritma (masuk lewat iklan), dan ada juga yang langsung menawarkan melalui admin online untuk mencoba bermain sesuatu.
Nursodik menjelaskan ada lima fase yang dilewati korban judol. Awalnya melakukan pendaftaran, kemudian berlanjut dengan mulai bermain, fase bermain, fase kecanduan, dan terakhir munculnya kesadaran untuk keluar dari kecanduan.
Korban judol umumnya karena faktor ekonomi (mayoritas dari masyarakat bawah). Mereka berharap bisa mendapat uang secara cepat melalui judol. Sedangkan motivasi lain mengisi waktu kosong karena tidak ada pekerjaan dimana main judol dijadikan sebagai jalan pintas mendapat uang dengan cara cepat dan instan.
Nursodik juga mengingatkan orang tua agar selalu mewaspadai anak-anak yang mengalami perubahan perilaku. Awalnya aktif mengikuti berbagai kegiatan di sekolah dan luar sekolah kemudian berubah lebih sering menyendiri dan mengurung diri di dalam kamar.
Kerja keras
Pemberantasan judol ini sempat mengejutkan masyarakat dengan tertangkapnya oknum di Komdigi yang seharusnya bertugas menindak akun terindikasi judol. Para oknum ini malah memfasilitasi agar akun-akun ini bebas berkeliaran yang tentunya dengan imbalan.
Komitmen pemberantasan judol tentunya harus berawal dari penegak hukum. Apabila penegak hukum bersih maka upaya pemberantasan judol bisa dengan cepat terselesaikan. Namun kalau di hulu masih ada masalah maka persoalan judol ini akan terus berlanjut.
Kepala Biro Multimedia Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Gatot Repli Handoko, S.I.K secara tegas menyebut bakal menangkap dan memberikan sanksi terhadap oknum petugas bank dan ASN yang terlibat judol termasuk anggota Kepolisian. Penegakan hukum diikuti dengan serangkaian aksi penyitaan aset baik yang ada di dalam maupun luar negeri, serta memblokir portal terkait judol.
Polri juga melakukan penguatan satgas pemberantasan judol yang melibatkan melibatkan 22 kementerian dan lembaga (Kemenag, Kemendikbud, Kemenkopolkam, Kemenko PMK, Setkab, Kemenlu, Kemendagri, Kemen PanRB, Kemensos, Kemen PPA, BP2MI, BSSN, Kejagung, Polri, Kemenkumham, TNI, BIN, PPATK, BI, OJK, dan Kemenkomdigi.
Menurut dia Presiden Prabowo secara tegas menginstruksikan jajaran Kepolisian untuk memberantas judol hingga ke akar-akarnya. Hal ini tertuang di dalam Astacita pada butir ke tujuh yakni "Memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi, narkoba, judi, dan penyelundupan".
Harus diakui pemberantasan judol di Indonesia tidak mudah mengingat korban yang terpapar sudah begitu luas. Iklan judol dengan mudah muncul saat pengguna handphone atau komputer berselancar di media sosial atau mengunjungi situs.
Apabila khalayak memiliki bekal ilmu agama dan pendidikan yang kuat di lingkungannya maka akun-akun negatif yang banyak berseliweran di dunia maya ini bakal diabaikan. Namun yang menjadi persoalan bagaimana dengan yang tingkat pendidikan dan pemahaman agama pas-pasan tentunya bisa dengan mudah terpapar.
Gatot menyebut penyebab judol masih merambah di kalangan masyarakat, padahal pelaku sudah banyak ditindak, karena gaya hidup masyarakat tidak bisa lepas dari gawai. Data memperlihatkan pengguna internet di Indonesia mencapai 212,9 juta jiwa (77 persen) populasi di Indonesia. Sayangnya hal ini tidak dibarengi dengan literasi yang kuat. Bahkan disebut literasi di Indonesia menempati peringkat dua terendah di dunia.
Menurut Gatot sejumlah kebijakan telah digulirkan Kepolisian untuk memberantas judol mulai dari preemtif atau pencegahan pada tahap niatan melakukan judol seperti pembuatan konten edukasi mengenai dampak negatif baik tatap muka maupun melalui media sosial. Sedangkan untuk pencegahan pada tahap perbuatan (preventif) dilakukan melalui pemblokiran konten dan kolaborasi dengan penggiat medsos dan pemengaruh. Lantas untuk penegakan hukum (represif) dilakukan dengan cara penindakan terhadap pelaku termasuk afiliator yang dibiayai pelaku dan pemblokiran situs.
Persuasif
Kepala Program Studi Magister Ilmu Komunikasi (Mikom) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Dr. Tria Patrianti, M.I.Kom mengingatkan kebijakan pemberantasan judol baru bisa efektif apabila edukasi yang dijalankan bersifat persuasif atau ada penekanan yang dibarengi dengan penegakan hukum.
Selama 2 tahun belakangan ini, menurut dia, judol sudah merambah ke perguruan tinggi bahkan masuk ke dalam konten-konten ilmiah. Modus pelaku judol memanfaatkan akun-akun yang sudah tidak aktif untuk kemudian disisipi iklan untuk mempromosikan judol sehingga penindakan harus dibuat skala besar yang dibarengi dengan strategi komunikasi terarah yang intinya masyarakat jangan coba-coba mencoba bermain judol.
Persoalan judol ini memang sudah pada tahap darurat mengingat pelaku mengendalikan dari luar negeri yang membuat terjadinya aliran dana ke luar negeri. Kepolisian tentunya harus aktif menjalin kolaborasi dengan sejumlah negara, terutama Thailand, Kamboja, dan Filipina untuk menangkap para pengendali yang bersarang di negara-negara tersebut.
Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tahun 2023 tercatat 3,2 juta masyarakat Indonesia yang bermain judol (80 persen) dengan menyetor deposit di bawah Rp100 ribu (masyarakat berpenghasilan rendah (pelajar, mahasiswa, buruh, petani, ibu rumah tangga, dan pegawai). Perputaran uang perjudian online 2024 mencapai Rp600 triliun.
Mayoritas penduduk Indonesia memahami bahwasanya seluruh praktik perjudian dilarang oleh agama. Namun mayoritas yang terpapar dipengaruhi tingkat pendidikan dan adanya keinginan untuk memiliki uang secara instan.
Banyak dari mereka yang kecanduan judol berawal dari penasaran melihat iklan di media sosial. Padahal begitu masuk ke dalam iklan tersebut maka seluruh data pribadi langsung terbaca karena di dalam iklan tersebut sudah disematkan mesin algoritma.
Pada akhirnya korban yang sudah masuk ke dalam iklan tersebut akan terus disodori berbagai tawaran bermain yang awalnya bersifat gratis. Di dalam permainan judol dibuat sedemikian rupa agar pemain mengalami kecanduan. Dimulai dari dibikin kalah-menang yaitu diberi kemenangan sebulan sekali, dengan kekalahan sepanjang hari tanpa disadari korban akan menyetor deposit beberapa kali kepada bandar agar bisa terus bermain.
Pendekatan segera pada aspek psikologis dan sosial dengan melibatkan keluarga dan orang-orang terdekat menjadi cara paling efektif untuk menyadarkan pelaku. Beberapa kasus penanganan yang terlambat membuat pelaku nekat melakukan aksi kriminal mencuri, merampok, dan sebagainya. Mereka baru menyadari setelah dijebloskan ke dalam penjara.
Di sisi Pemerintah, penting juga dipikirkan untuk memisahkan antara fungsi regulator dengan penindakan agar pemberantasan judol bisa sampai ke akar secara efektif.
Regulator bertugas menyiapkan perangkat hukum dan pengawasan, sedangkan penegakan hukum diserahkan kepada kepolisian, kejaksaan, pengadilan negeri, hingga Mahkamah Agung yang bertanggungjawab mulai dari patroli siber, penindakan konten terkait judol, hingga memburu pelaku di luar negeri.
Editor: Achmad Zaenal M