Jakarta (ANTARA) - Dalam diskursus kebijakan publik, kelas menengah sering terpinggirkan karena terlalu kaya untuk mendapat subsidi, tetapi juga terlalu miskin untuk menikmati kenyamanan yang dimiliki kelompok atas.
Hingga muncul fenomena kelas menengah yang terjepit atau middle-class squeeze sebagai akibat dari berbagai kebijakan yang menempatkan mereka dalam keadaan yang kurang menguntungkan.
Tidak jarang kebijakan yang diambil, meski bertujuan untuk mendongkrak penerimaan negara atau mendorong pembangunan, justru memberikan dampak negatif pada kelompok ini.
Tekanan ini kerap memunculkan narasi kelas menengah yang terjepit, meskipun di balik tantangan ini, ada peluang besar untuk menciptakan solusi yang mencerahkan.
Salah satu isu utama yang dihadapi kelas menengah adalah beban pajak yang dirasa tidak seimbang dengan manfaat yang mereka terima.
Kelas menengah sering kali menjadi tulang punggung penerimaan pajak, baik melalui pajak penghasilan (PPh) maupun pajak tidak langsung seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa sebagian penerimaan PPh individu berasal dari kelompok kelas menengah, yang berada di rentang penghasilan Rp60 juta hingga Rp250 juta per tahun.
Manfaat langsung dari penerimaan pajak ini sering kali tidak terasa oleh mereka, karena anggaran publik lebih banyak dialokasikan untuk program subsidi bagi kelompok miskin atau pembangunan infrastruktur besar yang belum sepenuhnya relevan dengan kebutuhan sehari-hari mereka.
Kondisi ini diperberat oleh kebijakan ekonomi yang sering kali tidak memperhatikan dampaknya pada kelas menengah. Misalnya, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) beberapa tahun lalu yang langsung memukul daya beli mereka.
Sebagai jalan keluar bagi kelas menengah untuk beranjak dari celah kebijakan yang tidak menguntungkan, insentif pajak bisa menjadi jendela yang memberikan angin segar.
Studi kasus dari negara tetangga seperti Malaysia dapat menjadi pelajaran penting. Pemerintah di negeri jiran telah mengambil langkah-langkah untuk meringankan beban kelas menengah.
Misalnya, pada tahun 2023, Malaysia memangkas tarif Pajak Penghasilan (PPh) untuk individu berpenghasilan menengah sebanyak dua persen, yang membantu keluarga kelas menengah lebih leluasa dalam mengelola keuangan mereka.
Kelas menengah Indonesia juga memiliki potensi besar untuk memanfaatkan peluang yang muncul dari transformasi digital.
Dengan mendorong adopsi teknologi dalam aktivitas ekonomi, seperti e-commerce atau jasa berbasis digital, kelas menengah dapat menciptakan sumber penghasilan tambahan.
Pemerintah bisa mendukung inisiatif ini melalui insentif pajak bagi pelaku usaha kecil berbasis teknologi dan pelatihan digital gratis untuk tenaga kerja.
Melalui kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan kelas menengah itu sendiri, ada harapan besar bahwa kelompok ini tidak lagi menjadi yang terjepit, melainkan menjadi kekuatan yang mendorong Indonesia menuju masa depan yang lebih cerah namun juga beban bagi mereka terdistribusi dengan adil dan tidak memusat di pundak mereka.
Baca juga: Erick Thohir dinilai tokoh terbaik dalam pandangan kelas menengah