Jakarta (ANTARA) - Sebuah film berjudul The Imitation Game (2014) bisa dibilang menjadi penggambaran tepat betapa rumitnya teknologi kriptografi bernama enigma yang ternyata adalah cikal bakal dari teknologi yang kini disebut artificial intelligence (AI).
Dalam film itu secara tepat digambarkan bahwa enigma merupakan mesin teka-teki yang menghasilkan kode-kode rumit sebagai alat komunikasi yang sempat membuat perang dunia II memanas dan pada akhirnya menjadi salah satu inspirasi terciptanya kecerdasan artifisial di era masa kini.
Untuk bisa memecahkan dan mendapatkan pesan yang tepat dari enigma di masa lalu, setidaknya manusia harus memiliki gelar sebagai ahli matematika seperti Alan Turing atau menjadi kriptografi andal dengan jam terbang yang tinggi.
Namun di masa kini, kecerdasan artifisial yang berkembang begitu pesat sudah bisa diakses dengan mudah bahkan oleh anak-anak sekalipun berkat masifnya eksplorasi perusahaan-perusahaan teknologi dalam satu dekade terakhir.
Tak sedikit kini AI yang mampu digunakan untuk memudahkan pekerjaan manusia mulai dari membuat susunan teks, menciptakan visual menarik, hingga membuat audio. Semuanya itu bahkan bisa diselesaikan dengan mudah oleh AI asalkan manusia memberikan perintah yang tepat.
Dari hal-hal sederhana saja AI sudah terlihat dapat menjadi salah satu solusi bagi manusia, apalagi jika dilihat dari kacamata lain maka AI bisa berdampak besar.
Melihat dari kacamata industri, AI kini terlihat sebagai the new oil karena dinilai dapat menjadi solusi teknologi yang bisa mengamplifikasi efektivitas bahkan pendapatan dari banyak sektor asal sudah menemukan formula yang tepat pemanfaatannya.
Maka dari itu, tidak heran banyak negara di dunia yang berlomba-lomba untuk mengembangkan AI, mengenalnya, dan berupaya menghadirkan inovasi yang lebih mutakhir demi mencapai tujuan-tujuan memakmurkan rakyatnya.
Besarnya dampak AI juga dapat dilihat pada proyeksinya untuk ekonomi global yang diungkap oleh firma konsultan hukum PricewaterhouseCoopers (PwC). Dalam laporannya di 2017 memprediksi AI di 2030 dapat menyumbang pendapatan global hingga 15,7 triliun dolar AS.
Dari sisi regional, potensi AI juga tak kalah menarik, misalnya di Asia Tenggara yang menjadi kawasan Indonesia bernaung. Berdasarkan data dari ASEAN pada 2024, AI berpotensi bisa meningkatkan 10-18 persen PDB regional dengan nilai yang diprediksi berkisar 1 triliun dolar AS pada 2030.
Untuk Indonesia, dalam laporan Kearney pada 2020 diprediksi bahwa apabila AI dikembangkan dan dimanfaatkan dengan baik maka dapat berkontribusi sebesar 12 persen pada PDB dengan nilai diperkirakan sebesar 366 miliar dolar AS pada 2030.
Maka dari itu tak heran apabila Indonesia juga mengidamkan agar AI dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh masyarakat sehingga nantinya dapat menjadi salah satu penyumbang pendapatan negara untuk memakmurkan rakyat sejalan juga dengan cita-cita Indonesia Emas 2045.
Langkah membesarkan AI sebagai alat penggerak untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia juga telah dirancang dan masuk dalam buku "Visi Indonesia Digital 2045" yang diluncurkan pada 2023.
Dalam buku itu, AI mengambil peran sebagai teknologi terbarukan untuk menopang pilar-pilar pemerintahan digital, ekonomi digital, dan masyarakat digital sehingga nantinya Indonesia dapat mencapai pertumbuhan sejalan dengan Visi Indonesia Emas 2045.
Agar harapan itu bisa terwujud, tentu, diperlukan tata kelola, sebuah seni mengatur sesuatu agar dapat berjalan sistematis dan terstruktur. Dalam hal ini artinya AI perlu ditata dan dikelola dengan tepat di Indonesia.
Baca juga: Samsung seri Galaxy S25 hadir dengan sistem operasi berbasis AI canggih
Baca juga: Kecerdasan buatan makin cerdas?