Jakarta (ANTARA) - Setiap 22 Maret, dunia memperingati Hari Air Sedunia sebagai pengingat bahwa air bukan hanya soal ketersediaan, tetapi juga soal keadilan, keberlanjutan, dan masa depan bersama.
Di negeri yang dikenal kaya air ini, paradoks terjadi di depan mata. Kota-kota besar dari Jakarta hingga Denpasar menyedot air tanah secara besar-besaran karena akses terhadap air perpipaan masih terbatas.
Sementara itu, banyak wilayah pedesaan dan pulau-pulau kecil harus bergantung pada air hujan atau sumber air permukaan yang kualitasnya kian menurun akibat pencemaran.
Banjir dan krisis air seperti menjadi cerminan betapa pengelolaan dan tata air perlu menjadi perhatian.
Pada awal Maret 2025 misalnya, banjir besar melanda Jakarta dan sekitarnya, menyebabkan ribuan orang mengungsi dan kerugian materi yang tidak sedikit.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa dari 1 Januari hingga 17 Maret 2025, telah terjadi 441 kasus banjir di Indonesia, menjadikannya bencana alam yang paling dominan pada periode tersebut.
Hari Air Sedunia seharusnya menjadi momentum untuk menggugat asumsi bahwa air selalu tersedia.
Urbanisasi, perubahan iklim, dan industrialisasi yang tidak terkendali menyebabkan siklus air terganggu.
Namun, yang luput dari perhatian publik adalah perlunya membangun sistem pengelolaan air di negeri ini jangan sampai sekadar mengandalkan pendekatan teknokratis yang tidak sepenuhnya menjawab akar persoalan.
Rekomendasi konkret yang dapat dilakukan adalah menerapkan sistem audit air berbasis komunitas, di mana masyarakat dilibatkan dalam memantau dan merencanakan penggunaan air di wilayah mereka.
Ini akan memperkuat transparansi dan akuntabilitas, serta mendorong rasa memiliki terhadap sumber daya air.
Selain itu, regulasi tentang pengambilan air tanah harus diperketat dan diawasi secara digital. Di era Internet of Things, pemerintah bisa menggunakan teknologi sensor untuk mengawasi sumur-sumur dalam dan aktivitas pengambilan air oleh industri.
Data yang dikumpulkan bukan hanya untuk pengawasan, tetapi untuk merancang kebijakan berbasis bukti yang bisa menyeimbangkan kebutuhan manusia dan lingkungan.
Di sektor pendidikan, Hari Air Sedunia harus menjadi momentum memperkuat literasi air di kalangan anak muda.
Kurikulum sekolah bisa menyisipkan pelajaran tentang siklus air lokal dan tanggung jawab kolektif terhadap air.
Masyarakat juga perlu didorong untuk menjadi pelindung mata air di wilayahnya, bukan hanya penerima air. Pendekatan partisipatif seperti ini akan membentuk budaya konservasi yang kuat dan berkelanjutan.
Yang tak kalah penting adalah membangun kolaborasi antarsektor, pemerintah, swasta, komunitas, dan akademisi untuk menciptakan solusi bersama yang bukan hanya efisien, tapi juga adil.
Program Corporate Social Responsibility perusahaan-perusahaan besar seharusnya diarahkan untuk mendukung rehabilitasi daerah tangkapan air, bukan sekadar kampanye pencitraan.
Momentum Hari Air Sedunia juga bisa dijadikan pijakan untuk mereformasi Badan Usaha Milik Daerah yang bergerak di sektor air minum.
Pemerintah daerah harus didorong untuk melakukan modernisasi manajemen PDAM, termasuk pembenahan tata kelola, peningkatan teknologi, dan pembukaan ruang partisipasi publik dalam pengawasan.
Air bukan sekadar zat yang mengalir dalam pipa, tetapi kehidupan itu sendiri. Jika bangsa ini ingin masa depan yang berkelanjutan, adil, dan bermartabat, maka harus mengelola air dengan hati-hati, cerdas, dan bersama-sama.
*) Penulis adalah Peneliti di Pusat Riset Tanaman Pangan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Baca juga: Air dan pertanian di tengah krisis iklim yang semakin nyata
Baca juga: Berbekal satu wahana air Desa Wunut mampu beri tunjangan hari raya seluruh warganya