Jakarta, (Antaranews Bogor) - Ketua Umum Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia Dr Warsito P Taruno menegaskan bahwa kebangkitan ekonomi bangsa yang mandiri dan berbasis teknologi membutuhkan kemauan politik pemerintah.
"Saya yakin bila pemerintah memiliki `political will` maka tak ada kata yang sulit untuk memajukan karya-karya terbaik anak bangsa sehingga menjadi ikon-ikon kebangkitan ekonomi bangsa yang mandiri dengan basis teknologi itu," katanya kepada Antara di Jakarta, Minggu.
Didampingi Humas Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) Mu`arif, ia menambahkan masa depan ekonomi bangsa sangat tergantung pada kemampuan Indonesia dalam menguasai teknologi.
"Ini harga mati," kata Warsito yang baru pulang dari Stuttgart, Jerman, untuk meresmikan kantor cabang MITI sebagai LSM berbasis ilmu dan teknologi di negara Eropa itu.
Sebagai salah satu bisnis masa depan, kata dia, bisnis berbasis teknologi yang dikembangkan anak bangsa masih kurang perhatian.
Ia mengatakan fakta membuktikan minimnya insentif bagi para pelaku yang mengembangkan bisnis ini.
"Padahal, kunci persaingan ada pada kekuatan teknologi yang sudah mereka punyai. Tinggal dorongan dan insentif yang pemerintah berikan, mereka pasti akan menjadi penarik pertumbuhan ekonomi secara massif," katanya.
Negara-negara maju seperti Jerman di Eropa atau Jepang dan Korea Selatan di Asia, katanya, memberi perhatian khusus kepada para pelaku bisnis berbasis teknologi.
Selain mendapat proteksi dari produk sejenis dari luar negeri, kata dia, mereka mendapat kemudahan dalam akses keuangan dan insentif pajak.
Pendiri Edwar Teknologi ini mengaku iri kepada para pelaku bisnis perikanan di Malaysia yang mendapat banyak insentif saat berinvestasi di sektor ini.
"Mereka mendapat kebebasan pajak (tax free) antara 7-12 tahun. Belum lagi dukungan lainnya, termasuk keringanan bunga kredit perbankan yang hanya sebesar 3 persen per tahunnya," katanya dan menambahkan nasib pelaku bisnis sektor teknologi di Indonesia jauh lebih buruk dari pelaku bisnis perikanan.
Belum lagi, kata dia, di negara-negara maju bantuan non-teknis juga mereka peroleh, terutama bagi para pemula (start up).
Warsito menjelaskan para pemula bisnis mendapat bantuan dalam hal transfer teknologi untuk lebih mengoptimalkan produk yang mereka miliki.
Ia memberi contoh di Jerman, ada lembaga seperti Steinbeis yang menjembatani hasil-hasil penelitian atau riset baik dari kampus maupun litbang pemerintah untuk kemudian dimanfaatkan para pelaku bisnis yang membutuhkan.
Dalam kaitan persoalan ini, ia menyebut orientasi riset yang dilakukan kampus dan litbang pemerintah belum sepenuhnya mengarah kepada upaya mendukung industri di Indonesia.
Kondisi tersebut, katanya, diperparah dengan belum menyebarnya hasil penelitian atau riset kepada masyarakat secara maksimal.
Padahal, katanya, teknologi yang telah dihasilkan dapat menjadi potensi untuk mensejahterakan rakyat.
"Banyak pihak belum menyadari bahwa produk berteknologi yang dihasilkan industri di Indonesia hanya sekadar rakitan produk teknologi luar," katanya.
Penemu Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT), sebuah teknologi yang jauh lebih canggih dibandingkan dengan teknologi yang digunakan pada "CT Scan" itu menambahkan masih jarang ditemukan bisnis atau industri yang teknologinya benar-benar dikendalikan atau dikuasai oleh anak bangsa.
"Padahal, dari segi kemampuan, ilmuwan dan teknolog Indonesia memiliki kemampuan. Tak sedikit di antara mereka yang sudah dikenal menjadi tokoh berkelas dunia," katanya.
Skema insentif
Oleh karena itu, Warsito mendesak pemerintah untuk membuat skema insentif yang mendukung para pelaku bisnis berbasis teknologi sehingga mampu bersaing dan menjadi pemacu kemajuan ekonomi bangsa.
Ia mencontohkan pelaku bisnis perkapalan yang dikembangkan Kaharudin Jenod, bernama "Terafluk" atau Eko Fajar Nurprasetyo yang menggarap "Chipset" lewat Versatile Silicon Technologies.
Dikemukakannya bahwa karya-karya mereka sudah diakui dunia.
"Sayangnya, mereka berkembang hingga sekarang ini lebih karena keuletan dan kemandirian mereka dalam berbisnis, minim sekali dukungan dari pemerintah," katanya.
Padahal, kata doktor lulusan Universitas Shizuoka, Jepang itu, masih banyak pelaku bisnis seperti mereka yang butuh dukungan pemerintah, karena bisnis yang mereka jalankan adalah bisnis masa depan yang akan menciptakan kemandirian bangsa di berbagai bidang teknologi.
Konkretnya, kata dia, dukungan pemerintah bagi para pelaku bisnis berbasis teknologi setidaknya meliputi tiga hal.
Pertama, adanya kemudahan perizinan dari kementerian teknis di tingkat pusat atau dinas-dinas terkait di tingkat daerah.
"Jadi, kalau proposal bisnisnya sarat dengan daya dukung teknologi karya anak bangsa, permudah dan bantu mereka agar segera berjalan untuk bisa cepat besar dan maju," katanya.
Kedua, dukungan insentif fiskal mulai dari keringanan pajak hingga adanya skema bunga kredit khusus bagi para pelaku bisnis.
Kalau dirasa perlu dan memang memungkinkan, kata dia, sebaiknya dibangun lembaga keuangan khusus yang menangani kebutuhan para pelaku bisnis berbasis teknologi.
Ketiga, adanya insentif program. Contohnya adanya program diseminasi atau penyebarluasan karya anak bangsa ini kepada semua pihak yang berkepentingan. Dengan begitu, mereka bisa mengakses dan menyinergikan bisnisnya dengan pihak-pihak lain sehingga semakin menambah kemajuan bisnis.
Dalam hal ini, Kemenristek Dikti dapat menjadi pelopor program yang berkelanjutan, demikian Warsito P Taruno.
Kebangkitan ekonomi berbasis teknologi butuhkan kemauan politik
Minggu, 16 November 2014 19:10 WIB
"Dari segi kemampuan, ilmuwan dan teknolog Indonesia memiliki kemampuan."