Malang (ANTARA) - Dosen peneliti Universitas Brawijaya (UB) yang dipimpin Prof Hagus Tarno menemukan lima spesies baru cacing nematoda dari genus Caenorhabditis dari berbagai wilayah Indonesia dan dua di antaranya mengabadikan nama UB.
Kelima spesies baru yang berhasil diidentifikasi adalah Caenorhabditis Indonesiana, Caenorhabditis malinoi, Caenorhabditis ceno, Caenorhabditis Brawijaya, dan Caenorhabditis ubi.
"Pemberian nama UB ini bukan hanya simbol penghargaan, juga strategi untuk memperkuat branding UB di dunia ilmiah internasional. Kami ingin nama universitas tetap hidup dan dikenal luas di dunia ilmiah melalui penelitian biodiversitas,” kata Prof Hagus Tarno di Malang, Jawa Timur, Kamis.
Ia menambahkan, pemakaian nama UB pada spesies baru akan membuat nama universitas terus muncul dalam publikasi dan basis data ilmiah internasional setiap kali spesies tersebut dikaji oleh peneliti lain.
Baca juga: Mahasiswa Universitas Brawijaya buat aplikasi ilmajinasi.id untuk pendidikan di daerah 3T
Penelitian ini dilakukan melalui serangkaian ekspedisi lapangan pada April hingga Mei 2024 di empat pulau besar Indonesia, yaitu Jawa, Bali, Lombok, dan di Sulawesi Selatan.
Temuan ini dipublikasikan pada Juli 2025 di jurnal ilmiah internasional bereputasi G3: Genes|Genomes|Genetics, diterbitkan oleh Oxford University Press, dan menjadi salah satu kontribusi penting Indonesia dalam riset biodiversitas nematoda di tingkat global.
Penelitian ini merupakan kerja sama lintas negara yang melibatkan UB dan Centre National de la Recherche Scientifique (CNRS) Prancis, didukung oleh peneliti dari Academia Sinica Taiwan dan New York University, Amerika Serikat dengan memanfaatkan keahlian lintas disiplin, mulai dari taksonomi, genetika molekuler, hingga ekologi nematoda.
Lebih lanjut, Prof Hagus mengatakan dari 204 sampel yang diambil, 58 di antaranya positif mengandung nematoda Caenorhabditis. Sampel-sampel tersebut dikumpulkan dari berbagai tipe habitat, mulai dari hutan, kawasan agroforestri, lahan pertanian, taman kota, hingga area pegunungan dengan ketinggian beragam.
Di Jawa Timur, pengambilan sampel dilakukan di UB Forest di Malang, kawasan hutan Batu, dan lereng Gunung Bromo. Di Sulawesi Selatan, spesies ditemukan di kawasan Malino dan Lanna, sedangkan dari Lombok diperoleh sampel di wilayah Lingsar dan Setiling, serta dari Bali di Sayan, Ubud, Marga, Ababi, dan Besakih.
Baca juga: Universitas Brawijaya Malang Juara FNRP XXX Grebeg Suro 2025
Proses pengambilan sampel difokuskan pada bahan tanaman yang membusuk seperti bunga, buah, batang, daun, kayu, dan jamur, yang menjadi habitat alami nematoda Caenorhabditis. Contohnya, C. indonesiana ditemukan pada bunga pisang membusuk di hutan Batu, sementara C. brawijaya ditemukan pada batang pisang (Musa) yang membusuk di lereng Bromo.
Sampel-sampel tersebut kemudian dibawa ke Laboratorium Fakultas Pertanian UB dan dianalisis di Institut de Biologie de l’École Normale Supérieure (IBENS), Paris, untuk proses identifikasi dan karakterisasi lebih lanjut.
Sementara itu, analisis molekuler dilakukan dengan sekuensing DNA pada bagian ITS2 ribosomal DNA untuk membedakan spesies yang secara morfologi mirip. Selain itu, dilakukan analisis RNA pada 1.861 gen ortolog tunggal untuk membangun pohon filogenetik yang menunjukkan hubungan kekerabatan antarspesies dalam kelompok Elegans (Elegans group).
Tim peneliti juga melakukan serangkaian uji hibridisasi atau persilangan antarspesies untuk mengetahui kompatibilitas reproduksi.
Baca juga: Tim peneliti Universitas Brawijaya identifikasi dua genus baru mikroalga
Salah satu temuan yang menonjol adalah spesies C. ubi dari Jawa Timur. Spesies ini mampu melakukan perkawinan silang sebagian dengan Caenorhabditis sp. 41 dari Kepulauan Solomon, menghasilkan keturunan hibrida jantan yang fertil.
Fenomena ini sangat jarang ditemukan di dunia nematoda dan menjadi model penelitian untuk mempelajari proses spesiasi dan ketidakcocokan genetik antarspesies.
Prof Hagus menegaskan temuan ini membuktikan tingginya tingkat keanekaragaman hayati nematoda di Indonesia, khususnya di wilayah tropis.
“Hanya dengan eksplorasi di empat pulau, kami mendapatkan lima spesies baru. Bayangkan jika eksplorasi dilakukan lebih luas, potensi penemuan akan jauh lebih besar,” ujarnya.
Ia menekankan penelitian ini menjadi pintu masuk bagi studi lanjutan tentang ekologi, evolusi, dan genetika nematoda, serta membuka peluang riset terapan di bidang pertanian dan lingkungan.
“Kolaborasi internasional sangat penting untuk membangun jejaring penelitian dan memperluas peluang publikasi di jurnal bereputasi,” tambah Prof. Hagus.
