Jakarta (ANTARA) - Narasi krisis energi sudah digaungkan sebagai isu global yang mengajak miliaran penduduk bumi untuk peduli dan menyiapkan mitigasi.
Krisis energi bukan isapan jempol. Terindikasi dalam setahun terakhir, harga energi yang harus dibeli untuk melanjutkan hidup, terutama minyak mentah dan gas alam, melonjak tajam akibat perang, gangguan rantai pasokan, dan kebijakan transisi energi.
Kondisi itu memicu inflasi signifikan di banyak negara, menguji kemampuan pemerintah dan bank sentral menjaga stabilitas ekonomi.
Wacana baru mengemuka tentang bagaimana krisis ini dapat menjadi peluang untuk mempercepat transformasi ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Kenaikan harga energi berdampak langsung pada biaya produksi, distribusi, dan konsumsi. Minyak mentah Brent, misalnya, telah mencatat kenaikan harga dari sekitar 70 dolar AS per barel pada awal 2022 menjadi lebih dari 90 dolar AS per barel pada akhir 2023.
Kenaikan ini berdampak domino pada harga barang dan jasa, meningkatkan biaya hidup masyarakat, dan memengaruhi daya beli secara signifikan.
Laporan International Energy Agency (IEA) pada 2023 melalui website resminya www.iea.org menunjukkan bahwa harga gas alam di Eropa melonjak lebih dari 300 persen selama dua tahun terakhir, memicu inflasi di kawasan tersebut ke level tertinggi dalam empat dekade.
Inflasi yang dipicu oleh krisis energi telah memaksa bank sentral, seperti Federal Reserve di Amerika Serikat dan European Central Bank, untuk menaikkan suku bunga acuan secara agresif.
The Fed telah menaikkan suku bunga menjadi 5,25–5,50 persen pada 2023. Meskipun bertujuan menekan inflasi, langkah tersebut membawa risiko perlambatan ekonomi signifikan, baik di negara maju maupun berkembang.
IMF dalam laporan Oktober 2023 menyebutkan kebijakan moneter ketat apat menekan pertumbuhan ekonomi global menjadi 2,9 persen pada 2024.
Bagi Indonesia, kenaikan harga energi global memberikan tantangan. Lonjakan harga minyak dunia meningkatkan beban subsidi energi yang harus ditanggung pemerintah.
Solusi jangka pendek dan jangka panjang harus dirumuskan dengan hati-hati untuk mengatasi dampak langsung krisis sekaligus membangun ketahanan energi yang lebih baik di masa depan.
Selain itu perlu diversifikasi sumber energi dalam negeri. Pemerintah perlu mempercepat pengembangan energi terbarukan.
Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 400 gigawatt, tetapi pemanfaatannya baru sekitar 2,5 persen.
Dengan insentif fiskal yang lebih agresif, seperti penghapusan pajak untuk investasi energi terbarukan dan percepatan izin proyek, Indonesia dapat menarik lebih banyak investasi di sektor ini.
Selain itu, penguatan infrastruktur energi juga menjadi prioritas. Pembangunan jaringan listrik yang lebih andal, termasuk integrasi energi terbarukan ke dalam sistem nasional, harus dipercepat.
Di sisi lain, kebijakan subsidi energi perlu diubah menjadi subsidi yang lebih tepat sasaran. Misalnya, alokasi subsidi energi dapat diarahkan langsung kepada masyarakat berpenghasilan rendah, sementara sektor industri diarahkan untuk mengadopsi teknologi hemat energi melalui insentif dan regulasi.
*) Penulis adalah pengamat energi dan Dosen UCIC, Cirebon.
Baca juga: Krisis energi, perusahaan Jerman mulai mencari opsi alternatif