Jakarta (ANTARA) - Deru itu bahkan seperti masih Farid rasakan, ketika rantai tank milik Israel melintas di atas kepalanya. Gemerincing dan getarannya menyiratkan betapa besarnya kekuatan mesin penghancur itu dibandingkan dengan manusia.
“Saya manusia biasa, saya pasti juga merasakan ketakutan saat tank-tank itu menyerbu dan melintas di atas kepala saya,” ujar Farid Zanzabil Al Ayubi relawan MER-C asal Indonesia yang bertahan di Gaza, Palestina.
Kondisi saat itu, Farid menjelaskan bahwa ia dan rekan-rekan bertahan di ruang bawah tanah Rumah Sakit Indonesia, di waktu bersamaan tank-tank Israel melintas di atas ruang bawah tanah tersebut.
Farid Al Ayubi bersama dua relawan Indonesia lainnya yaitu Fikri Rofiul Haq, dan Reza Aldilla Kurniawan lebih dari empat tahun menetap di Gaza, Palestina.
Tak banyak alasan Farid memilih bertahan, yaitu tentang kemanusiaan. Ia merasa warga Gaza wajib dibantu dalam berbagai bentuk. Salah satu yang dipertahankan adalah Rumah Sakit Indonesia.
“Harus ada setidaknya wajib satu orang Indonesia yang berada di Rumah Sakit Indonesia setiap harinya di Gaza, dan itu harus dipertahankan,” kata Farid.
Bukan soal idealis ataupun alasan keyakinan, namun memang orang Indonesia banyak dibutuhkan di Rumah Sakit Indonesia di Gaza. Hampir setiap hari ada bantuan masuk serta pasien masuk di Rumah Sakit Indonesia, dan tidak semuanya fasih bahasa Indonesia atapun bahasa lokal Palestina.
Fungsi diplomasi orang Indonesia di Rumah Sakit Gaza juga untuk membantu administrasi keluar masuk obat serta tenaga medis yang membantu di RS tersebut. Dengan adanya orang Indonesia maka proses perizinan serta admministrasi yang menggunakan bahasa Indonesia akan lebih mudah untuk ditangani dibandingkan jika hasil terjemahan lainnya.
Farid menjelaskan Rumah Sakit Indonesia sangat vital di Gaza, sebab hanya RS tersebut yang memiliki daya tampung besar serta perlengkapan yang memadai.
Hingga suatu ketika RS Indonesia mulai ditargetkan oleh tentara Israel untuk dihancurkan karena adanya tuduhan terowongan rahasia yang digunakan oleh Hamas untuk bersembunyi ada di bawah RS.
“Kami lama bertahan di dalam rumah sakit, karena kondisi di luar sudah dikepung oleh tank pasukan Israel, itu sangat menakutkan,” kata Farid.
Terputusnya pasokan listrik dan bahan bakar, memaksa Farid dan kawan-kawan menggunakan minyak goreng untuk menghidupkan generator rumah sakit, karena peralatan rumah sakit membutuhkan listrik untuk kelangsungan hidup pasien.
Pasukan Israel pada akhirnya turut menggempur RS Israel, dengan mulanya menembakkan peluru tank ke salah satu bangsal kamar RS. Hitungan detik, beberapa pasien menjadi korban atas tembakan tersebut.
Di saat itulah para relawan dan pasien berpindah sembunyi di ruang bawah tanah. Pihak Rumah Sakit Indonesia menghubungi pimpinan pasukan Israel untuk dievakuasi secara aman sebelum RS mulai dihancurkan. Kesepakatan tercapai dengan para relawan sepakat untuk dievakuasi dan pasien dipindahkan ke rumah sakit terdekat yang ada di sekitarnya.
Namun, situasi keamanan yang semakin memburuk membuat mereka harus menghadapi kenyataan pahit, mereka harus keluar dari wilayah tersebut demi keselamatan nyawa.
Intensitas konflik yang semakin meningkat membuat kondisi di Gaza menjadi semakin berbahaya. Serangan udara dan darat yang semakin sering membuat mereka berada dalam ancaman bahaya setiap saat.
Dengan situasi yang semakin tidak menentu, Farid memutuskan bahwa mereka perlu keluar dari Gaza. Namun, hal ini bukanlah perkara mudah. Mereka harus mencapai perbatasan Rafah di Mesir, satu-satunya jalur keluar yang memungkinkan dari Gaza. Tantangan utama bukan hanya mencapai perbatasan, tetapi juga mendapatkan izin keluar yang melibatkan tiga pihak: Palestina, Mesir, dan Israel.
Di tengah keterbatasan dan ketidakpastian, Farid, Fikri, dan Reza bertahan di Rafah, Mesir. Proses perizinan yang panjang dan birokratis menjadi tantangan tersendiri. Mereka harus menunggu persetujuan dari pihak Palestina, Mesir, dan Israel. Proses ini sangat sulit, terutama karena mendapatkan data dari pihak Israel sering kali menjadi hambatan terbesar.
Selama menunggu izin keluar, kehidupan di Rafah sangat jauh dari kata nyaman. Pasokan makanan yang terbatas membuat mereka harus bertahan hanya dengan makan ubi untuk menjaga hidup. Meskipun berada di Mesir, mereka tetap merasakan dampak dari konflik yang sedang berlangsung di Gaza.
Namun, di tengah segala keterbatasan, semangat mereka tidak pernah pudar.
Setelah melalui proses yang panjang dan penuh ketidakpastian, akhirnya izin keluar diberikan. Namun, keputusan yang harus diambil oleh ketiga relawan ini tidak mudah. Fikri dan Reza memutuskan untuk tetap bertahan di Gaza, melanjutkan misi kemanusiaan mereka meskipun kondisi semakin berbahaya. Sementara itu, Farid memutuskan untuk pulang ke Indonesia, didukung oleh bantuan dari Kementerian Luar Negeri Indonesia.
Kepulangan Farid adalah kisah kemenangan di tengah perjuangan yang melelahkan. Kepulangan ini bukan hanya tentang keselamatan pribadi, tetapi juga tentang membawa pesan kepada dunia akan kondisi yang dihadapi oleh warga Gaza dan pentingnya dukungan internasional.
Kisah Farid Al Ayubi, Fikri Rofiul, dan Reza Aldilla adalah cermin dari dedikasi relawan yang tidak pernah padam. Meskipun harus berhadapan dengan bahaya, kelaparan, dan ketidakpastian, semangat mereka untuk membantu sesama tidak pernah surut. Mereka adalah simbol harapan dan kemanusiaan di tengah konflik yang memecah belah.
Farid kini telah kembali ke Indonesia, membawa cerita perjuangan dan pengorbanan yang ia alami. Sementara Fikri dan Reza tetap di Gaza, terus berjuang untuk memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan. Kisah mereka adalah pengingat bahwa di tengah kegelapan, masih ada cahaya kemanusiaan yang bersinar terang.