Jakarta (ANTARA) - Diskusi mengenai pemanasan global sering kali mengabaikan dampak ekonomi terhadap populasi rentan dan bagaimana hal ini memperburuk ketimpangan, dengan fokus yang lebih besar pada pertumbuhan hijau dan pengurangan emisi.
Namun, kenaikan biaya hidup dan perubahan iklim saling terkait erat. Hubungan ini seharusnya tercermin dalam perkiraan inflasi serta kebijakan fiskal dan moneter.
Dalam beberapa tahun terakhir, inflasi global telah mendorong harga pangan, energi, dan barang kebutuhan dasar ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Akibatnya, kenaikan biaya hidup mendominasi diskusi politik di seluruh dunia, terutama di negara-negara anggota G20.
Harga yang terus naik dan perubahan iklim memiliki hubungan yang erat. Cuaca ekstrem merusak tanaman, menghancurkan panen, dan mendorong kenaikan harga pangan. Dampaknya semakin nyata dengan meningkatnya gelombang panas, kekeringan, dan banjir. Peristiwa ini juga mengganggu rantai pasok dan produksi energi, sehingga meningkatkan harga barang-barang esensial lainnya.
Perubahan iklim memengaruhi produksi beras di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan pada 2023, kekeringan berkepanjangan mengurangi produksi beras hingga 5 persen, mendorong kenaikan harga 8 persen dibanding tahun sebelumnya.
Otoritas fiskal dan moneter perlu mengintegrasikan risiko terkait iklim, baik yang bersifat langsung maupun jangka panjang, ke dalam perkiraan inflasi dan kebijakan mereka.
Menghadapi kerawanan bencana alam seperti banjir dan kekeringan, integrasi risiko iklim ke dalam kebijakan moneter dan fiskal akan membantu menciptakan stabilitas ekonomi. Kebijakan yang mendorong investasi dalam infrastruktur tahan iklim dapat mengurangi dampak ekonomi dari bencana tersebut.
Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan juga harus bekerja sama dengan organisasi iklim untuk menciptakan solusi praktis yang membantu melindungi perekonomian dari guncangan terkait cuaca ekstrem, inflasi yang melonjak, dan ketahanan pangan.
Di tingkat global, koordinasi yang lebih besar antara institusi iklim dan ekonomi sangat penting. Alat seperti Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon Uni Eropa menyoroti perlunya desain kebijakan yang hati-hati untuk mengurangi dampak buruk dalam hal ini, kenaikan biaya bagi konsumen di negara berkembang. Indonesia, sebagai anggota G20 dan ASEAN, dapat memainkan peran penting dalam mendorong kebijakan global yang lebih adil.
Ada beberapa langkah kebijakan, pertama, integrasi risiko iklim dalam perencanaan ekonomi.
Kedua, investasi dalam infrastruktur tahan iklim; ketiga, pengembangan sistem keuangan hijau dengan mengadopsi platform investasi seperti ARIP untuk memprioritaskan kebijakan yang mendukung ketahanan iklim; keempat, kolaborasi regional ASEAN; dan kelima, perlindungan sosial untuk komunitas rentan.
Ketika inflasi dan pemanasan global semakin meningkat, kebutuhan akan kebijakan yang terintegrasi dan adil menjadi sangat mendesak. Dengan mengembangkan solusi inovatif yang menjembatani strategi iklim dan ekonomi, pembuat kebijakan dapat mengurangi risiko langsung dari cuaca ekstrem sekaligus mendorong stabilitas dan ketahanan jangka panjang.
Dr.Aswin Rivai,SE.,MM, adalah Pemerhati Ekonomi Dan Dosen FEB-UPN Veteran Jakarta
Baca juga: Airlangga menilai inflasi 1,57 persen masih terkendali