Jakarta (ANTARA) - Tahun 2024 dapat dikatakan sebagai tonggak penting dalam transformasi desa-desa terpencil di Indonesia. Berkat program pengembangan informasi berbasis teknologi yang digagas oleh Badan Pengembangan Informasi Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (BPI Kemendes PDT), sebanyak 60 desa terpencil sukses bertransformasi sehingga taraf hidup masyarakat terangkat naik.
Kesuksesan transformasi berbasis teknologi tepat guna itu tidak terlepas dari peran kolaborasi antara Kemendes PDT dan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Kepala BPI Kemendes PDT Ivanovich Agusta menyampaikan kolaborasi dengan ITB dalam program bertajuk Pengabdian Masyarakat itu merupakan wujud nyata peran BPI Kemendes PDT dalam mempercepat pencapaian arah kebijakan untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs Desa).
Ivanovich menyampaikan bahwa 60 desa yang berhasil bertransformasi berkat pemanfaatan teknologi tepat guna itu merupakan desa di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Desa-desa tersebut tersebar di enam provinsi, yakni Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat Daya, dan Papua Selatan.
Pria yang akrab disapa Ivan itu menyampaikan bahwa capaian ini menunjukkan bahwa teknologi dapat menghubungkan desa-desa terpencil dan mengubah hidup masyarakat secara berkelanjutan.
Sedangkan Asisten Direktur Bidang Pengabdian Masyarakat, Riset dan Pengabdian Kepada Masyarakat ITB Deny Willy Junaidy menyampaikan sejumlah teknologi yang sudah diimplementasikan di 60 desa tersebut, antara lain teknologi eksplorasi sumber air bersih, teknologi ultrafiltrasi air siap minum, jaringan internet pedesaan, penyediaan listrik untuk penerangan jalan, pengolahan sumber pangan, hingga pengembangan pariwisata.
Adapun contoh kesuksesan transformasi desa di wilayah 3T itu di antaranya adalah keberhasilan pendekatan akses air bersih berkat teknologi geologi di Desa Aimoli di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur.
Sebelumnya Desa Aimoli menghadapi persoalan krisis air bersih akibat letak sumber air yang sulit dijangkau oleh masyarakat setempat. Selain itu, ada pula masalah jaringan pipa air yang rusak. Melalui program pengabdian masyarakat ITB yang dipimpin oleh pakar geologi dari Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB Dr Ir Budi Sulistijo, tim kemudian menghadirkan solusi berbasis teknologi geologi dan hidrogeologi diterapkan untuk menemukan titik air terbaik.
Mereka menerapkan metode “Modified Self Potential and Dowsing” untuk mencari sumber air yang layak. Metode itu merupakan implementasi teknik geofisika dan eksplorasi bawah permukaan yang digunakan untuk mendeteksi sumber daya alam, seperti air tanah, mineral, atau struktur geologi tertentu.
Dengan metode itu, tim berhasil menemukan mata air dengan kualitas tinggi dan mengaktifkan kembali jaringan pipa yang rusak. Untuk memastikan penggunaan air secara bijak, tim dari ITB berkolaborasi dengan Kemendes PDT memasang lebih dari 200 meteran air di rumah-rumah warga untuk memastikan penggunaan air yang bijak. Selanjutnya, pengelolaan sumber mata air baru dan meteran air di rumah-rumah warga itu, tim ITB melatih Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) setempat. Menurut Budi, keberhasilan kerja tim tersebut tidak hanya memastikan pasokan air yang memadai, tetapi juga meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya konservasi air.
Namun, perjalanan menuju kesuksesan ini tidak mudah. Medan yang sulit, keterbatasan infrastruktur, dan minimnya tenaga terlatih menjadi tantangan utama. Perjalanan menuju Desa Aimoli, misalnya. Tim dari ITB dan Kemendes PDT membutuhkan waktu hingga tiga jam melalui jalur menanjak yang berat dan penuh tantangan untuk mencapai desa tersebut.
Contoh lainnya ada di Desa Pagaitan, Sulawesi Tengah. Dengan pemanfaatan teknologi tepat guna, akhirnya persoalan keterbatasan akses internet di desa tersebut bisa teratasi.
Sebelum program intervensi itu dimulai di Desa Pagaitan, diketahui tersebut mengalami keterbatasan akses internet yang sangat parah sehingga menghambat layanan publik, seperti kantor desa, sekolah, dan pusat kesehatan. Jaringan internet yang hampir tidak ada membuat masyarakat bergantung pada sinyal seluler yang lemah dan tidak stabil.
Baca juga: PANRB: Akselerasi teknologi untuk transformasi layanan publik
Baca juga: Peristiwa seputar industri teknologi Indonesia sepanjang 2024