Palu (ANTARA) - Suharyadi tidak merasa jijik bergelut dengan sampah yang setiap hari ia pilah dan proses untuk menjadi produk bernilai ekonomis. Bagi sebagian orang, sampah menjadi barang kotor yang dapat menimbulkan penyakit, namun tidak bagi pria berusia 63 tahun itu. Bersama rekan-rekannya, ia mengasah ide-ide untuk menciptakan sebuah produk yang bernilai tinggi.
Di bawah bangunan sederhana yang dijadikan tempat pengolahan sampah reduce, reuse, dan recycle (TPS3R) di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, mereka berjibaku mengolah sampah organik menjadi produk pupuk kompos padat dan pupuk kompos cair, dan sampah plastik dipilah untuk ditabung ke Bank Sampah Induk (BSI) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Kawatuna, Palu.
Mereka tidak takut kotor dan tidak takut terinfeksi penyakit dari tumpukan sampah. Berbekal sejumlah alat pengolah, sampah rumah tangga (organik) diproses untuk didaur ulang.
Bagi Ketua KSM Buvu Bionga Keluraha Petobo atau wadah swadaya merangkul masyarakat untuk pemberdayaan itu, mengolah sampah merupakan bentuk kampanye terhadap cinta lingkungan, yang mana TPS3R di bawah nakhodanya mulai beroperasi sejak 2017.
Dalam pekerjaan itu, mereka membagi tugas, ada yang menjemput sampah dari rumah ke rumah, ada yang bertugas memilah dan ada yang bertugas membuat komposter. Setiap harinya TPS3R Buvu Bionga menampung sekitar 500 kilogram sampah.
Seiring perkembangan penduduk setelah bencana gempa dan likuefaksi yang melanda Kelurahan Petobo pada 28 September 2018, kini kawasan hunian tetap (huntap) korban bencana menjadi langganan pengangkutan sampah rumah tangga untuk diolah di TPS3R, dengan jumlah total sampah masuk ke tempat pengolahan sekitar 1 ton per hari.
Pengolahan sampah di TPS3R sesungguhnya adalah upaya mereduksi volume beban sampah yang masuk ke TPA sampah, dan KSM Buvu Bionga merupakan salah satu pihak yang terlibat dalam membantu pemerintah mengurangi sampah.
"Sekitar 85 persen sampah rumah tangga kami kelola di TPS3R di wilayah ini, kemudian 15 persen residu atau sampah yang tidak bisa didaur uang kami angkut ke TPA sampah Kawatuna Palu," kata Suharyadi, ketika ditemui ANTARA.
Setelah beberapa kali mengikuti pelatihan dan penguatan kapasitas mengenai pengolahan sampah, ia menerapkan ilmunya untuk memproduksi barang bermanfaat, seperti pupuk kompos.
Menurut data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Palu, sampah yang masuk ke TPA Kawatuna, sebanyak 70 persen sampah organik dan 30 persen sampah anorganik. Dari persesntase itu, yang paling banyak adalah sampah dari sisa makanan yang masih layak konsumsi, tetapi dibuang.
Melihat kondisi itu, maka dalam pikiran Suharyadi tidak ada jalan lain, selain memperkuat pengolahan sampah dari tingkat rumah tangga atau melalui TPS3R, sehingga dia terus berupaya mengedukasi masyarakat.
Pria kelahiran Tuban, Jawa Timur, 1962, itu mendedikasikan diri dengan mengabdi menjaga keberlangsungan lingkungan melalui pemanfaatan teknologi.
Dalam pengelolaan lingkungan, TPS3R merupakan garda terdepan dan memiliki kredit poin yang cukup tinggi terhadap penilaian Adipura.
Keterbatasan sumber daya bukan menjadi penghalang bagi dirinya untuk berbuat. Karena itu, ia tidak pernah patah semangat untuk menggerakkan masyarakat lainnya dalam upaya mengelola sampah.
Solusi atasi sampah
Dalam skala lebih luas, TPS3R sangat berperan strategis mengurai sampah, bukan lagi zamannya memungut lalu membuang sampah ke TPA. Di era modern, inovasi dan kreativitas menjadi dalang penggerak untuk berbuat. Kalau semua sampah diangkut ke TPA, justru langkah itu hanya memperpendek usia TPA.
TPS3R menjadi salah satu solusi yang tepat dilakukan untuk menekan beban volume sampah di TPA. Di tempat pengolahan tersebut sampah jadi bernilai karena limbah-limbah yang dihasilkan rumah tangga dapat diubah menjadi produk menghasilkan uang.
Bagi dia, mengolah sampah memberikan manfaat ganda. Selain mengurangi timbunan sampah di TPA, juga memberikan dampak pada nilai ekonomis.
Itu sebabnya program di sektor lingkungan ini menjadi daya tarik Pemerintah Kota Palu melakukan revolusi besar terhadap pengelolaan lingkungan hidup yang telah dituangkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Palu Tahun 2025-2030, dengan harapan dari pengelolaan sampah yang dilakukan secara swadaya dapat menciptakan ekonomi sirkuler.
Sebagai model ekonomi yang bertujuan untuk meminimalkan limbah dan memaksimalkan penggunaan sumber daya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penanganan kebersihan ramah lingkungan.
Bahkan, pemerintah daerah (pemda) telah mengeluarkan Peraturan Wali Kota (Perwali) Palu Nomor 40 Tahun 2021 tentang Pembatasan Penggunaan Plastik Sekali Pakai dan Styrofoam, dengan didukung oleh keluarnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Sampah.
Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) menunjukkan timbulan sampah per tahun di Kota Palu pada 2023 mencapai 74,073 ton, kemudian sampah terkelola sebanyak 93,4 persen atau 69,187 ton per tahun dan sampah tidak terkelola sebanyak 6,6 persen atau 4,888 ton per tahun. Dari jumlah itu, 10 persen di antaranya merupakan sampah plastik.
Suharyadi dan kawan-kawan sudah membuktikan bahwa TPS3R menjadi metode pengelolaan sampah yang ramah lingkungan, karena di dalamnya terjadi proses pemilihan untuk didaur ulang menjadi nilai tambah ekonomi masyarakat.
Baca juga: Jambi bangun pabrik pengolahan sampah
Baca juga: DLH Belitung terapkan sistem pengolahan sampah terpadu di TPA Gunung Sadai