Jakarta (Antara-Megapolitan-Bogor) - Masyarakat pasti akan bergembira setelah melihat Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK setelah beberapa kali mengadakan pertemuan dengan Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kini memiliki hubungan mesra, namun muncul pertanyaan pada rakyat apakah kemesraan itu akan berlangsung lama atau tidak.
Hubungan tak positif itu lahir terutama sejak sekitar bulan Januari 2015 usai Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan "dinobatkan" sebagai calon kepala Polri karena dianggap cakap untuk menjadi bos ratusan ribu polisi dan juga karena dianggap tidak terlibat dalam kasus "rekening gendut".
Namun hanya beberapa jam setelah diumumkan sebagai calon kapolri oleh Presiden Joko Widodo, ternyata kemudian KPK sebagai sebuah lembaga pemberantasan korupsi yang disegani di Tanah Air membuat sebuah kejutan dengan menyatakan bahwa mantan kapolda Jambi itu terlibat dalam kasus keuangan atau gratifikasi ataupun yang disebut kasus penyalahgunaan wewenang.
Ternyata Komisi III DPR yang membidangi masalah hukum tetap saja "kekeuh" atau bersikeras mengadakan pertemuan dengan perwira tinggi ini yang sering menulis di sebuah majalah tentang masalah- masalah hukum untuk mengunjunginya di rumahnya. Bahkan melalui televisi atau surat kabar, masyarakat melihat gambar-gambar Budi Gunawan berpelukan " sangat mesra" dengan para wakil rakyat itu.
Tak hanya itu yang terjadi, karena kemudian para anggota DPR mengadakan ujian kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test terhadap mantan ajudan mantan presiden Megawati Soekarnoputri tersebut di Senayan.
Rakyat kembali melihat bahwa jenderal berbintang tiga ini berulang kali melakukan penghormatan terhadap para wakil rakyat dengan menunjukkan sikap sempurna seorang prajurit.
Namun akibatnya, kemudian KPK mulai diserang antara lain dengan ditangkapnya Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto di kawasan Depok. Bagaikan memburu seorang penjahat kambuhan atau koruptor kelas kakap, Bambang diborgol oleh sejumlah polisi sehingga tindakan kekerasan itu menimbulkan rasa marah pada banyak orang.
Akhirnya terjadi perang antara KPK dengan Mabes Polri yang menimbulkan rasa benci terhadap Polri termasuk gugatan terhadap pencalonan Budi Gunawan yang masih menjadi pimpinan lembaga pendidikan di lingkungan Polri itu.
Untuk mengatasi keriuhan itu, maka kemudian Presiden Jokowi mengambil langkah penunjukan beberapa tokoh masyarakat dalam kelompok yang disebut "Tim Sembilan" untuk memberi masukan guna menyelesaikan kerumitan itu.
Mereka itu antara lain adalah Ahmad Syafii Ma'arif yang merupakan tokoh Islam yang dihormati dan disegani yang kemudian ditunjuk sebagai Ketua Tim Sembilan, kemudian ada Profesor Jimly Asshidiqie, Profesor Hikmahanto Juwana serta mantan kapolri Jenderal Polisi Sutanto. Hanya melalui beberapa rapat, akhirnya mereka mengajukan rekomendasi kepada Kepala Negara.
Salah satu rekomendasi utamanya adalah pembatalan pencalonan Budi Gunawan sebagai kapolri dan menggantinya dengan perwira tinggi berbintang tiga lainnya.
Bahkan Syafii Ma'arif pernah berkata" Kalau Budi Gunawan ditanya bagaimana perasaannya sebagai kapolri setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, maka bagaimana menjawabnya".
Suasana makin tenang setelah Kepala Negara menunjuk Komisaris Jenderal Polisi Badrodin Haiti sebagai calon kapolri dan juga menunjuknya sebagai Pelaksana tugas Kapolri. Karena pada bulan Maret, DPR sedang reses maka diperkirakan Badrodin Haiti baru akan menjalani uji kepatutan dan kelayakan pada bulan April.
Dia kemudian secara intensif bertemu dengan Jaksa Agung Prasetyo dan juga Ketua Sementara KPK Taufiqurrahman Ruki yang merupakan purnawirawan Polri.
Salah satu isu terpenting yang dibicarakan adalah pemeriksaan polisi terhadap Ketua KPK nonaktif Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK nonaktif Bambang Widjojanto. Abraham Samad disangkakan memasukkan nama seorang wanita ke dalam kartu keluarganya untuk mengurus paspor sedang Bambang dituduh menyuruh seseorang memberikan kesaksian palsu pada pemilihan kepala daerah di Kota waringin Barat, Provinsi Tengah.
Ditunda
Baru-baru ini, Komjen Badrodin Haiti, bersama Jaksa Agung Prasetyo dan Ketua KPK Sementara KPK Taufiqurrahman Ruki rapat untuk membahas kelanjutan perkara Abraham Samad dan Bambang Widjajanto . Usai pertemuan di Jakarta pada 11 Maret itu, Badrodin mengeluarkan pernyataan penting tentang nasib Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.
"Proses penyidikan terhadap Bambang Widjojanto dan Abraham Samad ditunda dan bukan dihentikan. Waktu penundaan itu bisa satu bulan atau dua bulan," kata Badrodin. Tidak hanya itu, tapi kemudian Polri juga akan menghentikan pemeriksaan terhadap dua pimpinan KPK lainnya yakni Zulkarnain dan Adnan Pandu Pradja serta beberapa karyawan atau petugas KPK yang sempat dituduh menguasai senjata api secara tidak sah.
Selain itu, KPK akan menyerahkan berkas perkara Budi Gunawan kepada Kejaksaan Agung sehingga kemudian Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Widyopramono berkata" " Kami akan mempelajari kelengkapan formal-materilnya".
Widyopramono kemudian berkata lagi" Jangan sampai saat jaksa meneruskan perkaranya ke pengadilan masih amburadul sehingga bisa dibebaskan. Jangan terjadi".
Sementara itu, Jaksa Agung Prasetyo menyatakan bahwa ia menyiapkan tidak kurang dari lima jaksa berpengalaman untuk menangani kasus Budi Gunawan itu. Ia juga mengatakan bahwa belum ada kesimpulan terkait indikasi terjadinya korupsi atau gratifikasi pada kasus Budi itu.
Prasetyo kemudian juga berkomentar tentang pertemuan tiga pihak ini, dengan menegaskan bahwa perlunya seluruh lembga penegak hukum menciptakan suasana yang positif atau kondusif.
"Kalau tidak kondusif, maka yang senang adalah koruptor atau penjahat,"katanya.
Pertemuan pimpinan Polri dengan Prasetyo dan Taufiqurrahman Ruki rupanya tidak bisa dilepaskan dari tekad Polri untuk memperbaiki hubungan dengan berbagai lapisan masyarakat termasuk dengan para akademisi seperti yang berlangsung di Jakarta pada hari Minggu(22/2).
"Kami harus memperbaiki pola komunikasi dengan masyarakat sebagai upaya pencegahan pelanggaran hukum. Saya berkomitmen menjadi Polri lebih bersih dan lebih baik," kata Badrodin. Sementara itu seorang dosen terkemuka Imam Prasodjo berharap jika nantinya Badrodin terpilih sebagai kapolri maka tugas utamanya adalah mengurangi kesenjangan antara Polri dengan rakyat.
Masyarakat kini telah mulai melihat bahwa Polri, KPK dan Kejagung sudah mulai menjalin hubungan yang lebih baik dan hal itu tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa ketiga lembaga penegak hukum itu kini dipimpin oleh tokoh-tokoh yang " barU" walaupun mereka merupakan orang-orang lama seperti Prasetyo yang merupakan pensiunan Kejagung yang ditarik kembali.
Berlebihankah jika masyarakat sangat berharap agar kemesraan KPK-Kejagung-Polri ini berlangsung seterusnya dan tidak "hangat- hangat tahi ayam" ?.
Rakyat di Tanah Air pasti tidak akan bisa melupakan bahwa selama satu hingga dua tahun terakhir ini, ada banyak kasus korupsi atau gratifikasi namanya yang melibatkan para pejabat atau mantan pejabat. Sebut saja kasus yang melibatkan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang terlibat dalam kasus sogok-menyogok dalam beberapa pemilihan kepala daerah sehingga dia harus tergusur dari jabatan yang "empuk itu". Belum lagi Ratu Atut
Chosiyah yang juga harus tersingkir dari jabatannya sebagai gubernur Banten karena terlibat dalam kasus-kasus korupsi.
Belum lagi Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo yang merupakan mantan kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri karena terbukti terlibat kasus korupsi bernilai miliaran rupiah dalam pengadaan peralatan simulasi atau simulator bagi orang- orang yang ingin memiliki surat izin mengemudi atau sim.
Sementara itu itu, berkas perkara mantan bupati Bangkalan, Madura, Jawa Timur Fuad Amin dalam kasus bernilai miliaran rupiah bagi penyaluran gas. Fuad Amin saaat ditangkap merupakan ketua DPRD Bangkalan.
Kasus- kasus korupsi di tingkat pusat dan daerah diduga akan tetap terjadi karena nilainya miliaran rupiah bisa membuat para pejabat untuk "gelap mata" melakukan korupsi atau sengaja menerima sogokan untuk memperlancar mendapatkan proyek-proyek.
Kalau terjadi kasus pada Jenderal Djoko Santoso, Ratu Atut dan Fuad Amin saat ini yang kemudian telah atau akan dijatuhi hukuman setimpal, maka apakah ada jaminan bahwa kasus korupsi atau gratifikasi tidak akan terjadi lagi pada masa mendatang karena mereka telah mendapat hukuman berdasarkan hukum atau hukuman sosial?.
Pemerintah memang berjanji akan terus membasmi korupsi antara lain dengan memerintahkan para pejabat menandatangani pakta integritas untuk tidak korupsi. Tapi kalau korupsi tetap saja marak di Jakarta dan di daerah-daerah lainnya maka apa yang harus dilakukan?
Tidak ada cara atau jalan lain kecuali mengeratkan kembali hubungan di antara KPK-Kejagung dan Polri sehingga siapa pun pelaku korupsi maka dia tidak akan lolos dari jeratan hukum. Sekali saja ada pengecualian apalagi jika tindak pidana itu dilakukan oleh para pejabat di tiga lembaga penegak hukum itu maka masyarakat akan terus mencibirkan bibirnya.
Akan tetapi apabila KPK-Kejagung-Polri terus bermesraan untuk menghajar korupsi sekecil apa pun juga dan siapa pun pelakunya, maka rakyat pasti akan memberikan dukungan 100 persen. Jadi, Taufiqurrahman Ruki-Prasetyo-Badrodin dan para penggantinya di masa mendatang tinggal memilih apakah ingin dipuji dan dipuja rakyat karena berhasil memberantas korupsi atau mendapat cibiran, makian karena lagi-lagi gagal membuktikan keberhasilan merka membasmi korupsi, gratifikasi atau apa pun namanya.
Kemesraan KPK-Kejagung-Polri Jangan Hangat-Hangat Tahi Ayam
Senin, 16 Maret 2015 17:28 WIB
Kalau tidak kondusif, maka yang senang adalah koruptor atau penjahat."