Jakarta (ANTARA) - Pakta Intermediate-Range Nuclear Forces (INF) yang ditandatangani oleh Ronald Reagan dan Mikhail Gorbachev pada 1987 telah berhasil melarang pengembangan uji coba dan kepemilikan ground-launched (rudal balistik dan jelajah) baik yang bermuatan nuklir maupun konvensional pada 1987. Dalam perjanjian INF itu, kedua negara juga dilarang mengembangkan peluru kendali berhulu ledak nuklir yang bisa menempuh jarak 500 sampai 5.500 km. Semangat nonproliferasi senjata nuklir di balik perjanjian INF tersebut pada perkembangannya berhasil mengondisikan berakhirnya Perang Dingin pada akhir 1980-an dan awal 1990-an.
Atas dasar perkembangan tersebut, Global Future Institute (GFI), sebagai pusat kajian terkait masalah geopolitik dan geostrategi, tertarik membahas pakta INF dalam seminar terbatas dengan tema: Mengantisipasi Meningkatnya Perlombaan Senjata Konvensional dan Proliferasi Senjata Nuklir di Asia Tenggara (Perspektif Politik Luar Negeri RI Bebas-Aktif).
GFI menghadirkan Dr Kusnanto Anggoro, pakar Hubungan Internasional dan Program Studi Strategi-Keamanan, Universitas Indonesia. Marsekal Pertama Adityawarman, Direktur Analisa Strategis, Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan, Kementerian Pertahanan RI. Laksamana Muda Robert Mangindaan, Deputi I Kajian Strategis, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas). Nurachman Oerip, diplomat Senior Kementerian Luar Negeri dan Mohammad Anthoni, wartawan senior LKBN Antara.
Para narasumber dan peserta aktif bersepakat bahwa dengan berakhirnya Perjanjian INF 2019 saat ini, perlombaan senjata nuklir, khususnya rudal di Asia Timur akan semakin meningkat, menyusul semakin memanasnya pergolakan di Semenanjung Korea. Bukan saja akibat ketegangan antara Amerika Serikat dan Korea Utara menyusul ujicoba Rudal Balistik Antarbenua oleh Presiden Korea Utara Kim Jong-un.
Selain itu situasi semakin genting di Asia Timur ketika China maupun Korea Utara berkeinginan untuk berada pada posisi yang menguntungkan dan menciptakan perimbangan kekuatan dalam kualitas persenjataan strategisnya, dalam berhadapan dengan Amerika Serikat maupun sekutu-sekutunya.
Maka dari itu, beberapa narasumber maupun peserta aktif mendesak para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri RI, untuk mencermati dan mewaspadai terbentuknya Konsep Indo-Pasifik dan persekutuan empat negara (QUAD) yang terdiri AS, Australia, Jepang dan India. Sebab bisa dipastikan ini merupakan sebuah aliansi strategis untuk membendung pengaruh China di kawasan Asia Pasifik.
Potensi meningkatnya perlombaan senjata nuklir di Asia Timur dan Asia Tenggara, ditandai oleh tiga kejadian penting. Penempatan dan Pemasangan Terminal Altitude Area Defense (THAAD) di Korea Selatan, yang oleh para pakar studi strategi-keamanan merupakan upaya AS untuk mendeteksi aktivitas operasi militer China di daerah perbatasannya dengan Korea Utara sehingga akan memicu China untuk meningkatkan postur militernya secara lebih agresif. Kedua, AS dengan dalih untuk latihan militer bersama dengan negara-negara sekutunya, telah mengirim pesawat pembom B-52 dan B52H, yang bermuatan senjata nuklir, ke atas perairan Laut Cina Selatan, di kawasan Asia Tenggara. Ketiga, semakin agresifnya AS mendukung dan memfasilitasi negara-negara Asia yang termasuk sekutu strategisnya, peningkatan dan pengembangan senjata nuklirnya seperti Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan.
Pada saat yang sama, AS telah merilis the US National Security Document pada akhir 2016 dan dalam dokumen itu Pemerintahan Presiden Donald Trump menetapkan China, Rusia, Iran dan Korea Utara sebagai musuh utama dalam persaingan global saat ini, kiranya juga harus menjadi fokus perhatian Indonesia dan negara-negara di kawasa Asia Tenggara (ASEAN).
Kepentingan bisnis
Aspek lain yang mengemuka dalam forum seminar terbatas tersebut, yaitu adanya campur tangan kepentingan bisnis yang ditengarai akan semakin memainkan pengaruh besar dalam memicu meningkatnya perlombaan senjata nuklir di berbagai kawasan, tak terkecuali di Asia Tenggara.
Dalam konteks inilah, Laksamana Muda Robert Mangindaan merasa perlu mengingatkan bahwa politik luar negeri AS lewat Indo-Pasifik merupakan manuver membangun aliansi keamanan. Tapi secara tersirat adalah membendung kekuatan China dengan Belt and Road Initiatives-nya (BRI).
Lebih lanjut Mangindaan menginformasikan bahwa AS dalam upaya membangun kekuatan senjata nuklirnya pada tingkat maksimum, telah mengeluarkan anggaran pertahanan sebesar 5,2 triliun dolar AS untuk memodernisasi tiga perangkat: peluncur, pengendali dan hulu ledak.
Menyadari kenyataan tersebut, para narasumber maupun peserta aktif sampai pada pandangan bahwa dengan berakhirnya Perjanjian INF menyusul pembatalan sepihak oleh Presiden Trump pada awal Februari lalu, nampaknya AS bermaksud untuk meningkatkan postur militernya secara lebih agresif, serta untuk mengondisikan kembali perlombaan senjata nuklir seperti di era Perang Dingin sehingga tidak menghargai sama sekali negara-negara lain baik di kawasan Asia Pasifik maupun di kawasan Eropa yang notabene sebagian besar merupakan negara-negara sekutu AS.
Selain itu Mangindaan juga menyinggung satu isu yang cukup menarik. Betapa besar campur tangan kepentingan bisnis the Military Industry Complex (Kompleks Industri Militer) dalam menentukan arah kebijakan strategis pertahanan dari negara-negara adikuasa yang saling bertarung dalam Perang Dingin (1950-1989).
Menurut dia, di balik menajamnya perlombaan senjata nuklir sejak era Perang Dingin, korporasi-korporasi industri pertahanan strategis telah mengendalikan rezim persenjataan baik konvensional maupun nuklir. “Jadi pada kenyataannya bisa dibilang, konsensus mulai dari NPT, SALT hingga INF hanya semata manuver bisnis negara-negara maju atau adikuasa,” katanya.
Pandangan dan analisis Laksamana Mangindaan, semakin diperkuat oleh beberapa kajian GFI sebelumnya. Misalnya, Michel Chossudovsky dalam bukunya bertajuk “Toward a World War III Scenario; The Danger of Nuclear War”, menggambarkan adanya kepentingan-kepentingan korporasi yang sangat kuat di balik program pengembangan energi nuklir maupun persenjataan nuklir. Bahkan keduanya saling tumpang-tindih satu sama lain.
Beberapa produsen senjata AS mendapatkan tender kontrak pengadaan berbagai persenjataan strategis miliaran dolar AS dari Kementerian Pertahanan (Pentagon).
Dengan demikian, program peningkatan dan pengembangan nuklir AS di luar skema perjanjian INF nampaknya juga bertautan dengan beberapa kontraktor pertahanan. Terkait dengan hal tersebut, nampaknya beberapa pejabat tinggi yang merupakan pemain kunci di era kepresidenan George W Bush yang kerap disebut kaum Neokonservatif, saat ini juga memainkan peran yang cukup penting dan strategis di balik keputusan Presiden Trump menarik diri dari perjanjian INF pada 1987.
Sehubungan dengan beberapa simpul penting yang mengemuka dalam seminar terbatas GFI tersebut, maka Indonesia dan negara-negara yang sedang berkembang yang masuk dalam kategori non-nuclear state, kiranya cukup beralasan untuk menaruh kekhawatiran yang cukup besar. Sehingga perlu merumuskan beberapa langkah strategis untuk menangkal peningkatan perlombaan senjata nuklir di Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara (ASEAN).
Menyikapi beberapa simpul pemikiran dan pandangan tersebut, maka saatnya Indonesia untuk kembali memainkan peran aktif dalam perdamaian dunia. Khususnya dalam memprakarsai kembali perundingan-perundingan berskala multilateral dalam kerangka perlucutan senjata (disarmament) dan pemeliharaan perdamaian (peacekeeping).
Untuk itu, gagasan dan usulan dari Marsekal Pertama Adityawarwan dari Kemhan RI, patut dijadikan titik tolak pengembangan lebih lanjut, yaitu mendorong negara-negara non-nuklir untuk menegakkan Non Proliferation Treaty (NPT). Selain itu menekan negara-negara nuklir menghormati NPT dan kembali ke meja perundingan.
Melakukan pendekatan kepada negara-negara yang tergabung dalam NATO yang tidak setuju dengan kebijakan Presiden Trump dan membangun kerangka kerja sama dengan negara-negara non-nuklir untuk mengingatkan negara-negara nuklir terhadap kemungkinan dampak buruk bagi pengembangan nuklir yang tidak bertanggung jawab di masa depan.
Modalitas ASEAN
Selain iitu, ASEAN sudah memiliki setidaknya dua perangkat untuk mengembangkan lebih lanjut gagasan sebagaimana disampaikan Marsekal Pertama Adityawarman yaitu Kawasan Damai, Bebas dan Netral (Zone of Peace, Freedom andn Neutrality/ZOFPAN) yang merupakan tekad dan pernyataan sikap negara-negara yang tergabung di kawasan Asia Tenggara untuk menciptakan kawasan yang damai, bebas dan netral, dari semua campur tangan asing maupun sebagai sasaran perebutan wilayah pengaruh dari negara-negara adikuasa manapun.
Secara lebih spesifik lagi, ASEAN mempunyai kawasan bebas senjata nuklir (Southeast Asian Nuclear-Weapon-Free Zone Treaty/SEANWFZ). Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN sepakat mengadopsoi rencana aksi SEANWFZ untuk mempercepat pembentukan kawasan bebas nuklir di Asia Tenggara.
Namun, Mangindaan mengingatkan, bahwa kedua perangkat yang sudah dimiliki ASEAN itu tidak akan bisa berhasil dan efektif untuk mencapai tujuan tersebut, jika Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, tidak memainkan peran kepemimpinan.
Kata kuncinya adalah Indonesia harus memainkan peran kepemimpinan di ASEAN sebab kekompakan ASEAN sebagai entitas politik regional saat ini masih dipertanyakan. Maka dari itu, menarik ketika beberapa peserta aktif maupun beberapa narasumber seminar, menegaskan betapa pentingnya Indonesia saat ini memiliki pemimpin yang kuat, tapi juga visioner dan imajinatif dalam menjabarkan politik luar negeri RI bebas-aktif sesuai dengan perkembangan dan tantangan zaman.
Maka itu, atas saran dan tawaran dari Global Future Institute, berbagai komponen strategis bangsa, khususnya pemangku kepentingan/stakeholders kebijakan luar negeri RI, menyerap dan mempelajari kembali "success story" para bapak bangsa, ketika memprakarsai Konferensi Asia-Afrika Bandung 1955, dan Gerakan Negara-Negara Nonblok Beograd 1961.
Langkah tersebut juga mengilhami dan menginspirasi lahirnya gagasan-gagasan strategis terbentuknya forum-forum internasional yang diprakarsai negara-negara berkembang yang masuk kategori negara-negara nonnuklir, untuk mendesak dan memaksa negara-negara adikuasa dan negara-negara maju, agar menghentikan perlombaan senjata nuklir di Asia Pasifik, dan Asia Tenggara pada khususnya. Demi terciptanya perdamaian dunia.
Selain itu, gagasan untuk membuka kembali perundingan-perundingan strategis yang didasari gagasan ke erah perlucutan senjata nuklir ala INF, merupakan suatu keharusan untuk mengikutsertakan juga Rusia dan China maupun negara-negara Asia yang masuk kategori nuclear state seperti Iran, Korea Utara, India, dan Pakistan atas dasar gagasan untuk menciptakan perimbangan kekuatan antarnegara-negara. (ANT-BPJ).