Jakarta (ANTARA) - Salah satu kegiatan Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono akhir-akhir ini adalah meninjau waduk atau bendungan di sejumlah daerah.
Pada Kamis, 6 Februari lalu, misalnya, AHY, panggilan akrab Agus Harimurti Yudhoyono, meninjau Waduk Cirata, yang luasan bentangannya melingkupi tiga kabupaten di Jawa Barat, yakni Kabupaten Cianjur, Bandung Barat, dan Purwakarta.
Ia meninjau Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS0 di waduk itu yang merupakan PLTS terapung.
AHY rupanya terkesan dengan fasilitas infrastruktur tersebut. AHY berharap semakin banyak pembangunan PLTS terapung seperti yang ada di Waduk Cirata, Jawa Barat.
"PLTS terapung Cirata ini adalah yang terbesar di Asia Tenggara dan produksi listrik juga diharapkan bisa memenuhi kebutuhan masyarakat. Tentunya kita tahu energi bersih seperti PLTS macam ini memang kita harus terus kembangkan ke depan, karena Indonesia memiliki potensi yang besar," kata AHY.
Banyaknya bendungan di Indonesia berpotensi untuk dikembangkan PLTS terapung seperti di Cirata dimana fasilitas ini hanya menempati empat persen dari total luas permukaan air waduk, dan bisa menghasilkan 192 Megawatt (MW).
"Karenanya, saya berharap ada pengembangan berikutnya untuk makin meningkatkan produksi listrik baik kebutuhan industri maupun rumah tangga, mengingat di Indonesia ini banyak sekali bendungan di Jawa ada, di Sumatera, di Kalimantan, di Sulawesi dan di bagian Indonesia lainnya juga ada," ujar AHY.
Pengembangan itu, diharapkan dengan kajian analisis yang baik mengingat pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan membutuhkan nilai investasi yang tidak sedikit. PLTS terapung Cirata sendiri pada awal pembangunannya dengan kapasitas 145 MW, membutuhkan biaya Rp1,7 triliun. Semangatnya adalah semakin banyak kita menggunakan energi terbarukan, maka kita bisa mereduksi karbon dioksida (CO2), dan ini semangat dunia agar kita bisa menjaga bumi kita dari krisis iklim dan juga tentunya untuk anak cucu kita. Serta arahan bapak presiden Prabowo Subianto agar Indonesia swasembada energi, pangan dan air bersih bisa diwujudkan dengan kehadiran bendungan produktif dan optimal sehingga dampaknya bisa langsung dirasakan pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah sejauh ini memiliki tiga proyek PLTS terapung yang akan dilaksanakan di Bendungan Karangkates (Jawa Timur), Saguling (Jawa Barat), dan Singkarak (Sumatera Barat).
AHY pada Senin 11 November 2024, meninjau Bendungan Sidan di Kabupaten Gianyar, Bali, beroperasi mulai akhir November 2024 yang menghasilkan air baku mencapai 1.750 liter per detik. “Ini bisa menjadi solusi yang signifikan menyuplai empat kabupaten/kota di Bali,” katanya. Air baku yang dihasilkan di bendungan yang dibangun mulai 2018 itu menyuplai empat daerah di Bali yakni Kota Denpasar, Kabupaten Gianyar, Tabanan dan Badung. Pemenuhan air domestik itu dapat melayani sekitar 1,2 juta jiwa dan ditargetkan mampu mengurangi banjir seluas 108 hektare di Denpasar.
Air baku yang dihasilkan mencapai 1.750 liter per detik itu akan dialokasikan untuk Kota Denpasar sebesar 750 liter per detik, Kabupaten Gianyar sebesar 300 liter per detik, Kabupaten Badung sebesar 500 liter per detik dan Kabupaten Tabanan sebesar 200 liter per detik.
Berdasarkan proyeksi kebutuhan air domestik 2025 di empat kabupaten/kota itu mencapai 5.097 liter per detik dengan suplai yang saat ini tersedia sebesar 2.550 liter per detik atau terjadi kekurangan sebesar 2.547 liter per detik. Dengan kemampuan Bendungan Sidan yang menghasilkan 1.750 liter per detik, maka sisa kekurangan diperkirakan mencapai 797 liter per detik.
Ketahanan energi
AHY berharap infrastruktur yang ada bisa mendukung swasembada energi sesuai dengan program Astacita Presiden Prabowo, terutama dalam meningkatkan ketahanan energi guna mencapai swasembada energi serta mendukung hilirisasi. Selain itu juga bisa memberikan manfaat ekonomi dari pengembangan energi terbarukan.
AHY menekankan pentingnya optimalisasi potensi perairan darat Indonesia, seperti waduk dan bendungan, untuk pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
"Ke depan kita tahu di Indonesia ini banyak sekali bendungan. Di Jawa ada sekian puluh, ratus mungkin ya. Kemudian di Sumatera, di Kalimantan, di Sulawesi, dan di bagian Indonesia lainnya kita berharap terus dikembangkan dengan studi yang baik karena investasinya juga tidak sedikit, ini perlu feasibility study yang bagus," tuturnya.
AHY menambahkan bahwa Kemenko Infrastruktur akan terus menghadirkan kebijakan yang mendukung pengembangan energi bersih dan terbarukan.
Pemerintah harus memastikan pembangunan infrastruktur tetap berjalan sesuai jalurnya untuk mendukung visi dan misi Presiden, termasuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen serta mewujudkan keberlanjutan dan kemandirian di sektor pangan, energi, dan air.
Fokus utama mencakup proyek strategis, pemerataan pembangunan, serta keberlanjutan infrastruktur fisik dan digital guna mengurangi kesenjangan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pasalnya infrastruktur merupakan tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional.
Menurut data Kementerian ESDM, realisasi kapasitas terpasang pembangkit listrik energi terbarukan Indonesia pada 2023 mencapai 13.155 MW atau 13,16 GW.Kapasitas terbesar berasal dari tenaga air (PLTA) sebesar 6.784 MW, bioenergi 3.195 MW, dan panas bumi 2.417 MW. Sementara itu, potensi energi surya sangat besar, yaitu 3.300 GW, namun baru terealisasi sebesar 573 MW.
Adapun penambahan kapasitas PLTS pada 2023 mencapai 290,69 MW, yang terdiri dari PLTS ground mounted 30,09 MW, PLTS atap 68,06 MW, dan PLTS terapung 192,54 MW.
Untuk mendongkrak pemanfaatan energi surya, Pemerintah saat ini tengah memacu pengembangan PLTS sebagai salah satu solusi energi terbarukan.
PT PLN (Persero) baru-baru ini menandatangani perjanjian jual beli tenaga listrik (PJBTL) dengan perusahaan pembangkit listrik asal Arab Saudi, ACWA Power, untuk pengembangan PLTS Terapung Saguling di Waduk Saguling, Jawa Barat, dengan kapasitas 60 MW, yang diharapkan mulai beroperasi pada 2025.
Proyek serupa juga akan dikerjakan di Danau Singkarak, Sumatera Barat dengan kapasitas 50 MW, dan Karangkates, Malang, Jawa Timur yang memiliki kapasitas 100 MW.
Indonesia memiliki potensi pengembangan PLTS terapung, yang dapat dibangun di atas danau dan bendungan di sekitar 325 lokasi di Indonesia. Mengutip data jumlah bendungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), PLTS terapung dapat dikembangkan di 259 lokasi bendungan dengan potensi kapasitas mencapai 14,7 GW.
Tantangan dan solusi
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menyoroti tantangan pengembangan energi terbarukan, seperti PLTS yang sangat bergantung pada kondisi cuaca. Oleh karena itu, PLTS membutuhkan pembangkit konvensional sebagai cadangan daya saat malam hari, yang secara signifikan dapat meningkatkan biaya operasional.
“Masalahnya bukan hanya emisi, melainkan juga biaya. Bayangkan saja, kalau kita punya PLTS 5 GW, kita juga butuh pembangkit lain sebesar 5 GW sebagai cadangan. Artinya, kita harus mengeluarkan biaya dua kali lipat untuk menghasilkan listrik yang sama,” katanya.
Untuk itu, pengembangan energi baru terbarukan (EBT) membutuhkan komitmen kuat, bahkan perlu intervensi lebih jauh dari Pemerintah. Apalagi pengembang EBT di Indonesia dihadapkan pada kondisi pasar yang tidak seimbang dan situasi high risk, low return.
Saat ini disebutnya banyak pengembang EBT ykesulitan menjual produknya karena hanya ada satu pembeli utama, yakni PLN.
Komaidi memberikan usulan kepada Pemerintah agar melakukan intervensi dalam pengembangan EBT, termasuk intervensi terhadap BUMN kelistrikan yaitu PLN.
Intervensi ini dinilai perlu dilakukan untuk memastikan bahwa PLN sebagai offtaker atau pembeli listrik mau membeli listrik dari pengembang EBT dengan harga wajar.
Apabila PLN tidak mampu menyerap seluruh listrik yang dihasilkan, Pemerintah perlu memfasilitasi mekanisme power wheeling agar pengembang EBT dapat menjual listriknya ke pihak lain.
Power wheeling merupakan mekanisme transfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara/PLN dengan memanfaatkan jaringan transmisi/distribusi PLN.
“Kalau memang tidak bisa power wheeling, Pemerintah harus memberikan subsidi. Jadi harus ada jaminan bahwa listrik yang diproduksi oleh pengembang EBT itu 100 persen diserap. Kalau tidak dibantu, itu tidak akan berkembang,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai Indonesia perlu mengembangkan rantai nilai dan pasokan industri solar photovoltaic atau solar PV untuk dapat merealisasikan potensi besar energi surya sebagai tulang punggung transisi energi nasional dan mencapai posisi sebagai solar hub di Asia Tenggara.
Ada beberapa alasan mengapa Indonesia perlu membangun rantai nilai dan rantai pasok industri solar PV.
Pertama, sebagai negara dengan pendapatan menengah dan populasi besar, kebutuhan energi Indonesia akan terus tumbuh. Investasi dalam solar PV dapat memastikan kecukupan energi sambil mengurangi emisi karbon, yang juga berkontribusi pada upaya global melawan perubahan iklim.
Kedua, pengembangan industri solar PV dapat menciptakan ekosistem industri yang luas, mencakup lapangan kerja baru, inovasi, dan alih teknologi.
Kemudian, memperkuat rantai pasok dari produksi polysilicon, wafer, sel surya, hingga modul surya, serta industri komponen terkait seperti kaca, akan mendorong pertumbuhan industri lokal dan mengurangi ketergantungan pada impor.
Ketiga, kondisi global saat ini membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik investasi asing, seperti yang terjadi pada industri baterai kendaraan listrik. Indonesia dapat memosisikan diri sebagai hub solar PV di Asia Tenggara, yang diharapkan akan menstimulasi pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi.
Fabby menekankan bahwa industri solar PV adalah padat modal dengan persaingan yang ketat dan berisiko tinggi. Oleh karena itu, Pemerintah perlu menyusun strategi nasional yang mencakup tujuan jangka panjang dan target jangka pendek serta menengah dengan kebijakan yang jelas dan konsisten.
Selain itu, perlu ada kerangka kebijakan komprehensif, insentif fiskal dan non-fiskal, serta kemudahan proses perizinan dan akuisisi lahan.
Untuk mendorong permintaan domestik, Pemerintah disarankan untuk menerapkan kebijakan mandate adoption, yang mewajibkan penggunaan PLTS di gedung-gedung, fasilitas umum, dan proyek-proyek yang didanai APBN dan APBD.
Pemerintah juga perlu mengeksplorasi kemungkinan ekspor solar modul atau listrik serta mendukung riset dan pengembangan teknologi solar terbaru.
Membangun industri solar PV beserta rantai pasoknya bukan hanya sebuah kesempatan, melainkan juga kebutuhan untuk mendukung transisi energi yang berkelanjutan di Indonesia.
Dengan memanfaatkan sumber daya alam dan pasar yang besar, Indonesia dapat menciptakan iklim investasi yang menarik bagi investor.
Lebih dari itu berpotensi menjadi salah satu pemimpin pasar solar PV global, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menjamin masa depan berkelanjutan untuk generasi mendatang.
Baca juga: AHY harap makin banyak pembangunan PLTS terapung seperti Cirata untuk energi bersih
Baca juga: Begini Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Abu Dhabi
Baca juga: Menatap masa depan energi hijau di Indonesia