Jakarta (ANTARA) - Sebentar lagi, musim panen raya akan tiba. Mulai Februari hingga April 2025, para petani di berbagai daerah akan disibukkan dengan panen padi yang menjadi puncak dari kerja keras mereka selama berbulan-bulan.
Namun, panen kali ini memiliki tantangan tersendiri karena berlangsung di tengah musim hujan, yang membawa dampak signifikan terhadap kualitas gabah yang dihasilkan.
Dalam ekosistem pertanian padi di Indonesia, gabah dan beras memiliki hubungan yang sangat erat.
Gabah adalah hasil langsung dari panen petani, sedangkan beras adalah produk akhir yang sudah melewati berbagai proses penggilingan dan distribusi.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kepemilikan atas gabah dan beras tidaklah sama.
Petani adalah pemilik gabah, sementara beras lebih banyak dikuasai oleh pedagang. Dinamika ini menciptakan struktur pasar yang sering kali tidak menguntungkan bagi petani, terutama dalam hal penentuan harga.
Perum Bulog sebagai operator pangan nasional memiliki peran penting dalam memastikan stabilitas harga gabah dan beras.
Pemerintah telah memberikan mandat kepada Bulog untuk menyerap gabah dari petani dengan harga yang tidak merugikan mereka.
Namun, dalam praktiknya, ada tantangan besar yang harus dihadapi. Salah satunya adalah kondisi gabah saat panen di musim penghujan yang cenderung memiliki kadar air tinggi dan tingkat hampa yang lebih besar.
Hal ini membuat harga gabah di tingkat petani sulit mencapai Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang telah ditetapkan.
Dalam kondisi ideal, gabah kering panen (GKP) yang memenuhi standar HPP harus memiliki kadar air maksimal 25 persen dan kadar hampa tidak lebih dari 10 persen.
Namun, di musim hujan, petani sulit mencapai standar tersebut tanpa dukungan teknologi pengeringan yang memadai.
Akibatnya, gabah yang mereka hasilkan sering kali masuk dalam kategori di luar kualitas yang dikenakan rafaksi harga.
Misalnya, GKP dengan kadar air 26-30 persen dan kadar hampa 11-15 persen akan mengalami pemotongan harga yang cukup besar, membuat harga jualnya jauh di bawah HPP yang diumumkan.
Di sinilah pentingnya sosialisasi yang lebih komprehensif dari pemerintah. Bukan hanya sekadar mengumumkan kenaikan HPP, tetapi juga memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada petani mengenai bagaimana cara memenuhi standar tersebut agar harga jual gabah mereka tetap menguntungkan.
Pemerintah perlu menyusun strategi komunikasi yang efektif, melibatkan penyuluh pertanian dan pemangku kepentingan lainnya untuk memberikan edukasi kepada petani sejak jauh-jauh hari sebelum panen tiba.
Selain komunikasi yang lebih baik, solusi nyata yang bisa diterapkan adalah penyediaan alat pengering gabah dengan teknologi sederhana yang dapat digunakan oleh kelompok tani.
*) Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat.
Baca juga: Menyerap gabah petani