Jakarta (ANTARA) - Perdagangan internasional saat ini tengah menghadapi tekanan ketika Laman Gedung Putih mengumumkan pengenaan tarif dasar dan bea masuk atas barang-barang kepada lebih 180 negara, termasuk Indonesia.
Waktu berlakunya tarif tersebut terbagi menjadi dua tahapan. Pada tahap pertama, tarif 10 persen untuk semua negara akan mulai berlaku mulai Sabtu, 5 April 2025. Setelah itu, tarif khusus yang diperuntukkan bagi sejumlah negara, termasuk Indonesia, akan berlaku mulai Rabu, 9 April 2025.
Implementasi dalam kebijakan tarif ini adalah barang Indonesia yang masuk ke AS dikenakan tarif sebesar 32 persen, sebagai timbal balik atas tarif yang diberlakukan Indonesia terhadap barang dari AS, yang diklaim mencapai 64 persen.
Ini jelas kondisi yang tidak menguntungkan bagi Indonesia. Catatan Kementerian Perdagangan menunjukkan Amerika Serikat adalah salah satu negara penyumbang surplus perdagangan nonmigas pada 2024. Selain itu kontribusi AS juga mencapai 16,08 miliar dolar AS dari total surplus perdagangan migas sebesar 31,04 miliar dolar AS.
Kenaikan tarif resiprokal Donald Trump akan berpotensi memicu resesi ekonomi Indonesia di kuartal IV pada 2025 yang disebabkan potensi ekspor yang menurun, harga komoditas yang semakin rendah, tingkat penerimaan pajak yang melemah, dan secara mikro apabila kebijakan fiskal pemerintah tidak mampu memberikan stimulus tambahan, maka sisi konsumsi belanja rumah tangga juga melemah.
Resesi ekonomi adalah kondisi ketika dua atau tiga kuartal ekonomi mengalami pelambatan. Menurut Center of Economic and Law Studies (Celios), resesi berbeda dari krisis ekonomi yang mencatat pertumbuhan minus. Dalam resesi, pertumbuhan ekonomi tidak selalu minus, namun pertumbuhan yang melambat pun sudah bisa disebut sebagai resesi ekonomi. Dalam korelasi ekonomi Indonesia dengan Amerika Serikat, setiap 1 persen penurunan pertumbuhan ekonomi AS, maka ekonomi Indonesia turun 0,08 persen.
Kebijakan tarif dagang AS di bawah pemerintahan Presiden Trump telah membawa dampak signifikan terhadap perekonomian global, termasuk Indonesia. Pengumuman tarif ini menimbulkan kekhawatiran terhadap stabilitas nilai tukar rupiah, daya saing produk ekspor Indonesia, serta ketahanan ekonomi dalam menghadapi tekanan eksternal.
Pemerintah Indonesia harus mencari peluang yang perlu dilakukan, termasuk pembelajaran dari negara yang telah berhasil keluar dari ancaman perang dagang periode sebelumnya.
Dampak terhadap Indonesia
Dunia usaha Indonesia setidaknya melihat tiga hal paling terdampak dari kebijakan tarif "timbal balik" Trump tersebut. Hal yang pertama adalah biaya produksi industri makanan dan minuman yang menggunakan bahan baku dari Amerika Serikat juga ikut naik.
Hal ini akan menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar global, sementara di dalam negeri, biaya produksi yang naik akan membuat harga jual bertambah mahal.
Hal yang kedua adanya tarif impor 32 persen akan membuat volume ekspor menurun yang berdampak negatif pada kinerja dan pertumbuhan industri nasional di Indonesia. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) melihat industri berorientasi ekspor yang saat ini kondisinya rentan dan memiliki permintaan besar dari pasar AS kemungkinan akan lebih sulit bertahan dalam kondisi ini, antara lain sektor garmen, sepatu, karet, perikanan, dan furnitur.
Hal yang ketiga merupakan dampak paling buruk dari serangkaian akibat yang akan terjadi imbas kebijakan Trump tersebut adalah menyempitnya lapangan pekerjaan dan maraknya pemutusan hubungan kerja atau PHK.
Apindo mencatat jumlah tenaga kerja yang terkena PHK mencapai 40 ribu orang pada Januari-Februari 2025, dan ini menambah jumlah dari tahun lalu sekitar 250 ribu orang yang sudah dirumahkan. Meningkatnya pengangguran akan berdampak langsung pada melonjaknya angka kemiskinan di Indonesia, dan menciptakan situasi berbahaya pada sisi sosial, politik, dan keamanan.
Di tengah beragam potensi ancaman tarif “timbal balik” Trump tersebut ternyata ada peluang yang bisa dimanfaatkan Indonesia untuk dapat keluar dari tekanan, sekaligus meminimalisir ancaman yang akan terjadi.
Menurut Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, target utama dari tarif impor yang dikenakan Amerika Serikat adalah beberapa negara, seperti China sebesar 34 persen, Vietnam 46 persen, Thailand 36 persen, Kamboja 49 persen, Bangladesh 37 persen, dan Sri Lanka 44 persen. Jadi sasaran utama justru negara-negara kompetitor Indonesia dalam perdagangan internasional ke Amerika Serikat.
Pemerintah Indonesia harus mampu melihat peluang yang ada dengan mengambil pasar dari negara-negara yang kalah dalam kompetisi perdagangan tersebut, misalnya negara yang defisit perdagangannya kecil dapat menaikkan pangsa pasar ekspornya ke AS yang ditinggalkan oleh negara yang defisitnya besar, seperti Vietnam, China dan Sri Lanka.
Pengenaan tarif timbal balik Amerika Serikat ini merupakan kali kedua dalam Pemerintahan Presiden Trump. Sebelumnya pada tahun 2019, Trump juga melakukan kebijakan sama, yang pada akhirnya menciptakan perang dagang antara China dan Amerika Serikat.
Namun demikian dalam perang tersebut, menurut Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), ada satu negara yang berhasil mengambil manfaat, yaitu Vietnam.
Vietnam pada masa itu mampu melakukan substitusi produk China di Amerika Serikat dan memudahkan investasi asing masuk ke negaranya. Hal ini dikarenakan Vietnam memiliki kemiripan produk ekspor yang cukup tinggi dengan China, sehingga menggantikan ruang kosong yang ditinggalkan China di AS.
Sementara faktor strategis yang mendorong Vietnam mampu menjadi negara substitusi produk China adalah adanya fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dan pelabelan ulang produk China di Vietnam. Selain itu, sejak tahun 1994 Vietnam telah melakukan Bilateral Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) dengan Amerika Serikat. Sehingga, puncaknya negara itu sukses melakukan relokasi investasi 23 perusahaan Amerika Serikat dari China ke Vietnam melalui faktor kunci kemudahan investasi, dimana investor hanya butuh waktu dua bulan untuk mendapatkan izin investasi di Vietnam.
Peluang Indonesia
Indonesia dapat memanfaatkan peluang untuk menjadi negara substitusi ekspor ke Amerika Serikat walaupun tingkat kesamaan ekspor Indonesia dengan China ke Amerika Serikat relatif sedikit.
AS masih membutuhkan produk lain, seperti mineral, logam, dan barang konsumen, dan Indonesia setidaknya mempunyai 10 komoditas utama ekspor, seperti batubara, besi/baja, minyak kelapa sawit, bijih tembaga, dan nikel.
Perkembangan global menuju transisi hijau membuka peluang besar bagi Indonesia sebagai negara penghasil mineral kritis untuk mendukung teknologi ramah lingkungan. Selain itu Indonesia dapat memperkuat posisinya sebagai penyedia bahan baku teknologi ramah lingkungan, sekaligus menciptakan ekonomi yang inklusif.
Pemerintah Indonesia harus mampu membuat paket ekonomi untuk memikat investor asing guna membangun pabrik mereka di dalam negeri. Hal ini dikarenakan para investor berpotensi memindahkan pabrik mereka dari negara yang terkena tarif resiprokal besar AS.
Menurut Celios, faktor kunci keberhasilannya ada pada regulasi yang konsisten, efisiensi perizinan, tidak ada penyusunan RUU yang membuat kegaduhan, mendorong percepatan kesiapan infrastruktur pendukung kawasan industri, sumber energi terbarukan yang memadai untuk memasok listrik ke industri, dan juga kesiapan sumber daya manusia pendukung.
Faktor-faktor tersebut menjadi posisi tawar penting karena Indonesia sudah tidak bisa memberlakukan insentif fiskal berlebihan dengan adanya Global Minimum Tax. Sehingga kalau sebelumnya menarik investor dengan paket insentif perpajakan, seperti tax holiday dan tax allowances, maka sekarang saatnya memperbaiki daya saing dalam negeri secara fundamental.
Selanjutnya, selain memperbaiki kondisi dalam negeri, pemerintah perlu mencari pasar alternatif negara ekspor, seperti Timur Tengah yang pertumbuhannya relatif stabil. Kemudian, Indonesia juga bisa mempererat hubungan dengan negara-negara yang tergabung dalam BRICS untuk memperbesar porsi intratrade dan kerja sama investasi serta moneter.
Pemerintah Indonesia saat ini sedang memformulasikan pengenaan tarif AS terhadap sektor-sektor yang terdampak dan akan mengambil langkah strategis untuk memitigasi dampak negatif terhadap perekonomian, antara lain komitmen menjaga stabilitas yield Surat Berharga Negara (SBN) di tengah gejolak pasar keuangan global, melakukan perbaikan struktural, seperti penyederhanaan regulasi dan penghapusan regulasi yang menghambat, khususnya terkait dengan non-tariff barrier, serta bersama Bank Indonesia terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Pemerintah juga terus melakukan komunikasi dengan pemerintah AS, termasuk mengirimkan delegasi tingkat tinggi ke Washington DC untuk melakukan negosiasi langsung.
Komunikasi dengan negara-negara di kawasan ASEAN juga dijalin untuk mengambil langkah bersama, mengingat 10 negara ASEAN seluruhnya terdampak pengenaan tarif Amerika Serikat tersebut.
*) Dr M Lucky Akbar, SSos, MSi adalah Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi