Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup siap menggelar pendataan nasional terhadap keanekaragaman hayati flora dan fauna yang terancam punah pada tahun 2025.
Pernyataan tersebut diungkapkan Kepala Sub-Direktorat Pengawetan Spesies dan Genetik Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Badi’ah, dalam webinar Cengkerama Iklim Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) KLH bertajuk “Keanekaragaman Hayati Dalam Perubahan Iklim” di Jakarta, Selasa.
Badi’ah mengungkapkan bahwa sebaran keanekaragaman hayati flora dan fauna nasional sangat luas yang menghuni sedikitnya 93,219 juta hektare dari total lahan Indonesia.
Masing-masing tersebar di Pulau Sumatera sebanyak 22 spesies flora/fauna, Pulau Jawa 25 spesies, Kalimantan 14 spesies, Sulawesi 16 spesies, Maluku delapan spesies, Bali – Nusa Tenggara 15 spesies, dan Papua sembilan spesies.
Baca juga: Beberapa spesies burung pegar liar langka di Pakistan terancam punah
Baca juga: Ini alasan KLHK belum masukan monyet ekor panjang sebagai satwa dilindungi
KLH mencatatkan secara rinci kekayaan keanekaragaman hayati spesies terestrial di Indonesia meliputi 9,7 persen tumbuhan berbunga, 15 persen mamalia, sembilan persen reptil, enam persen amfibi, 17 persen burung, dan sembilan persen ikan air tawar di dunia.
Bahkan, kata dia, berdasarkan data yang dihimpun Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada tahun 2023 Indonesia sebagai negara kepulauan juga memiliki empat dari 25 keanekaragaman hayati laut di dunia.
“Namun kita belum mengetahui berapa indeks ancaman kepunahan pada spesies yang ada akibat kondisi dari peningkatan suhu global dan perubahan iklim saat ini,” kata Badi’ah.
Menurut dia, organisasi konservasi keanekaragaman hayati dunia (UNCBD) memprakirakan 44 persen spesies karang perairan hangat dan 50 persen ekosistem bakau global bakal punah pada 2050 jika peningkatan suhu tidak dapat dikendalikan.
Baca juga: Menjaga habitat si raja rimba dari kepunahan
Adapun organisasi iklim dunia (WMO) melaporkan suhu global saat ini berada pada angka 1,45 derajat Celcius atau nyaris mencapai 1,5 derajat Celcius yang merupakan ambang normal suhu yang disepakati global dalam forum Paris Aggrement 2015.
Mantan Kepala Balai Konservasi Kepulauan Seribu ini menilai kondisi peningkatan suhu global tersebut tidak menutup kemungkinan juga berdampak signifikan pada keanekaragaman hayati di wilayah Indonesia.
Hal ini ditandai dari keterlambatan musim hujan Indonesia medio 2024-2025 sebagaimana diumumkan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang berdasarkan analisa KLH juga mulai menimbulkan gangguan pada pola migrasi, masa berkembang biak hingga penyerbukan pada tumbuhan di wilayah Indonesia.
“Perubahan habitat sangat vital bagi keberadaan spesies, rinciannya akan dilakukan pendataan dengan menjadikan strategi dan rencana aksi keanekaragaman hayati atau IBSAP sebagai acuan,” ujarnya.