Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Amerika Serikat secara semena-mena memberlakukan tarif tinggi terhadap barang-barang impor dari berbagai negara termasuk Tiongkok dan Indonesia.
Tindakan ini telah secara serius melanggar hak dan kepentingan sah negara-negara terkait, bertentangan dengan aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), serta memberikan pukulan besar terhadap stabilitas rantai industri regional dan tatanan perdagangan bebas global.
Menanggapi hal tersebut, pada tanggal 5 April 2025, Pemerintah Tiongkok merilis dokumen berjudul “Pernyataan Posisi Pemerintah Tiongkok tentang Penolakan Terhadap Pemberlakuan Tarif Sewenang-wenang oleh AS”, yang secara tegas menyatakan kecaman keras dan penentangan teguh terhadap praktik unilateralisme dan proteksionisme AS. Dunia membutuhkan keadilan, bukan hegemoni!
Di tengah era globalisasi yang sangat tinggi saat ini, tindakan AS menggunakan kenaikan tarif sebagai alat tekanan pasti akan memicu penolakan dari berbagai negara, sekaligus merusak sistem perdagangan multilateral yang berbasis aturan.
Hal ini tidak pelak mengingatkan kita pada tahun 1930 ketika AS secara drastis menaikkan tarif melalui pengesahan Smoot-Hawley Tarriff Act. Kemudian berbagai negara saling membalas dengan tindakan serupa sehingga perdagangan global mengalami keruntuhan besar dan ekonomi dunia ternaung bayang-bayang Depresi Besar selama satu dekade.
Sebagai negara maju terbesar di dunia, AS seharusnya memberikan kontribusi positif bagi perkembangan ekonomi global yang sehat dan stabil, bukan mengabaikan hasil keseimbangan kepentingan yang dicapai melalui perundingan perdagangan multilateral, serta menempatkan kepentingan sendiri di atas aturan internasional dengan mengorbankan hak pembangunan yang sah bagi negara lain demi keuntungan geopolitik sepihak.
Negara-negara Asia Tenggara yang diwakili oleh Indonesia dikenal sebagai pasar terbuka, sektor manufaktur penuh dinamis, serta ekonomi berorientasi ekspor.
Daftar tarif tambahan yang diberlakukan oleh AS kali ini mencakup banyak negara Asia Tenggara, meliputi berbagai sektor termasuk komponen elektronik, produk pertanian, produk kimia, sehingga stabilitas rantai pasokan regional menghadapi risiko sistemik. Tarif tambahan setinggi 32% yang diberlakukan terhadap Indonesia akan berdampak negatif secara serius bagi perdagangan, investasi, dan rantai produksi serta pasokan Indonesia, sekaligus secara langsung menghantam usaha kecil dan menengah serta lapangan pekerjaan masyarakat.
Selama tujuh tahun sejak AS secara sepihak memicu perang dagang terhadap Tiongkok, ekonomi Tiongkok tidak hanya tidak runtuh, malah memasuki tahap baru perkembangan berkualitas tinggi.
Pada tahun 2024, total Produk Domestik Bruto (PDB) Tiongkok mendekati 135 triliun yuan RMB (sekitar 18,8 triliun dolar AS), tumbuh sebesar 5% dibanding tahun sebelumnya, tampil menonjol sebagai satu-satunya yang mencatat pertumbuhan kuat di antara negara-negara besar utama, serta menyumbang sekitar 30% terhadap pertumbuhan ekonomi global.
Sebagai ekonomi terbesar kedua dan pasar konsumsi barang terbesar kedua di dunia, bagaimana pun situasi internasional berubah, pintu keterbukaan Tiongkok terhadap dunia justru akan semakin lebar.
Menghadapi tindakan intimidatif AS yang terus-menerus memeras negara-negara lain tanpa batas, menunjukkan kelemahan dan kompromi hanya akan membuat AS bertindak semakin merajalela.
Hanya dengan bergandengan tangan dan bekerja sama, kita dapat memastikan bahwa perdagangan tetap menjadi jembatan, bukan tembok pemisah.
*) Wang Lutong adalah Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia
Baca juga: Di balik sikap Trump dalam perang tarif
Baca juga: China terapkan tarif 125 persen atas AS
