Denpasar (ANTARA) - Dulu, masyarakat menampung air hujan dalam wadah besar atau membangun embung, kemudian airnya ditimba atau disalurkan untuk kebutuhan pengairan lahan pertanian.
Kini, seiring dengan kehadiran teknologi, air hujan yang ditampung bisa diolah untuk beragam kebutuhan, salah satunya sumber air minum.
Memang belum banyak masyarakat yang mempraktikkan cara itu. Namun, di tangan I Putu Sugiantara, air hujan bisa diproses menjadi air untuk konsumsi.
Pemuda yang aktif di lembaga nonprofit Youth Convervation Inisiative (YCI) Bali itu kini getol mengenalkannya, di antaranya kepada para pelajar di beberapa sekolah di Pulau Dewata.
Tujuannya, agar sedari dini mereka sadar bahwa air sebagai sumber daya alam utama yang dibutuhkan manusia bisa menipis jika terus dikeruk tanpa ada upaya pengendalian.
Mahasiswa Teknik Elektro Universitas Udayana itu juga kerap hadir di beberapa kegiatan terkait advokasi lingkungan, khususnya keberlanjutan air untuk mengenalkan teknologi mengolah air hujan.
Pengolahan air hujan
Keberadaan air hujan yang ditampung itu memiliki peran yang penting sebagai salah satu alternatif sumber air bersih khususnya untuk kebutuhan rumah tangga dan industri.
Apalagi sesuai perkiraan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Juli-Agustus 2024 merupakan puncak musim kemarau di Bali.
Oleh karena itu, mengolah air hujan itu dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya di daerah-daerah yang selama ini rawan kekeringan atau daerah yang minim memiliki sumber air baku.
Air hujan untuk air minum perlu melalui proses elektrolisis untuk mendapatkan air yang lebih bersih dengan cara sederhana.
Untuk skala rumah tangga, masyarakat dapat membangun instalasi pengolahan air hujan yang sederhana di antaranya menggunakan tandon atau toren sebagai penampungan air hujan.
Kemudian toren itu disambungkan dengan pipa misalnya menggunakan ukuran 1/2 inci untuk kemudian air hujan itu menjalani proses saring pada alat penyaringan, misalnya, menggunakan kain jenis katun.
Tujuan filtrasi itu untuk menyaring sisa-sisa endapan air hujan yang terbawa saat ditampung, misalnya, debu dan endapan halus lainnya.
Setelah difilter, air kemudian disalurkan menggunakan pipa ke bak tertutup atau ember tertutup berukuran sekitar 45 liter yang menampung air hujan lebih jernih.
Perlu dua bak penampungan yang keduanya disambungkan menggunakan pipa untuk menampung peralihan air hujan yang bersifat asam dan basa setelah melalui pemprosesan.
Kedua bak itu bisa disambungkan dengan lebih dari satu pipa untuk mempercepat aliran air basa yang sudah diproses elektrolisis atau penguraian senyawa kimia.
Proses elektrolisis
Proses elektrolisis dilakukan dengan cara air yang tertampung di dua bak tertutup itu kemudian disetrum menggunakan listrik sesuai standar Indonesia, misalnya, untuk skala rumah tangga yakni bertegangan 220 volt.
Proses elektrifikasi itu kemudian menghasilkan perpindahan ion dari air asam atau ion H+ menjadi OH- atau air basa. Air basa inilah yang nantinya dapat dikonsumsi.
Perlu waktu sekitar satu hingga dua jam untuk menggerakkan air asam yang sudah disetrum itu menjadi air basa dengan memakan daya listrik--dengan cara sederhana itu--tak kurang dari 10 watt.
Air hujan yang sudah mendapatkan aliran listrik itu kemudian diukur untuk memastikan air tersebut sudah bersifat basa.
Caranya menggunakan alat ukur potensi hidrogen (pH) untuk mengetahui kadar pH-nya atau dapat juga menggunakan kertas lakmus.
Ada pun kadar pH yang menyatakan tingkat basa air itu yakni pH di atas 7 hingga 8,5 yang merupakan pH normal untuk bisa dikonsumsi sebagai air minum.
Air basa itu juga disebut dengan air alkaline sehingga baik dikonsumsi untuk kesehatan tubuh.
Selain diukur pH-nya, juga perlu diukur tingkat kekeruhan air menggunakan alat total dissolve solid (TDS) dengan standar nilai maksimal 200 TDS.
Menabung air hujan
Selain diolah menjadi air bersih untuk konsumsi rumah tangga, air hujan yang melimpah saat musim hujan, perlu diimbangi dengan tindakan menabung air hujan untuk menambah cadangan air tanah di perut Bumi.
Caranya, dengan mengalirkan limpasan air dari genteng atau atap menggunakan pipa ke dalam bak penampungan.
Setelah itu, air hujan disaring dan selanjutnya dimasukkan ke dalam sumur yang menyerap air hujan tersebut.
Guru Besar Ergonomi dari Politeknik Negeri Bali (PNB) Prof Dr Lilik Sudiajeng menjelaskan sumur yang menampung air hujan itu dikenal dengan istilah sumur pemanenan air hujan atau rain water harvesting.
Sumur jenis itu berbeda dengan sumur resapan. Sumur resapan menampung air dari segala jenis air buangan termasuk air hujan tanpa disaring, air limbah mandi, dan cuci sehingga lebih berbahaya karena sudah mengandung bahan kimia sehingga perlu ketat dalam proses saringan.
Air hujan yang mengalir atau menggenangi halaman rumah perlu disaring agar air yang masuk ke dalam sumur tidak tercemar dengan kandungan polutan.
Pembuatan sumur pemanenan air hujan itu cocok dilakukan di daerah tertentu, misalnya, di kawasan hulu.
Nantinya, air hujan yang masuk ke sumur berkedalaman 30 hingga 50 meter itu mengalir ke daerah-daerah lebih rendah, menjadi imbuhan untuk air tanah yang selama ini sudah dieksploitasi manusia.
Air hujan yang tertampung di bak penampungan di sisi lain juga dapat digunakan untuk menyiram tanaman.
Menabung air hujan itu juga perlu dibarengi dengan penanaman pohon, seperti bambu di sekitar wilayah imbuhan air karena pohon itu dinilai lebih besar menyerap volume air hujan.
Defisit air
Yayasan Idep Selaras Alam menyebutkan muka air tanah mengalami penurunan di Cekungan Air Tanah (CAT) Denpasar-Tabanan tercatat sebesar 1,4 hingga 29,2 meter dalam kurun waktu 1985--2004.
Sementara itu, Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion (P3E) Bali dan Nusa Tenggara yang berada di bawah naungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menjabarkan status air di Bali.
P3E Bali Nusa Tenggara dalam dokumen bertajuk Status Daya Dukung Air Pulau Bali menyebutkan Bali diperkirakan mengalami kekurangan air bersih untuk air minum dan industri sebanyak 1.051,91 liter per detik pada 2025 apabila tidak ada pengembangan kapasitas infrastruktur sistem penyediaan air baku.
Pada 2021 ketersediaan air dari infrastruktur mencapai 6.939,38 liter per detik, sedangkan total kebutuhan air di Bali diperkirakan mencapai 7.991,29 liter per detik pada 2025.
Pada tahun 2025, wilayah di Bali yang diperkirakan defisit air berkaitan kapasitas infrastruktur sistem penyediaan air baku (SPAB) itu yakni Kabupaten Badung, Bangli, Buleleng, Gianyar, Jembrana, dan Denpasar.
Adapun Kabupaten Karangasem, Klungkung, dan Tabanan diperkirakan surplus air pada 2025.
Hanya wilayah di Kabupaten Buleleng yang diperkirakan benar-benar defisit air karena keterbatasan pengembangan infrastruktur SPAB akibat karakteristik geomorfologi dan geologi yang kurang mendukung.
Adapun Kabupaten Badung, dalam dokumen itu, disebutkan memiliki kebutuhan air yang tinggi karena kepadatan penduduk dan aktivitas pariwisata yang tinggi, sedangkan sumber air baku yang dapat dimanfaatkan yakni sungai, mata air, danau, dan air tanah.
Namun, dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air menyebutkan pengelolaan sumber daya air didasarkan pada wilayah sungai dengan mengutamakan pendayagunaan air permukaan.
Oleh karena itu, pengelolaan air untuk pemenuhan kebutuhan mengutamakan terlebih dahulu dari pengelolaan sungai, mata air, dan danau, sebelum memanfaatkan air tanah.
Menyikapi kondisi itu, inovasi dalam mengolah air hujan menjadi air bersih/air minum menjadi salah satu solusi menghadapi ancaman defisit air dan menekan konsumsi air tanah berlebihan.
Bukan tidak mungkin mengolah air hujan menjadi air minum bisa diolah menjadi air kemasan yang justru mendatangkan profit.
Memang cara itu membutuhkan upaya sungguh-sungguh demi keberlanjutan sumber daya air.
Selain itu, untuk mengerem pengambilan air tanah, perlu dibantu dengan menabung air hujan karena air tanah bersifat terbarukan atau bisa dipulihkan, meskipun pemulihannya membutuhkan waktu tidak singkat.
Editor: Achmad Zaenal M