Kota Bogor (ANTARA) - Setiap ada perang dan menimbulkan begitu banyak korban jiwa dan kerusakan infrastruktur serta kesengsaraan berkepanjangan, selalu ada upaya mengetuk pintu hati perdamaian, salah satunya melalui gencatan senjata.
Bagi rakyat Palestina, bila ditanyakan lebih lanjut dan mendalam, apakah cukup dengan gencatan senjata? Jawabannya pasti tidak, karena bukan itu saja yang dibutuhkan oleh negara Palestina untuk diakui kedaulatan wilayah dan keberadaannya sebagai sebuah bangsa merdeka dan berdaulat.
Secara de jure, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah membuat keputusan dengan suara mayoritas setuju kemerdekaan Palestina. Palestina yang merdeka dan berdaulat penuh. Namun secara de facto, belum, Palestina masih dijajah.
Begitu juga bagi penulis, tentu menyambut baik gencatan senjata yang mulai berlangsung pada hari Minggu ini 19 Januari 2025 antara rezim zionis biadab Israel dengan Hamas, organisasi pejuang Palestina, di Jalur Gaza.
Gaza selama hampir dua tahun ini telah menjadi puing-puing dan kehilangan begitu banyak manusia tak berdosa, menjadi korban kebiadaban rezim zionis Israel.
Namun bukan gencatan senjata yang dibutuhkan sesungguhnya oleh warga Gaza dan bangsa Palestina, melainkan pengakuan atas eksistensi negara itu secara berdaulat, tanpa keharusan hidup terjajah di negaranya sendiri.
Sejarah menunjukkan hanya Palestina yang menerima bangsa Yahudi yang terusir dari belahan Eropa usai Perang Dunia II, namun dengan keserakahan dan ketamakan Yahudi, mereka justru membangun sebuah negara Israel dan menjalankan politik zionisme untuk mengusir bangsa Palestina dari tanah airnya. Inggris dan Amerika Serikat sebagai sekutu utama Israel, selama ini memainkan standar ganda.
Nyaris tahun terakhir ini, rezim zionis biadab Israel dikomandoi Benjamin Netanyahu mempertontonkan kepada dunia mengenai kebiadaban negara itu, perusak bumi dan menjadi pengikut iblis dan setan yang merusak umat manusia. Membumihanguskan Gaza, melalui genosida.
Alih-alih membuat gentar dan ciut nyali bangsa Palestina, justru tekanan dari berbagai penjuru dunia yang menunjuk hidung Israel sebagai penindas dan pembunuh bahkan genosida.
Bahkan penyokong utama Yahudi pun, Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengaku bahwa sekitar 15 bulan yang lalu, dia pernah mendesak Benjamin Netanyahu untuk menghindari pemboman besar-besaran terhadap warga sipil di Gaza.
Baca juga: Biden pernah desak Netanyahu tidak mengebom warga sipil Gaza
"Anda tidak bisa mengebom seluruh komunitas ini," kata Biden kepada Netanyahu dalam percakapan singkat setelah perang Gaza meletus pada Oktober 2023, menurut klaim Biden dalam wawancara dengan MSNBC, Kamis (16/1) waktu setempat.
Namun Netanyahu, menurut Biden, menanggapinya dengan bilang bahwa selama Perang Dunia II, AS membom Berlin dan menjatuhkan senjata nuklir, kata Biden
“Itulah mengapa kami mendirikan PBB,” kata Biden menanggapi pernyataan Netanyahu itu.
Biden telah banyak dikritik karena AS tidak memberikan lebih banyak tekanan pada Netanyahu untuk menghentikan atau mengekang serangan mematikan Israel di Jalur Gaza.
Sejak Oktober 2023, serangan rezim zionis telah menewaskan hampir 47.000 orang dan melukai lebih dari 110.000 orang, kebanyakan dari mereka adalah wanita dan anak-anak.
Baca juga: Biden puas gencatan senjata di Gaza
Terus mengancam
Namun lagi-lagi Netanyahu berulah, lihat saja, belum apa-apa, pada Jumat (17/1), dia memperingatkan bahwa Israel akan kembali berperang di Gaza jika fase kedua kesepakatan gencatan senjata gagal. Itu bentuk sikap yang terus mengancam an mengintimidasi
Menurut kesepakatan gencatan senjata tersebut, negosiasi untuk fase kedua akan dimulai pada hari ke-16 dari fase pertama, yang dimulai pada Minggu (19/1) dan akan berlangsung selama 42 hari. Pada tahap itu, pasukan Israel akan ditarik dari area permukiman di Gaza, dan 33 sandera Israel akan dibebaskan dengan imbalan sejumlah tahanan Palestina.
https://www.antaranews.com/berita/4591958/jika-fase-kedua-kesepakatan-gagal-netanyahu-ancam-serbu-gaza-lagi
Kantor Netanyahu menyatakan bahwa kabinet keamanan Israel telah menyetujui kesepakatan pertukaran tahanan dan gencatan senjata pada Jumat.
“Kami telah menerima jaminan yang jelas dari Presiden Biden dan Trump bahwa jika negosiasi pada fase kedua gagal, dan jika Hamas tidak memenuhi tuntutan keamanan kami, kami akan kembali melakukan pertempuran sengit dengan dukungan dari Amerika Serikat,” kata Netanyahu selama rapat kabinet seperti dikutip harian Yedioth Ahronoth.
Surat kabar itu melaporkan bahwa pernyataan Netanyahu tersebut bertujuan untuk menenangkan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, yang mengancam akan menarik diri dari pemerintahan jika Israel tidak melanjutkan pertempuran setelah fase pertama kesepakatan.
Sementara itu, Menteri Keamanan Nasional dari sayap kanan ekstrem, Itamar Ben-Gvir, mengatakan pada Kamis bahwa partainya, yang memiliki enam kursi di parlemen beranggotakan 120 orang, akan keluar dari pemerintahan jika kesepakatan tersebut disetujui oleh kabinet.
Qatar mengumumkan kesepakatan tiga fase pada Rabu untuk mengakhiri lebih dari 15 bulan serangan Israel di Jalur Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 46.000 orang dan meninggalkan wilayah itu dalam kehancuran.
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan pada November untuk Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya, Yoav Gallant, atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Israel juga menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) atas perang yang dilancarkannya di wilayah tersebut.
Baca juga: Amnesty sebut surat penangkapan PM Israel oleh ICC 'terobosan bersejarah'
Sejauh ini yang sudah jelas-jelas melanggar kesepakatan gencatan senjata adalah rezim zionis biadab Israel. Tahun lalu pun pernah ada gencatan senjata namun zionis tetap menyerang dan membunuh warga Palestina, bahkan secara sepihak mempercepat batas Waktu gencatan senjata.
Negara Palestina
Wajar momentum gencatan senjata yang mulai berjalan per hari ini membangunkan kesadaran dunia untuk negara Palestina.
Komite Pembangunan Internasional Parlemen Inggris pada Jumat (17/1) mendesak pemerintah Inggris untuk mengakui negara Palestina, termasuk menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dan jadwal aksi yang direncanakan.
Komite tersebut mengeluarkan laporan mengenai situasi kemanusiaan di Jalur Gaza, perkembangan di Tepi Barat, dan kondisi warga Palestina yang terusir.
“Pemerintah harus menguraikan langkah-langkah yang akan diambil untuk mengakui negara Palestina, termasuk syarat-syarat yang perlu dipenuhi dan jadwal tindakan yang direncanakan,” tulis laporan itu.
Laporan tersebut menyebutkan bahwa respons Israel terhadap serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 menyebabkan korban sipil yang signifikan dan menghancurkan infrastruktur sipil di Gaza.
Mengacu pada keputusan pengadilan internasional yang menunjukkan risiko pelanggaran hukum internasional di Gaza, laporan itu menyatakan, “Kami percaya ada risiko yang masuk akal bahwa kampanye militer Israel di Gaza mungkin termasuk pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional, yang memunculkan tuduhan genosida.”
https://www.antaranews.com/berita/4592674/komite-parlemen-inggris-desak-pemerintah-akui-palestina
Laporan itu juga menekankan pentingnya pengakuan negara Palestina untuk mencapai perdamaian yang abadi dan berkelanjutan di kawasan tersebut.
Dinyatakan dalam laporan bahwa diperlukan 500 truk bantuan setiap hari untuk memenuhi kebutuhan kemanusiaan Gaza, tetapi jumlahnya rata-rata hanya mencapai 25.
Laporan itu juga menyoroti klaim mengkhawatirkan tentang penggunaan drone yang menargetkan warga sipil setelah serangan udara Israel.
Terkait tindakan Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, laporan tersebut mencatat bahwa antara 7 Oktober 2023 dan 31 Oktober 2024, Israel menghancurkan 1.800 bangunan milik warga Palestina dan menewaskan 736 orang Palestina pada periode yang sama.
Selain itu, laporan tersebut mengungkapkan bahwa 1.722 warga Palestina terusir akibat penyitaan lahan oleh Israel selama periode tersebut.
Komite itu mendesak pemerintah Inggris untuk melakukan segala upaya yang memungkinkan guna memastikan bahwa Israel bertanggung jawab atas setiap pelanggaran hukum humaniter internasional yang sedang berlangsung.
Pemerintah Palestina menegaskan kesiapan memerintah Jalur Gaza usai tercapainya kesepakatan gencatan senjata tiga tahap antara Hamas dengan Israel yang akan segera berlaku pada Minggu (19/1).
“Pemerintah Palestina telah menyelesaikan semua persiapan yang diperlukan untuk bertanggung jawab secara penuh atas pemerintahan di Jalur Gaza,” demikian pernyataan tertulis kepresidenan Palestina yang diakses melalui X pada Sabtu (18/1).
Baca juga: PM Qatar sebut gencatan senjata di Gaza berlaku efektif pada Minggu 19 Januari 2025
Kepresidenan Palestina memandang gencatan senjata yang disepakati pada 15 Januari tersebut sebagai momentum untuk mengonsolidasikan pemerintahan di Jalur Gaza sebagai satu-kesatuan wilayah Palestina.
“Pemerintah Palestina memiliki yurisdiksi legal dan politis terhadap Jalur Gaza sebagaimana kawasan Tepi Barat dan Yerusalem yang masih dijajah Israel,” menurut pernyataan Palestina.
Untuk itu, pemerintah telah mempersiapkan personel keamanan dan administrasi untuk melaksanakan tugasnya demi mengakhiri penderitaan rakyat Palestina di Gaza dan memulangkan para pengungsi ke tempat tinggalnya.
Pemerintah Palestina juga siap memulihkan layanan umum yang penting di Gaza, bertanggung jawab atas keamanan perbatasan, dan memulai proses rekonstruksi di kawasan yang hancur akibat agresi Israel tersebut.
Selain itu, komunitas internasional beserta negara-negara dermawan didorong untuk terus memberi bantuan kemanusiaan demi membantu pihaknya menjalankan tanggung jawab terhadap rakyat Palestina baik di Jalur Gaza yang hancur akibat serangan Israel maupun di Tepi Barat dan Yerusalem yang terus dirongrong militer Zionis.
Palestina juga menegaskan pentingnya solusi politik berdasarkan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Inisiatif Perdamaian Arab melalui pelaksanaan suatu konferensi perdamaian untuk memperjuangkan pengakuan dunia atas kedaulatan Palestina dan Palestina bergabung sebagai anggota penuh PBB.
Baca juga: Sejumlah pemimpin dunia sambut kesepakatan gencatan senjata untuk akhiri agresi Israel ke Gaza
“Hal tersebut adalah demi mewujudkan keamanan dan kestabilan regional yang kondusif untuk mengakhiri penjajahan dan mewujudkan berdirinya Negara Palestina dengan ibu kota Yerusalem Timur berdasarkan perbatasan yang disepakati pada 1967 sesuai dengan hukum internasional,” demikian pernyataan pemerintah Palestina.
Sikap Republik Indonesia yang disampaikan Menteri Luar Negeri Sugiono mengatakan Indonesia menyambut baik terjadinya kesepakatan antara kelompok perlawanan Palestina, Hamas, dengan Israel terkait gencatan senjata di Gaza dan menyebutnya sebagai momentum baik yang perlu dipertahankan. Sugiono menyampaikan harapannya agar kedua pihak bisa memenuhi kewajiban masing-masing sehingga suasana kondusif bisa berlanjut dan tidak lagi memakan korban.
Indonesia siap berkontribusi pada upaya pemulihan kehidupan bermasyarakat di Gaza, baik melalui bantuan kemanusiaan, dukungan terhadap peran Badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) ataupun terhadap upaya rekonstruksi Gaza.
Baca juga: Menlu RI: Gencatan senjata di Gaza momentum baik
Wakil Ketua Komisi I DPR RI Ahmad Heryawan menyebut gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang dicapai pada Rabu (15/1) harus menjadi awal bagi pengakuan kemerdekaan Palestina secara de facto.
"Yang terpenting adalah gencatan senjata ini harus menjadi awal pengakuan secara de facto kemerdekaan bangsa Palestina karena de jure sudah diputus PBB dengan suara mayoritas setuju kemerdekaan Palestina, Palestina yang merdeka dan berdaulat penuh," kata Aher, panggilan akrab Ahmah Heryawan, kepada Antara di Jakarta, Kamis (16/1).
Gencatan senjata harus dikawal dunia agar berjalan tertib dan aman. Fase ini menjadi tantangan besar yang memerlukan pendekatan komprehensif dan terkoordinasi dari berbagai pihak, baik di tingkat lokal, regional maupun internasional.
Rekonstruksi Gaza juga prioritas, khususnya fasilitas umum seperti perbaikan rumah sakit, pasar bahan pangan, rehabilitasi anak, dan fasilitas sosial penting lainnya.
Dunia telah menyerukan kami berdiri bersama Palestina, bebaskan Palestina, bebaskan Palestina. Suara-suara itu semestinya sudah masuk ke dalam hati nurani.
Baca juga: ICRC kelola pertukaran tahanan Israel dan Hamas
Baca juga: PBB: 35 anak Gaza tewas tiap hari lantaran serangan Israel