Jakarta (ANTARA) - Profesor Departemen Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Suprihatin, menyebut tidak semua air tanah aman digunakan untuk menjadi bahan baku Air Minum Dalam Kemasan (AMDK).
“Air tanah tidak sama di satu daerah dengan daerah lainnya. Air di perkotaan dengan aktivitas padat jelas berbeda dengan air di pegunungan yang terlindungi vegetasi dan minim campur tangan manusia," kata Prof. Suprihatin di Jakarta, Senin.
Suprihatin mengatakan kualitas air sangat dipengaruhi oleh lokasi, kondisi lingkungan, dan aktivitas manusia di sekitarnya. Air tanah dangkal lebih berisiko tercemar karena lebih dekat dengan permukaan dan cepat terinfiltrasi limbah.
Di kawasan perkotaan, air tanah cenderung memiliki kadar kontaminan yang tinggi mulai dari limbah domestik, pestisida, hingga logam berat, sehingga untuk menjadikannya layak minum diperlukan proses pengolahan yang lebih sulit dan mahal dibandingkan air pegunungan.
Baca juga: Alasan galon polikarbonat lebih aman dijadikan wadah air minum
Baca juga: Produsen AMDK terapkan pembayaran jasa lingkungan dorong konservasi sumber daya air
Ia membeberkan penelitian di sejumlah kota besar di Indonesia, termasuk Jakarta, Bandung, dan Malang, menunjukkan kualitas air tanah terus menurun.
Total zat terlarut (TDS) dalam air tanah di beberapa lokasi bahkan setara dengan air sungai yang tercemar. Kondisi ini dipicu pencemaran dari limbah rumah tangga, industri, serta buruknya sistem sanitasi.
Temuan itu didukung dengan adanya data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang mencatat standar baku mutu air minum diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 32 Tahun 2017.
