Jakarta (ANTARA) - Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan pemerintah menyelesaikan studi kelayakan (feasibility study/FS) bersama Jepang dan Amerika Serikat terkait pengembangan reaktor modular kecil (Small Modular Reactor/SMR) untuk Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Ia mengatakan energi nuklir menjadi salah satu solusi penyediaan energi bersih di Indonesia, tapi pengembangannya membutuhkan waktu yang lama sekitar 7 hingga 8 tahun.
“(Energi nuklir) ini juga menjadi salah satu (pengembangan proyek kerja sama) yang kemarin sudah di MoU (Memorandum of Understanding/Nota Kesepahaman)-kan dengan Amerika dan Jepang, yang mana (terkait) teknologinya. Sekarang feasibility study-nya sudah selesai,” ucapnya di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Dubes Dutton: Kerja sama tenaga nuklir Indonesia dan Kanada dalam pembicaraan
Airlangga menuturkan selanjutnya pemerintah Indonesia akan mempersiapkan perizinan konstruksi dan legalitas lainnya.
Ia mengatakan teknologi SMR tersebut dapat menghasilkan listrik hingga 700 Megawatt (MW) dalam periode 4 tahun.
“Dan kalau kita mau naikkan lagi skalanya, dia (teknologi tersebut) seperti cartridge (tangki penyimpanan) yang bisa ditambahkan dari 70 MW menjadi 140 MW, (dan dari) 140 MW menjadi 220 MW,” ujar Airlangga Hartarto.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyampaikan bahwa peta jalan pengembangan PLTN sudah dibuat hingga 2034 dengan kapasitas mencapai 500 MW.
Baca juga: Kadin dukung pemerintah kembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Indonesia
Dengan menggunakan teknologi SMR, PLTN bertenaga 250 MW akan dibangun di Sumatera dan 250 MW sisanya akan dibangun di Kalimantan.
Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, tercatat memiliki potensi uranium sebesar 24.112 ton. Uranium merupakan bahan bakar utama dalam reaktor nuklir.
Pengembangan Pembangkit Listrik tersebut rencananya akan dilakukan oleh PT PLN Indonesia Power, anak usaha dari PLN, berkolaborasi dengan perusahaan NuScale Power, LLC asal Amerika Serikat serta JGC Corporation asal Jepang.
