Jakarta (ANTARA) - Hilirisasi sebagai proses mengolah bahan mentah menjadi produk turunan bernilai tambah sedang menjadi tren dalam kebijakan pemerintah beberapa waktu terakhir ini.
Sektor pertanian menjadi salah satu dari 21 komoditas yang ditetapkan Pemerintah Indonesia untuk dilakukan hilirisasi itu selain komoditas lain dari sektor pertambangan, perkebunan, dan kelautan.
Sebagai proses yang memberikan nilai tambah, hilirisasi di bidang pertanian otomatis menjadi salah satu kunci kesejahteraan bagi petani, mengingat selama ini petani cenderung menjual produknya secara langsung saat panen berupa gabah tanpa mengolahnya dulu menjadi beras, sehingga keuntungan yang diterimanya lebih kecil.
Maka jika petani kemudian difasilitasi untuk melakukan hilirisasi, pendapatan yang akan diterimanya jelas akan meningkat signifikan. Semua tahu bahwa menjual barang mentah pasti lebih murah ketimbang menjual barang jadi atau setengah jadi.
Sektor pertanian yang diusahakan petani memerlukan pemberian nilai tambah yang konkret pada produk yang dihasilkannya. Pengertian nilai tambah (value added) adalah suatu komoditas yang bertambah nilainya karena melalui proses pengolahan, pengangkutan ataupun penyimpanan dalam suatu produksi.
Dalam kaitannya dengan komoditas pertanian, khususnya padi, terjadi perubahan bentuk mulai dari penanaman oleh petani menjadi bahan pangan karbohidrat yang siap dikonsumsi. Perubahan itu mulai dari benih, gabah, beras, hingga nasi.
Dicermati lebih seksama, kondisi petani padi di lapangan, produk akhir yang mereka dapatkan dalam melakukan usaha tani padi adalah gabah.
Baca juga: KemenkopUKM: Hilirisasi komoditas kelapa tingkatkan daya saing produk di pasar internasional
Pada saat musim panen berlangsung, para petani padi, tidak memiliki kemampuan untuk mengolah gabah menjadi beras. Gabah kering panen inilah yang mereka jual kepada para pedagang, pengusaha penggilingan, bandar, atau tengkulak.
Dengan menjual gabah dapat disimpulkan, pendapatan petani tidak optimal. Berbeda kalau petani padi diberi kesempatan untuk mengolah terlebih dahulu hasil panennya menjadi beras.
Ke depan, perlu dirumuskan kebijakan hilirisasi yang tidak membiarkan para petani di saat panen menjual gabah, namun sebaliknya memfasilitasi petani agar mampu mengolahnya dahulu menjadi beras.
Menggeser Status
Semangat menggeser status "petani gabah" menjadi "petani beras", sebetulnya telah dikumandangkan sejak lama.
Dalam berbagai kesempatan, selalu disampaikan betapa perlunya untuk segera mengubah status dan paradigma yang melekat pada petani di Tanah Air.
Selama petani padi masih menjual hasil akhirnya dalam bentuk gabah, dapat dipastikan penghasilan petani tidak akan membawa perubahan nasib dan kehidupan yang lebih baik secara ekonomi. Petani tetap saja akan terjebak dalam siklus hidup yang sama namun belum juga mencapai titik kesejahteraan sesuai yang diharapkan.
Bagi Kementerian Pertanian sebagai instansi yang menjadi "leading sector" bagi pengembangan pertanian di Indonesia, meningkatkan produksi dan produktivitas hasil pertanian setinggi-tingginya menuju swasembada menjadi tugas dan fungsi utama.
Namun begitu, secara tidak langsung Kementerian Pertanian pun turut bertanggungjawab dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani bersama Kementerian/Lembaga terkait lainnya.
Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani padi, dibutuhkan upaya bersama dari segenap komponen bangsa, dan bukan hanya Kementerian Pertanian semata.
Baca juga: Mengukuhkan kemerdekaan dan kemandirian ekonomi lewat hilirisasi
Maka salah satu upaya mempercepat peningkatan penghasilan petani padi adalah dengan mengubah status petani padi itu sendiri. Sebagaimana dijelaskan, "petani gabah" sudah saatnya ditinggalkan oleh para petani padi di negeri ini.
Petani perlu diberi pencerahan terkait hilirisasi, upaya memberikan nilai tambah ekonomi yang dapat memberikan keuntungan bagi petani, sekiranya petani difasilitasi Pemerintah untuk dapat menjual hasil usaha tani padinya dalam bentuk beras. Tinggalkan menjual gabah dan mulailah menjual beras.
Kecerdasan untuk menggeser potret "petani gabah" ke arah "petani beras", tentu sangat dibutuhkan. Pemerintah melalui tenaga Penyuluh Pertanian, diharapkan mampu untuk menjelaskan kepada para petani padi, soal keuntungan jika mereka menjual beras dari pada menjual gabah.
Salah satu langkah yang dapat dilakukan yakni memfasilitasi dan membantu para petani dengan mesin penggilingan padi skala mini, yang pengelolaannya dapat dilakukan oleh Kelompok Tani/Gabungan Kelompok Tani.
Selama ini Kementerian Pertanian, memang sudah banyak memberikan bantuan alat dan mesin pertanian, namun lebih banyak arahnya ke upaya peningkatan produksi.
Alsintan yang diberikan lebih terkait dengan budidaya pertanian, mulai menanam hingga panen. Maka kemudian langkah mengolah gabah menjadi beras, diarahkan pada kewenangan Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian KUKM, atau Kemenko Perekonomian. Kementerian Pertanian sendiri, diupayakan agar tetap fokus ke langkah peningkatan produksinya.
Untuk itu, langkah pemberian bantuan sosial mesin penggilingan padi skala mini yang dalam teknis pelaksanaannya akan dikelola Kelompok Tani atau Gabungan Kelompok tani, sebaiknya digarap oleh Kementerian Perdagangan atau BUMN yang memiliki tugas dan fungsi meningkatkan nilai tambah.
Baca juga: Presiden Jokowi: Hilirisasi akan berbuah manis pada akhirnya
Akan lebih ideal lagi, jika Kelompok Tani atau Gapoktan tersebut menjalin kemitraan dengan Pengusaha Penggilingan Padi atau Perum BULOG serta BUMN Pangan.
Kalau saja semangat ini dapat diwujudkan, upaya percepatan peningkatan pendapatan petani, tentu dapat dilakukan. Petani tidak lagi hanya memperoleh nilai tambah ekonomi dari menjual gabah, namun dengan menjual beras, maka nilai tambah ekonominya pun menjadi semakin tinggi.
Dalam perkembangannya, para Penyuluh Pertanian dapat mengawalnya sekaligus mengedukasi petani dengan materi pemasaran dan perdagangan. Langkah ini merupakan awal dari lahirnya Petani Pengusaha.
Inilah konsep hilirisasi pada sektor pertanian. Melalui usaha tani padi yang dikelola petani, diupayakan agar berakhir menjadi komoditas beras dan bukan lagi berujung hanya pada produk gabah. Sebab Indonesia perlu mengubah paradigma petani menjadi petani beras. Bukan petani gabah.
*) Penulis adalah Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.
Hilirisasi sektor pertanian dan upaya peningkatan kesejahteraan petani
Oleh Entang Sastraatmadja*) Senin, 23 Oktober 2023 9:25 WIB