Penangkapan ikan terukur untuk tingkatkan produktivitas yang keberlanjutan
Oleh Dr. Adji Sularso*) Kamis, 24 Agustus 2023 8:49 WIB
Jakarta (ANTARA) - Salah satu kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono adalah penangkapan ikan terukur, di samping tiga kebijakan strategis lain.
Penangkapan ikan terukur atau PIT merupakan kebijakan yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 pada 26 Maret 2023, namun masih memerlukan penjelasan teknis pelaksanaan yang diatur dalam peraturan menteri.
Substansi PP Nomor 11 tersebut mengubah kebijakan dan regulasi usaha penangkapan selama ini yang berlaku puluhan tahun, sejak tahun 1980-an.
Beberapa perubahan signifikan kebijakan baru dibandingkan yang lama, antara lain, pertama, perubahan dari input control (pengaturan berdasarkan input) menjadi output control (pengaturan output).
Input dalam usaha penangkapan diwujudkan dalam bentuk kapasitas penangkapan (besarnya gross tonage/GT; kapasitas mesin dalam HP/horse power), dan jenis alat tangkap jaring dengan diameter mata jaring.
Output dalam usaha penangkapan ikan diwujudkan dengan hasil tangkapan. PIT mengatur batasan (kuota) ikan yang ditangkap dalam periode setahun, dan selanjutnya dievaluasi apakah kuota tahun tersebut perlu direvisi (dikurangi atau ditambah) tergantung dari perhitungan di zona penangkapan apakah over-fishing (penangkapan melebihi kelestarian) atau masih under-fishing (penangkapan di bawah kelestarian).
Baca juga: Guru besar IPB ingatkan bahaya cantrang bisa sebabkan kepunahan biota laut
Kebijakan lama izin penangkapan ikan mengatur GT kapal, alat jaring, jenis alat tangkap, dan tidak dibatasi hasil tangkapannya atau boleh menangkap sebanyak-banyaknya. Adapun PIT, selain mengatur GT kapal, juga membatasi jumlah tangkapan.
Kedua, terjadi perubahan tarif izin penangkapan baik formula besarannya maupun cara pembayaran. Kebijakan lama, besaran tarif izin penangkapan atau disebut PHP (pungutan hasil perikanan) dihitung berdasarkan formula = 2,5 persen x harga patokan ikan x indeks produktivitas.
Harga patokan ikan ditetapkan oleh Pemerintah (Kementrian Perdagangan), sedangkan indeks produktivitas ditetapkan oleh Menteri KKP berdasarkan jenis alat tangkap dan zona penangkapan.
Sistem PHP semula dibayar sebelum kegiatan penangkapan dan sebagai prasyarat mendapatkan SIPI (surat izin penangkapan ikan), pembayaran pada sistem PIT dilaksanakan setelah kapal melakukan penangkapan dan ikan didaratkan di pelabuhan perikanan yang dicantumkan dalam SIPI.
Besaran PHP sistem PIT ini adalah harga patokan x jumlah ikan hasil tangkapan x 10 persen (rata-rata).
Ketiga, penarikan ke Pemerintah Pusat beberapa kewenangan pemberian izin penangkapan yang semula menjadi kewenangan daerah provinsi.
Semula, pemda di tingkat provinsi menerapkan kebijakan beragam ada yang tidak mengenakan pungutan (retribusi) bagi kapal kapal di bawah 30 GT dan ada yang menerapkan retribusi sebagai sumber APBD.
Dengan PIT, semua pungutan ditetapkan KKP menjadi sumber PNBP (pendapatan negara bukan pajak). Hasil pungutan PNBP dapat dikembalikan ke pemungut (KKP) dan dapat diberikan Sebagian kepada Pemda penghasil.
Baca juga: Survei: 70 persen responden percaya MSC bisa hentikan penangkapan berlebih
Kelebihan dan kekurangan
PP tentang PIT tersebut mengandung beberapa kelebihan dan kelemahan. Pertama, peralihan dari input control ke output control merupakan kemajuan karena hasil tangkapan dapat dikendalikan sesuai JTB (jumlah tangkapan yang diperbolehkan) dan pada gilirannya tidak akan terjadi over-fishing (tangkapan lebih).
Output kontrol atau kuota yang diterapkan di berbagai negara seperti Australia, Islandia, dan negara-negara Skandinavia terbukti berhasil meningkatkan produktivitas; menjaga kelestarian; dan meningkatkan hasil usaha penangkapan ikan.
Bahkan di negara-negara tersebut penerapan kuota menjadi ITQ (individual transferable quota) di mana izin penangkapan bisa diperjualbelikan seperti saham sehingga memiliki nilai sebagaimana aset atau komoditas penting.
Keberhasilan penerapan kuota selalu didukung dengan data stok ikan (MSY = maximum sustainable yield) yang akurat, selanjutnya ditetapkan JTB yang akurat pula sebagai pijakan untuk memberikan jumlah izin penangkapan.
Kondisi selama ini kerap ditemui angka stok atau MSY mengandung ketidakpastian alias tidak akurat. Karena penentuan angkanya bukan atas survei dengan metodologi yang ilmiah, melainkan berdasarkan kebijakan terdahulu dengan pendekatan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Secara ilmiah ada dua metodologi untuk menentukan stok ikan, yaitu dengan metode analitik dan holistik. Metode analitik dengan mengambil sampling ikan di tiap zona penangkapan atau WPP (wilayah pengelolaan perikanan).
Caranya, mengerahkan kapal trawl selama setahun musim penangkapan, paling tidak dibutuhkan 11 kapal trawl dan selama setahun diukur secara biologi ikan hasil sampling tangkapan.
Fakta menunjukkan bahwa survei seperti ini pernah dilaksanakan pada 2001 dengan hasil MSY = 6,2 juta ton/tahun dan setelah itu angka stok menggunakan pendekatan interpolasi dan saat ini menetapkan MSY 12 juta ton/ton per tahun.
Ketidakakuratan angka MSY akan berdampak negatif terhadap penerapan PIT, bisa terjadi over-fishing dan kerugian ekonomi bagi pengusaha pemegang izin.
Baca juga: Pemanfaatan Rumpon Laut Sebagai Daerah Penangkapan Ikan
Kedua, pembayaran PHP yang merupakan PNBP semula dilakukan sebelum penangkapan menjadi pasca-penangkapan ikan merupakan kemajuan dan disambut baik oleh pelaku usaha, karena lebih fair dan meringankan dunia usaha.
Namun demikian, peningkatan besaran PNBP secara signifikan dari 2,5 persen produktivitas menjadi 10 persen sangat memberatkan pengusaha karena hasil tangkapan saat ini, margin keuntungannya tidaklah begitu besar.
Ketiga, Permen KP tentang Pelaksanaan PIT saat ini masih digodok di Ditjen Perikanan Tangkap KKP yang ditargetkan tidak lebih dari setahun regulasi ini sudah ditetapkan. Tercatat saat ini masih tahap konsultasi publik atau sosialisasi.
Lamanya permen tersebut kerap menimbulkan spekulasi dan menciptakan ketidakpastian usaha. Perumusan permen harus dapat menutupi celah PP dan memberikan kepastian usaha serta keadilan baik bagi nelayan kecil maupun besar (industri).
Dari ketiga hal tersebut, maka perlu langkah sebelum permen diberlakukan, antara lain, pertama mere-evaluasi angka MSY menggunakan cara perhitungan cepat dengan metode DEA (data envelopment analysis) dari sampling hasil tangkapan di pelabuhan pendaratan ikan seluruh Indonesia.
Kedua, memberikan hak eksklusif kepada pengusaha skala besar (industri) area penangkapan di zona PIT dengan syarat armada kapal ikannya harus melibatkan nelayan lokal minimal misalnya 30 persen dari jumlah kapal skala besar (100-200 GT).
Ketiga, izin kapal ikan PIT skala besar harus memiliki basis industri pengolahan atau bermitra dengan industri pengolahan dalam negeri, agar industri pengolahan yang banyak tutup akibat kebijakan moratorium dapat beroperasi kembali dan bisa membangkitkan produksi perikanan nasional.
Keempat, izin PIT bagi pelaku usaha yang tidak memiliki industri dapat diberikan di zona penangkapan tidak eksklusif.
Pada dasarnya kebijakan yang baik adalah memberikan peluang bagi semua pihak dengan kepastian pembagian zona dan kepastian hasil tangkapan.
Pengalaman selama ini terjadi perebutan daerah penangkapan dan ketidakpastian hasil tangkapan.
Kebijakan PIT dapat menguntungkan semua pihak jika menerapkan prinsip-prinsip kepastian hukum, hasil tangkapan, dan profit margin yang memadai.
Hal itu semata agar penangkapan ikan terukur mampu menjadi solusi bagi upaya peningkatan produktivitas yang selalu keberlanjutan.
*) Dr. Adji Sularso adalah pengamat kelautan
Penangkapan ikan terukur atau PIT merupakan kebijakan yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 pada 26 Maret 2023, namun masih memerlukan penjelasan teknis pelaksanaan yang diatur dalam peraturan menteri.
Substansi PP Nomor 11 tersebut mengubah kebijakan dan regulasi usaha penangkapan selama ini yang berlaku puluhan tahun, sejak tahun 1980-an.
Beberapa perubahan signifikan kebijakan baru dibandingkan yang lama, antara lain, pertama, perubahan dari input control (pengaturan berdasarkan input) menjadi output control (pengaturan output).
Input dalam usaha penangkapan diwujudkan dalam bentuk kapasitas penangkapan (besarnya gross tonage/GT; kapasitas mesin dalam HP/horse power), dan jenis alat tangkap jaring dengan diameter mata jaring.
Output dalam usaha penangkapan ikan diwujudkan dengan hasil tangkapan. PIT mengatur batasan (kuota) ikan yang ditangkap dalam periode setahun, dan selanjutnya dievaluasi apakah kuota tahun tersebut perlu direvisi (dikurangi atau ditambah) tergantung dari perhitungan di zona penangkapan apakah over-fishing (penangkapan melebihi kelestarian) atau masih under-fishing (penangkapan di bawah kelestarian).
Baca juga: Guru besar IPB ingatkan bahaya cantrang bisa sebabkan kepunahan biota laut
Kebijakan lama izin penangkapan ikan mengatur GT kapal, alat jaring, jenis alat tangkap, dan tidak dibatasi hasil tangkapannya atau boleh menangkap sebanyak-banyaknya. Adapun PIT, selain mengatur GT kapal, juga membatasi jumlah tangkapan.
Kedua, terjadi perubahan tarif izin penangkapan baik formula besarannya maupun cara pembayaran. Kebijakan lama, besaran tarif izin penangkapan atau disebut PHP (pungutan hasil perikanan) dihitung berdasarkan formula = 2,5 persen x harga patokan ikan x indeks produktivitas.
Harga patokan ikan ditetapkan oleh Pemerintah (Kementrian Perdagangan), sedangkan indeks produktivitas ditetapkan oleh Menteri KKP berdasarkan jenis alat tangkap dan zona penangkapan.
Sistem PHP semula dibayar sebelum kegiatan penangkapan dan sebagai prasyarat mendapatkan SIPI (surat izin penangkapan ikan), pembayaran pada sistem PIT dilaksanakan setelah kapal melakukan penangkapan dan ikan didaratkan di pelabuhan perikanan yang dicantumkan dalam SIPI.
Besaran PHP sistem PIT ini adalah harga patokan x jumlah ikan hasil tangkapan x 10 persen (rata-rata).
Ketiga, penarikan ke Pemerintah Pusat beberapa kewenangan pemberian izin penangkapan yang semula menjadi kewenangan daerah provinsi.
Semula, pemda di tingkat provinsi menerapkan kebijakan beragam ada yang tidak mengenakan pungutan (retribusi) bagi kapal kapal di bawah 30 GT dan ada yang menerapkan retribusi sebagai sumber APBD.
Dengan PIT, semua pungutan ditetapkan KKP menjadi sumber PNBP (pendapatan negara bukan pajak). Hasil pungutan PNBP dapat dikembalikan ke pemungut (KKP) dan dapat diberikan Sebagian kepada Pemda penghasil.
Baca juga: Survei: 70 persen responden percaya MSC bisa hentikan penangkapan berlebih
Kelebihan dan kekurangan
PP tentang PIT tersebut mengandung beberapa kelebihan dan kelemahan. Pertama, peralihan dari input control ke output control merupakan kemajuan karena hasil tangkapan dapat dikendalikan sesuai JTB (jumlah tangkapan yang diperbolehkan) dan pada gilirannya tidak akan terjadi over-fishing (tangkapan lebih).
Output kontrol atau kuota yang diterapkan di berbagai negara seperti Australia, Islandia, dan negara-negara Skandinavia terbukti berhasil meningkatkan produktivitas; menjaga kelestarian; dan meningkatkan hasil usaha penangkapan ikan.
Bahkan di negara-negara tersebut penerapan kuota menjadi ITQ (individual transferable quota) di mana izin penangkapan bisa diperjualbelikan seperti saham sehingga memiliki nilai sebagaimana aset atau komoditas penting.
Keberhasilan penerapan kuota selalu didukung dengan data stok ikan (MSY = maximum sustainable yield) yang akurat, selanjutnya ditetapkan JTB yang akurat pula sebagai pijakan untuk memberikan jumlah izin penangkapan.
Kondisi selama ini kerap ditemui angka stok atau MSY mengandung ketidakpastian alias tidak akurat. Karena penentuan angkanya bukan atas survei dengan metodologi yang ilmiah, melainkan berdasarkan kebijakan terdahulu dengan pendekatan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Secara ilmiah ada dua metodologi untuk menentukan stok ikan, yaitu dengan metode analitik dan holistik. Metode analitik dengan mengambil sampling ikan di tiap zona penangkapan atau WPP (wilayah pengelolaan perikanan).
Caranya, mengerahkan kapal trawl selama setahun musim penangkapan, paling tidak dibutuhkan 11 kapal trawl dan selama setahun diukur secara biologi ikan hasil sampling tangkapan.
Fakta menunjukkan bahwa survei seperti ini pernah dilaksanakan pada 2001 dengan hasil MSY = 6,2 juta ton/tahun dan setelah itu angka stok menggunakan pendekatan interpolasi dan saat ini menetapkan MSY 12 juta ton/ton per tahun.
Ketidakakuratan angka MSY akan berdampak negatif terhadap penerapan PIT, bisa terjadi over-fishing dan kerugian ekonomi bagi pengusaha pemegang izin.
Baca juga: Pemanfaatan Rumpon Laut Sebagai Daerah Penangkapan Ikan
Kedua, pembayaran PHP yang merupakan PNBP semula dilakukan sebelum penangkapan menjadi pasca-penangkapan ikan merupakan kemajuan dan disambut baik oleh pelaku usaha, karena lebih fair dan meringankan dunia usaha.
Namun demikian, peningkatan besaran PNBP secara signifikan dari 2,5 persen produktivitas menjadi 10 persen sangat memberatkan pengusaha karena hasil tangkapan saat ini, margin keuntungannya tidaklah begitu besar.
Ketiga, Permen KP tentang Pelaksanaan PIT saat ini masih digodok di Ditjen Perikanan Tangkap KKP yang ditargetkan tidak lebih dari setahun regulasi ini sudah ditetapkan. Tercatat saat ini masih tahap konsultasi publik atau sosialisasi.
Lamanya permen tersebut kerap menimbulkan spekulasi dan menciptakan ketidakpastian usaha. Perumusan permen harus dapat menutupi celah PP dan memberikan kepastian usaha serta keadilan baik bagi nelayan kecil maupun besar (industri).
Dari ketiga hal tersebut, maka perlu langkah sebelum permen diberlakukan, antara lain, pertama mere-evaluasi angka MSY menggunakan cara perhitungan cepat dengan metode DEA (data envelopment analysis) dari sampling hasil tangkapan di pelabuhan pendaratan ikan seluruh Indonesia.
Kedua, memberikan hak eksklusif kepada pengusaha skala besar (industri) area penangkapan di zona PIT dengan syarat armada kapal ikannya harus melibatkan nelayan lokal minimal misalnya 30 persen dari jumlah kapal skala besar (100-200 GT).
Ketiga, izin kapal ikan PIT skala besar harus memiliki basis industri pengolahan atau bermitra dengan industri pengolahan dalam negeri, agar industri pengolahan yang banyak tutup akibat kebijakan moratorium dapat beroperasi kembali dan bisa membangkitkan produksi perikanan nasional.
Keempat, izin PIT bagi pelaku usaha yang tidak memiliki industri dapat diberikan di zona penangkapan tidak eksklusif.
Pada dasarnya kebijakan yang baik adalah memberikan peluang bagi semua pihak dengan kepastian pembagian zona dan kepastian hasil tangkapan.
Pengalaman selama ini terjadi perebutan daerah penangkapan dan ketidakpastian hasil tangkapan.
Kebijakan PIT dapat menguntungkan semua pihak jika menerapkan prinsip-prinsip kepastian hukum, hasil tangkapan, dan profit margin yang memadai.
Hal itu semata agar penangkapan ikan terukur mampu menjadi solusi bagi upaya peningkatan produktivitas yang selalu keberlanjutan.
*) Dr. Adji Sularso adalah pengamat kelautan