Jakarta (ANTARA) - Di awal tahun 2025 kita digegerkan dengan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mengguncang perekonomian dan merenggut sumber penghasilan puluhan ribu pekerja.
Berdasarkan data dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), sebanyak 60.000 buruh dari 50 perusahaan mengalami PHK dalam periode Januari hingga Februari 2025. Ironisnya, 90% dari mereka terancam tidak mendapatkan tunjangan hari raya (THR), yang semakin memperburuk kondisi ekonomi para pekerja yang kehilangan pendapatan utama mereka.
Di sisi lain, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada tahun 2024, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) didominasi oleh kelompok usia 15-19 tahun sebesar 22,34%, diikuti oleh usia 20-24 tahun sebesar 15,34%. Kelompok usia ini yang mayoritas berasal dari Generasi Z.
Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 dikenal dengan karakter yang dinamis, kreatif, dan digital-savvy. Namun, dalam hal pengelolaan keuangan, banyak dari mereka yang masih terjebak dalam budaya konsumtif.
Survei Financial Fitness Index 2024 mengungkap bahwa 4 dari 10 kaum muda urban lebih memilih menabung untuk membeli barang bermerek, liburan, hingga menonton konser. Tak jarang, mereka juga memenuhi kebutuhan tersier ini dengan berutang kepada teman atau keluarga demi memenuhi gaya hidup mewah yang mereka anggap sebagai bentuk validasi sosial. Pola konsumsi yang berlebihan ini tentu menjadi ancaman bagi stabilitas keuangan di masa depan.
Di tengah badai PHK massal dan tingginya angka pengangguran yang didominasi oleh Generasi Z, frugal living atau gaya hidup hemat menjadi strategi yang semakin relevan untuk bertahan di tengah ketidakpastian ekonomi. Frugal living bukan sekadar menekan pengeluaran, melainkan tentang membangun kesadaran finansial, memprioritaskan kebutuhan, dan menghindari gaya hidup konsumtif yang berlebihan.
Bagi Gen Z, yang kerap terjebak dalam budaya hedonisme dan flexing di media sosial, beralih ke pola hidup yang lebih sederhana dan berkelanjutan menjadi langkah cerdas untuk menjaga stabilitas keuangan jangka panjang.
Dengan mengadopsi prinsip frugal living, Gen Z dapat mulai membiasakan diri untuk menabung, mengurangi pengeluaran yang tidak perlu, serta lebih bijak dalam mengelola pendapatan. Terlebih di tengah momentum Ramadhan yang identik dengan kesederhanaan dan pengendalian diri, frugal living bukan hanya menjadi strategi finansial, tetapi juga refleksi spiritual untuk membangun keseimbangan hidup yang lebih tenang dan berkah.
Bulan Ramadhan menjadi momen yang tepat, tidak hanya bagi Gen Z, tetapi juga semua kalangan untuk mulai menerapkan gaya hidup frugal. Ramadhan mengajarkan nilai-nilai kesederhanaan, pengendalian diri, serta berbagi dengan sesama, yang sangat selaras dengan prinsip frugal living untuk menata kembali pola keuangan di masa mendatang.
Bagi generasi sebelumnya, persiapan Ramadhan dan Lebaran dilakukan secara bertahap. Namun bagi Gen Z yang terbiasa dengan instant gratification, belanja Ramadhan bisa dilakukan dalam hitungan menit melalui aplikasi e-commerce. Kemudahan ini, ditambah bombardir iklan dan promosi, menciptakan tekanan konsumtif yang belum pernah terjadi pada generasi sebelumnya.
Salah satu langkah efektif untuk memulai menerapkan frugal living sejak Ramadhan adalah dengan membuat pos anggaran untuk setiap pengeluaran, khususnya untuk kebutuhan berbuka dan sahur yang sederhana namun tetap sehat.
Menghindari kebiasaan berbuka puasa di tempat mewah yang sering kali berujung pada pamer pencapaian dan membebani keuangan menjadi hal yang penting. Memasak sendiri di rumah bukan hanya lebih hemat, tetapi juga lebih sehat dan bermakna.
Selain itu, mencatat semua pemasukan dan pengeluaran setiap bulan dapat membantu kita mengevaluasi pola pengeluaran dan merencanakan anggaran yang lebih efisien untuk bulan berikutnya.
Frugal living adalah gaya hidup yang berfokus pada kesadaran finansial dan keberlanjutan dengan memaksimalkan nilai dari setiap pengeluaran. Prinsip utamanya meliputi intentional spending, yaitu membelanjakan uang dengan bijak berdasarkan kebutuhan, bukan sekadar memenuhi keinginan sesaat.
Kemudian, resource optimization, yaitu memanfaatkan barang dan sumber daya yang sudah dimiliki agar terhindar dari pemborosan. Frugal living juga menekankan pada waste reduction untuk mengurangi limbah konsumsi demi menjaga lingkungan.
Selain itu, skill development, seperti belajar memasak sendiri, memperbaiki barang yang rusak, dapat mengurangi ketergantungan pada produk jadi. Terakhir, ada community sharing, yakni berbagi sumber daya dalam komunitas, seperti bertukar pakaian, berbagi alat, dan carpooling, yang tidak hanya menghemat pengeluaran tetapi juga mempererat hubungan sosial.
Mengadopsi gaya hidup frugal living memberikan banyak dampak positif, hal ini dapat meningkatkan kesadaran finansial, di mana kita akan didorong untuk belajar memahami pentingnya menabung, berinvestasi, dan mengelola keuangan dengan bijak.
Frugal living juga membantu mengurangi stres keuangan karena dengan pengelolaan anggaran yang baik, kita dapat menghindari utang serta tekanan finansial yang sering kali membebani mental. Selain itu, gaya hidup ini juga berdampak positif pada lingkungan, karena mengurangi konsumsi barang-barang berlebihan berarti turut berkontribusi pada keberlanjutan ekosistem.
Selain menjadi momen spiritual, Ramadhan juga mengajarkan nilai kesederhanaan dan kepedulian sosial melalui sedekah dan zakat. Dengan menyisihkan sebagian penghasilan untuk membantu mereka yang membutuhkan, kita tidak hanya memperkuat solidaritas sosial, tetapi juga melatih diri untuk mengendalikan nafsu konsumtif.
Menghindari belanja impulsif untuk baju Lebaran atau aksesoris berlebihan adalah langkah bijak untuk menjaga stabilitas keuangan. Fokus pada ibadah, memperbanyak aktivitas sosial, serta membangun relasi yang bermakna dapat menjadi cara efektif untuk mengalihkan diri dari budaya konsumtif yang sering kali dipicu oleh tren media sosial.
Dengan memulai gaya hidup frugal sejak Ramadhan, kita dapat membangun kebiasaan finansial yang lebih sehat dan berkelanjutan bahkan setelah bulan suci berakhir.
Bagi masyarakat yang merantau, tradisi pulang kampung saat Lebaran sering kali diwarnai dengan tekanan sosial untuk tampil mewah demi menunjukkan kesuksesan di hadapan keluarga dan teman-teman lama.
Namun, memahami esensi frugal living menjadi kunci untuk membebaskan diri dari jebakan budaya flexing yang justru membebani keuangan. Kesuksesan sejati tidak diukur dari barang bermerek atau gadget terbaru yang dibawa pulang, melainkan dari kemampuan mengelola keuangan dengan bijak, membangun masa depan yang stabil, serta memberi dampak positif bagi orang-orang sekitar.
Dengan pola pikir yang lebih sederhana dan bermakna, kita bisa membawa oleh-oleh yang sederhana namun berkesan, menghabiskan waktu berkualitas bersama keluarga, serta menjalin silaturahmi dengan teman lama tanpa harus makan di tempat mahal.
Dengan begitu, kita tidak hanya menjaga stabilitas finansial, tetapi juga menikmati momen Lebaran yang lebih tenang, hangat, dan penuh berkah. Ulama Islam, Imam Al-Ghazali pernah berkata bahwa hidup sederhana tanpa ada hasrat untuk mencari perhatian di hadapan manusia adalah di antara sebab ketenangan hati dan bahagia.
*) Devi Utami Rika Safitri adalah Peneliti Center of Human and Economic Development, ITB Ahmad Dahlan, Jakarta, Tim Editor Jurnal Neoekohumanika