Depok (ANTARA) - Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (Fisip UI) Prof Dr Dra Ani Widyani melakukan kajian interseksionalitas sebagai kerangka kerja hubungan internasional.
Prof Ani merupakan Guru Besar Bidang Ilmu Gender dan Hak Asasi Manusia dalam Hubungan Internasional.
"Pentingnya interseksionalitas sebagai kerangka kerja baru dalam mengkaji keilmuan Hubungan Internasional (HI)," katanya di Kampus UI Depok, Kamis.
Menurut dia, HI bukan hanya membahas faktor-faktor empiris yang kasat mata, tetapi juga faktor ideasional yang menyangkut norma, nilai, serta value yang tidak kasat mata.
“Benang merah pembahasan kajian hak asasi manusia, gender dalam hubungan internasional, politik internasional, politik global, dan politik dunia intinya bertumpu pada pembahasan mengenai aktor non-negara dan bagaimana keterkaitan antara aktor dengan proses politik global berjalan," katanya.
Ia juga menyebut bahwa mempelajari hak asasi manusia dan gender dalam HI adalah mempelajari manusia dan kemanusiaan yang tidak banyak dibahas dalam buku teks HI klasik yang dipelajari mahasiswa.
Bahkan tidak dirujuk oleh tokoh besar dalam disiplin keilmuan ini dan dianggap sebagai isu marginal. Oleh karena itu, analisis interseksional penting untuk memahami dinamika kekuasaan global memengaruhi individu dan kelompok tertentu secara berbeda.
Istilah interseksionalitas pertama kali diperkenalkan oleh Kimberlé Crenshaw pada 1989. Konsep ini mengakui bahwa kehidupan seseorang dibentuk oleh identitas, hubungan, dan faktor sosial mereka.
Kombinasi dari elemen-elemen ini menciptakan bentuk-bentuk privilese dan penindasan yang saling bersilangan, bergantung pada konteks serta struktur kekuasaan yang ada, seperti patriarki, ableisme, kolonialisme, imperialisme, dan rasisme.
Interseksionalitas tidak hanya menjumlahkan identitas sosial, misalnya etnisitas dan gender, tetapi menegaskan bahwa dua atau lebih faktor saling membentuk satu sama lain.
Pendekatan interseksional menegaskan bahwa diskriminasi berbasis identitas sosial tidak dapat dilihat secara terpisah. Diskriminasi berbasis gender, misalnya, tidak selalu terjadi dalam ruang hampa, tetapi dapat diperkuat oleh identitas lain, seperti ras atau status sosial ekonomi.
Diskriminasi yang dialami oleh perempuan kulit hitam dari kelompok sosial miskin mungkin berbeda dengan diskriminasi yang dialami oleh perempuan kulit putih dari kelas sosial yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pendekatan interseksional diperlukan untuk memastikan bahwa mereka yang paling tertinggal dapat dijangkau lebih dahulu.
Dalam konteks keilmuan HI, pendekatan interseksional perlu dikembangkan sebagai kerangka kerja baru karena dapat menangkap interaksi berbagai identitas dan dinamika kekuasaan global.
Pendekatan ini tidak hanya relevan untuk analisa akademik, tetapi juga memiliki implikasi praktis untuk kebijakan internasional. Dengan mengadopsi perspektif interseksionalitas, pembuat kebijakan dapat merancang kebijakan yang lebih inklusif dan adil yang memperhitungkan kebutuhan, pengalaman individu dan kelompok yang sering diabaikan dalam wacana dominan.
Pengembangan HI yang interseksional bukan hanya memperluas cakupan analisis, tetapi juga menantang struktur kekuasaan yang mendasari sistem internasional. Dengan mengakui keragaman pengalaman manusia dan bagaimana pengalaman itu dibentuk oleh berbagai faktor, pendekatan ini dapat membantu menciptakan dunia yang lebih adil dan setara.
"Perspektif interseksionalitas bukan sekadar tambahan dalam kajian HI, melainkan langkah penting menuju transformasi dalam cara kita memahami dan mengatur hubungan internasional,” kata Prof Ani.
Baca juga: Guru besar UI: Penthahelix plus turunkan kemiskinan
Baca juga: Guru Besar UI kaji sosiologi di era teknologi nanopartikel
Baca juga: Guru besar FKUI ingatkan perlunya deteksi dini cepat penyakit DBD
Baca juga: Guru besar UI sampaikan strategi penanganan penyakit jamur lewat uji diagnosis cepat