Jakarta (ANTARA) - Sebentar lagi, umat Islam di seluruh dunia akan menyambut Hari Raya Idulfitri 1 Syawal 1446H, sebuah momentum penuh sukacita yang menandai berakhirnya bulan Ramadhan.
Bagi masyarakat Indonesia yang kaya akan keberagaman etnis, budaya, bahasa, dan keyakinan, Lebaran bukan sekadar perayaan spiritual umat Islam. Ia telah menjelma menjadi ruang kebersamaan nasional yang memancarkan nilai-nilai kemanusiaan, solidaritas, dan kesejahteraan sosial lintas iman.
Setiap sore menjelang berbuka puasa, suasana di jalan-jalan begitu hangat, kerap kali sekelompok warga, tanpa memandang agama, dengan penuh suka cita membagikan takjil kepada siapa saja yang lewat.
Umat Nasrani, Hindu, dan Buddha turut hadir dalam semangat berbagi ini, memperkuat akar toleransi yang sudah mengakar dalam kultur bangsa.
Harmoni semacam itu juga tercermin dalam kehidupan keluarga Presiden Prabowo Subianto. Ayahnya, Prof. Sumitro Djojohadikusumo yang akrab disapa Pak Cum adalah seorang Muslim Jawa dari Banyumas. Ibunya berasal dari suku Minahasa dan menganut Kristen.
Menantu Pak Cum pun datang dari latar belakang keyakinan dan kebangsaan yang beragam.
Perayaan Lebaran di tengah keluarga seperti ini bagaikan pelangi yang merangkul perbedaan, menandai bahwa Ramadhan dan Idulfitri bukan sekadar ritual, melainkan juga perayaan keberagaman yang menyatukan.
Lebaran menjadi kenduri massal bangsa, saat budaya dan agama berpadu dalam semangat silaturahmi dan saling menguatkan.
Tak jarang, warga non-Muslim hadir menyampaikan salam dan membawa buah tangan sebagai bentuk penghormatan terhadap kerabat dan tetangga Muslim.
Kebahagiaan menjadi milik bersama, dan kasih sayang tidak dibatasi oleh perbedaan keyakinan.
Dari sisi pembangunan karakter, Ramadhan dan Lebaran seharusnya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih sabar, ikhlas, empatik, jujur, dan produktif.
Di luar aspek spiritual dan sosial, Ramadhan dan Lebaran juga berdampak besar terhadap sektor ekonomi.
Perputaran uang meningkat signifikan. Tradisi mudik bukan hanya memperkuat ikatan keluarga, tetapi juga menghidupkan ekonomi daerah.
Pemudik membawa uangnya ke kampung halaman, membelanjakannya untuk kebutuhan pokok, oleh-oleh, transportasi, dan hiburan. Dampaknya langsung terasa di sektor pertanian, peternakan, perdagangan, jasa, dan pariwisata.
Berkah UMKM
UMKM, yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional, mendapatkan berkah luar biasa. Sejak awal Ramadhan, festival-festival kuliner dan bazar takjil bermunculan di berbagai kota.
Perputaran ekonomi tidak hanya dinikmati oleh pelaku usaha di kota besar, tetapi juga oleh pedagang kecil di desa-desa, pengusaha angkutan, pengelola tempat wisata, hingga petani yang hasil panennya terserap oleh permintaan yang meningkat.
Pemerintah pun telah mengantisipasi dengan menyalurkan Tunjangan Hari Raya (THR) lebih awal untuk ASN dan pekerja swasta, serta memperpanjang libur cuti bersama agar masyarakat dapat merayakan Lebaran dengan tenang sekaligus mendorong konsumsi domestik.
Ini semua menunjukkan bahwa Ramadhan dan Lebaran bukan hanya momentum religius, tetapi juga menjadi pilar penting dalam dinamika ekonomi nasional.
Lebaran telah menjelma menjadi perayaan kebangsaan yang menyatukan.
Ia membawa berkah spiritual, sosial, dan ekonomi yang menyentuh setiap lapisan masyarakat.
*) Penulis adalah Dosen UCIC, Cirebon.