Jakarta (ANTARA) - Koordinator Tim Kerja Surveilans Kementerian Kesehatan dr. Triya Novita Dinihari mengatakan skrining untuk mendeteksi Human Papillomavirus (HPV) tidak hanya untuk menjaga kesehatan wanita tapi juga membantu menjaga kesejahteraan keluarga dan anak yang mendukung tumbuh kembangnya.
“Sebenarnya anak yang pasti berdampak, bagaimana kita bayangkan anak nanti tumbuh, mendapatkan kasih sayang, bagaimana dia mau curhat ibunya lagi sakit, ini yang harus menjadi titik balik kita kenapa kita harus melakukan skrining,” kata Dini dalam diskusi mengenai skrining kanker serviks di Jakarta, Selasa.
Dini mengatakan, kanker serviks dan kanker payudara menjadi penyakit tidak menular yang mengintai wanita Indonesia dengan jumlah penderita terbanyak ke 4 di dunia (6,9 persen) dan ke 2 di Indonesia (17,8 persen) berdasarkan data Globocan 2022.
Sebagian besar, kata Dini, perempuan di Indonesia masih enggan untuk melakukan skrining HPV karena rasa malu dan tidak nyaman saat pengambilan sampel oleh dokter atau bidan. Hal ini yang perlu dihilangkan agar cakupan skrining HPV di Indonesia bisa merata dan mencegah keganasan kanker di kemudian hari.
“Kalau sakit kanker serviks, kanker payudara, pengobatan mahal, lama, pasti menjenuhkan, sebenarnya kalau positif thinking hasilnya akan baik, niat baik agar tahu seawal mungkin supaya tidak telat (penanganannya), yang harus dipikirkan anak kita, kalau kita sakit anak kita gimana,” katanya.
Dini mengatakan pemerintah telah menyediakan beragam fasilitas pemeriksaan kesehatan dan vaksinasi untuk perempuan menjaga dirinya dari virus HPV, salah satunya yang bisa dimanfaatkan adalah Cek Kesehatan Gratis (CKG) yang bisa didapatkan dari puskesmas termasuk pemeriksaan IVA tes dan HPV DNA. Pemeriksaan ini juga tidak hanya untuk kanker serviks namun untuk semua penyakit tidak menular.
Selain itu juga telah ada inovasi pemeriksaan HPV secara mandiri dengan pengambilan sampel Self Sampling yang bisa dilakukan sendiri di rumah atau di pusat kesehatan.
Inovasi ini untuk memenuhi target eliminasi kanker serviks WHO tahun 2030 di mana diharapkan 90 persen dari wanita sudah mendapatkan vaksinasi di sekolah, 70 persen wanita menjalani skrining dengan target sasaran dari Kemenkes yakni usia 30-69 tahun, dan 90 persen terdiagnosis dan mendapatkan terapi yang sesuai prosedur.
“Semua sudah disiapkan, tersedia meski belum sempurna, kita coba melihat di tempat lain yang tidak ada sama sekali fasilitas ini, di tempat kita jauh lebih baik,” kata Dini.
Ia juga berharap dengan disiapkan fasilitas cek kesehatan kepada masyarakat terutama wanita, bisa memastikan anak-anak Indonesia bisa tumbuh menjadi generasi yang lebih baik di kemudian hari. Karena menyiapkan generasi yang lebih baik, berkualitas, pintar dan sehat terdapat peran ibu di dalamnya.
Meningkatkan risiko
Sementara itu, dokter spesialis obstetri ginekologi konsultan onkologi RSK Dharmais dr. Widyorini Lestari Hanafi Sp.OG(K)Onk mengatakan semakin sering melahirkan secara normal bisa meningkatkan risiko tertular Human Papillomavirus (HPV).
“Karena ada pergerakan dari serviks terbuka untuk lahiran nanti tertutup lagi, jadi mungkin trauma dari serviks, tapi itu fungsi alami dalam proses persalinan tapi ternyata mempengaruhi sel-sel dari serviks, sehingga mudah terkena infeksi dari HPV,” kata dokter yang disapa Wini ini dalam diskusi mengenai kanker serviks di Jakarta, Selasa.
Saat melahirkan normal, bayi akan melewati saluran vagina, serviks, atau vulva yang mungkin terdapat virus HPV. Proses melahirkan normal juga bisa menyebabkan lecet atau luka kecil pada vagina, yang dapat menjadi tempat masuknya virus HPV ke dalam tubuh bayi.
Wini mengatakan, memiliki banyak anak terutama melalui persalinan normal semakin memperbesar risiko tertularnya virus HPV.
Selain melahirkan secara normal, wanita yang menikah muda juga dapat meningkatkan risiko terjangkitnya virus HPV. Hal ini karena wanita yang berhubungan seksual aktif di bawah usia 18 tahun masih belum memiliki organ kandungan yang lengkap.
“Faktor risiko memang bukan penyebab, tapi faktor yang bisa menyebabkan dan menambah risiko terjadinya infeksi HPV, contoh menikah di usia muda karena organ kandungan perempuan belum matang, kedua banyak partner seksual,” katanya.
Ia mengatakan, virus HPV tidak dapat dicegah, namun ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menekan risiko virus berubah menjadi kanker serviks. Antara lain melakukan vaksinasi bagi anak perempuan mulai usia 9-14 tahun. Bagi wanita dewasa di atas 30 tahun dan berhubungan seksual aktif, disarankan untuk melakukan tes HPV dengan pap smear, atau IVA tes, 3 tahun sekali.
Selain vaksinasi, Wini menyarankan untuk menjaga kebersihan organ wanita utamanya saat menggunakan toilet umum dan rajin mencuci tangan sehabis dari toilet.
“Kalau toilet umum namanya virus bisa dimana saja, virus hpv juga bisa dimana saja, toilet umum hanya suatu media dimana virus ada di situ tapi kalau terkena virus itu belum tentu terinfeksi, terinfeksi tetap dari berhubungan seksual,” katanya.
Widyorini Lestari Hanafi juga mengatakan skrining Human Papillomavirus (HPV) harus tetap dilakukan meskipun hanya memiliki satu pasangan (single partner) atau jika suami sudah lama meninggal.
“Terjadinya infeksi virus sampai kanker serviks butuh waktu 15 tahun, kalau suami meninggal lama, jangan tidak skrining, karena mungkin kalau sudah terinfeksi virus kalau suami meninggal bisa terjadi kanker serviks,” katanya.
Wini mengatakan, faktor risiko utama penularan virus HPV adalah dari sanggama atau hubungan seksual aktif. Meski hanya memiliki satu pasangan, risiko tertular HPV tetap ada. Risiko lainnya juga bisa terjadi pada wanita yang memiliki lebih dari satu pasangan seksual dapat meningkatkan terjangkitnya virus HPV.
Gejala sampai menjadi kanker serviks butuh waktu yang lama kurang lebih 15 tahun. Pada saat sudah menjadi kanker akan muncul gejala seperti nyeri pinggul, keluar darah di luar tanggal menstruasi atau berdarah saat sanggama dan keputihan.
Gejalanya tidak terlihat, kalau menimbulkan gejala biasanya sudah stadium berat, kalau datang ke dokter keluar darah di luar haid atau sanggama keluar darah itu artinya sudah terkena kanker serviks.
Menurut data Globocan tahun 2022, Kanker serviks merupakan jenis kanker yang terjadi pada wanita dengan jumlah penderita terbanyak ke 4 (6,9 persen) di dunia dan ke 2 di indonesia (17,8 persen).
Secara global berdasarkan WHO tahun 2019 kasus kematian kanker serviks pada tahun 2018 sebanyak 311.000 wanita, artinya setiap 2 menit ada satu wanita meninggal karena kanker serviks.
Maka itu, ia mendorong setiap wanita melakukan skrining untuk mendeteksi adanya virus sejak awal dengan tes HPV DNA, yang saat ini sudah bisa dilakukan secara mandiri, yang sedang dilakukan oleh RS Kanker Dharmais bersama dengan Pusat Kanker dari Amerika.
“Pengambilan HPV DNA dikerjakan juga oleh dokter tapi untuk mengurangi rasa malu kita sekarang bisa mengambil (sampel) sendiri, tes mandiri ini sensitivitasnya 90 persen, kalo negatif artinya nggak ada virus, bisa diulang 10 tahun lagi,” kata Wini.
Ia berharap adanya pilot project ini bisa memenuhi cakupan skrining lebih banyak karena rasa malu jadi kendala wanita dalam melakukan tes HPV, terutama di negara berkembang.
Baca juga: Kanker serviks berisiko diwariskan pada keturunan perempuan selanjutnya
Baca juga: Begini eduksi kanker dari perusahaan farmasi MSD
Baca juga: DKI bidik 7.152 siswi SMP berusia 15 tahun mendapat imunisasi HPV