Jakarta (ANTARA) - Lensa Anak Terminal (LAT) dari Indonesia bekerjasama dengan Buku Jalanan Chow Kit (BJCK) dari Malaysia selenggarakan pelatihan kreatif visual untuk 16 anak, yang tidak memiliki kewarganegaraan di Kuala Lumpur, selama 7 hari di Sekolah Buku Jalanan Chow Kit yang berlokasi di Chow Kit, Malaysia.
Aktivitas mengabadikan objek dilakukan diantaranya di Masjid Jamek, Masjid India, Kuil Sri Maha Mariamman, Pasar Seni, dan Dataran Merdeka.
Kegiatan menghadirkan 5 orang mentor dari Indonesia Setyo Manggala, Al Fanny Panestika, Bagus Dimas, Elsyka Imardin dan Putie Hikari.
“Ini adalah lokakarya kolaborasi antara dua institusi, LAT dari Indonesia yang mengajarkan anak-anak kurang mampu di sekitar Terminal Depok melalui pembelajaran visual kreatif, dan BJCK dari Malaysia, yang mendukung pendidikan gratis untuk anak-anak tanpa kenegaraan di Kuala Lumpur," kata Setyo Manggala, Pendiri LAT dalam keterangannya, Rabu.
"Bersama dengan BJCK kami menerbitkan buku foto berjudul Eyes That Speak, yang bertujuan mendorong keterampilan fotografi dan menggambar anak - anak yang tidak memiliki status kewarganegaraan di Chow Kit, Kuala Lumpur” ujarnya.
“Kegiatan ini, bertujuan untuk mengkampanyekan hak-hak anak dengan memberdayakan anak-anak tanpa kewarganegaraan, untuk menggali bakat tersembunyi mereka, mendorong ekspresi artistik, serta memberikan keterampilan dalam fotografi dan menggambar," ujarnya.
" Lokakarya ini juga berfungsi sebagai tempat yang aman bagi anak-anak, meningkatkan kesadaran mereka, menumbuhkan pemikiran kritis, dan mendorong rasa percaya diri mereka,” tambah Setyo Manggala
“Keberhasilan pendekatan kreatif visual yang bersifat emansipatoris ini mendorong Lensa Anak Terminal untuk bekerja sama dengan BJCK menciptakan program lintas budaya yang menempatkan para peserta sebagai aktor utama dalam menciptakan karya.
Program kreatif visual ini melibatkan anak-anak dalam menangkap fotografi dan visual, serta merespons dengan berbagai teknik yang terkait dengan kegiatan sehari-hari dan lingkungan sosial di sekitar mereka.
Dengan kemiripan tempat tinggal di antara kedua kelompok anak ini, mereka bersama-sama mendokumentasikan struktur sosial yang dapat diamati di sekitar tempat tinggal mereka, seperti infrastruktur, aktivitas manusia, kondisi sosial, permasalahan, dan simbol budaya,” ujar Al Fanny Panestika Co-Founder LAT.
“Di lokakarya ini, saya dipercaya untuk memandu kegiatan, dengan memberikan games dan pengarahan tentang aktivitas yang akan dilakukan setiap harinya," ujar Putie Hikari, Founder Jejak Baik.
Putie juga berperan sebagai mentor, untuk menjembatani komunikasi stateless children dengan para pembimbing, untuk mengevaluasi kebutuhan, tantangan dan harapan anak-anak di lokakarya ini.
"Saya memastikan bahwa anak-anak disana merasa aman, dan nyaman dalam memahami konsep visual serta praktik berburu objek di lokasi-lokasi yang ditentukan, ” ujarnya
Sebelum mengikuti lokakarya ini, saya melihat, mereka tidak begitu percaya diri dalam mengekspresikan diri melalui foto. Mereka berpikir bahwa suatu karya itu, harus “bagus” layaknya hasil dari para fotografer profesional.
Namun, seiring berjalannya waktu, akhirnya kepercayaan diri mereka meningkat. Saya melihat mereka mampu menganalisa fenomena-fenomena yang ada di sekitar.
"Mereka antusias untuk terlibat dalam lokakarya, karena mereka akhirnya dapat menghancurkan tembok stigma atas sebuah karya dan mengekspresikan diri, tanpa adanya hambatan psikologis dalam melihat lingkungan sekitarnya dan dunia,” tutup Putie Hikari, siswi kelas X, Binus School Bekasi.