Jakarta (ANTARA) - Dari balik pintu, perempuan berkebaya encim menyapa setiap tamu yang datang.
“Selamat datang di Dapur Babah,” begitu sapaan dari Dian Ekawati dengan senyum hangat mengenai restorannya yang berada di Jalan Veteran 1 nomor 18, Jakarta.
Ia memegang kunci cerita panjang sebuah rumah makan yang lebih mirip dengan museum.
Di sebuah bangunan yang berdiri sejak zaman kolonial itu ada sejumlah barang bersejarah koleksi Oie Tiong Ham, seorang pengusaha Hindia Belanda berdarah Tionghoa yang dikenal sebagai Raja Goela dari Semarang.
Di dalamnya, berjejer peralatan makan antik dari keramik porselen yang umumnya berwarna putih yang sebagian retak dimakan usia. Ada juga guci-guci antik, kemudian topi yang biasa digunakan oleh perdana menteri di Tiongkok, hingga pakaian tradisional China lengkap yang konon berasal dari Dinasti Ming.
Ornamen-ornamen itu seakan membawa pengunjung berada di masa sejarah pertama kali peranakan tinggal di Indonesia.
Tapi, saat penulis menyelami lebih dalam restoran tersebut nyatanya ada tiga budaya berkelindan di sini, yang dapat dilihat dari ornamen, makanan, sampai nama-nama menunya.
Sebut saja bitterballen, makanan dari daging sapi yang dicincang dan dibuat ragout, kemudian dibalut dengan tepung roti dan digoreng. Rasanya mirip dengan kroket.
Secara historis, bitterballen dibawa ke Indonesia oleh Belanda selama masa penjajahan dan menjadi salah satu warisan kuliner yang masih digemari hingga kini.
Lalu, ada vricadel van djagoeng atau perkedel jagung yang biasa dikenal oleh masyarakat Indonesia.
Berbeda dari kebanyakan, perkedel di Dapur Babah Elite dilengkapi dengan saus kecap gurih seperti saus khas tempe mendoan yang semakin menambah kenikmatan dalam setiap gigitan, hingga poffertjes, pancake mini asal Belanda yang memiliki rasa manis dan tekstur lembut.
Akan tetapi, tidak semua menu di restoran yang diresmikan pada 2004 itu mengusung nuansa kolonial. Restoran yang dahulu berada di kawasan elit peninggalan Belanda, yang dikenal dengan Citadel Weg itu, justru menghadirkan menu kuat cita rasa peranakan.
Mulai dari kudapan manis yang biasa disantap untuk jamuan sore seperti Kue Thok dan Onde-Onde Merah Putih yang masing-masing menggunakan bahan tepung ketan dan kacang hijau.
Lalu, ada renyahnya Loempia Semarang yang terbuat dari tumisan rebung, udang, ayam dengan cocolan saus tauco yang gurih, pedas, dan manis.
Juga ada Nasik Tjampoer Babah, sajian nasi yang dihidangkan dengan aneka pugasan yang banyak sekali, seperti empal, ayam bumbu rujak, acar, udang goreng, tahu dan tempe bacem, rempeyek, sambal, dan sayur lodeh. Menu ini menjadi andalan banyak pengunjung yang datang ke Dapur Babah.
Restoran ini juga didekorasi dengan foto-foto hitam putih yang merupakan foto-foto para nyai (istri keluarga Babah), selir dan anggota keluarga Babah.
“Spot yang paling aku suka di ruang VOC, karena ada pedang VOC dari abad ke-17 dan di dekat pintu masuk yang ternyata banyak benda yang pernah ada di Dinasti Ming,” kata Shinta saat berkunjung.
Dari dekorasi hingga menu, semua mengakar pada sejarah budaya Babah.
Istilah “Babah” di Jawa umumnya digunakan untuk menyebut budaya campuran yang lahir dari pernikahan antara pendatang Tionghoa dan perempuan pribumi Jawa. Termasuk tradisi kuliner di Dapur Babah yang menghadirkan masakan hasil eksperimen para istri Babah (dikenal sebagai Nyonya) dan para juru masak rumah tangga serta pembantu (disebut Bedeinden) yang memasak tanpa resep tertulis.
Di restoran klasik itu juga terdapat tradisi minum teh ala Belanda yang disebut High Tea. Di balik secangkir teh di Dapur Babah Elite, ternyata ada cerita bersejarah yang sangat menarik. Konon, tradisi ini terinspirasi dari kisah tragis seorang selir kaisar bernama Chen YuanYuan. Ia diasingkan dari istana tetapi sebelum pergi, ia diberi jamuan teh terakhir sebagai bentuk penghormatan.
Di restoran ini, setiap teh yang dituang seakan merefleksikan hangatnya nuansa tempo dulu melalui teko keramik antik yang merupakan barang asli dari keluarga Babah di Jawa.
Tehnya beragam, mulai dari peppermint yang segar, sereh yang menenangkan, sampai pandan yang harum dan lembut.
Tidak hanya minum teh, saat ini tradisi yang biasa untuk menemani kegiatan bincang-bincang sore itu juga bisa diganti dengan kopi. Mulai dari kopi rasa klepon, rasa cincau, hingga rasa butterscotch sebagai variasi rasa kombinasi kopi single origin dari perkebunan Kawisari.
“Konon di China, jamuan High Tea ini adalah perjamuan untuk tamu istimewa. Kita ingin semua masyarakat menikmati itu, maka kami hadirkan di restoran ini,” kata Diah kepada Antara.
Tradisi ini juga berpadu dengan romantisme budaya dalam kesederhanaan yang dibuat khusus untuk menghidupkan kembali setiap aspek historis di tempat ini.
